Pengorbanan Untuk Panggilan Haji

  • Bagikan
<strong>Pengorbanan Untuk Panggilan Haji</strong>

Seolah harus diakui bahwa naik haji bagi orang Jawa dan orang Batak itu tidak sama, kalau bukan aneh, jika dibandingkan dengan peristiwa yang sama pada sukubangsa lain. Tetapi ini perlu ditinjau ulang tak hanya sekadar menawarkan egalitarianism…

Berichten uit Java: voor de leden van den Sint Claverbond (1948, hlm 3), dengan pandangan subjektifnya menilai fanatisme kaum Muslimin sangat meningkat karena perjalanan hajj ke Mekkah. Sayangnya, menurut laporan ini, perjalanan hajj justru sangat dimudahkan.

Statistik tahun 1930-1931, misalnya, menunjukkan bahwa dari total 40.000 jamaah yang mendarat di Jeddah, 17.000 berasal dari Indonesia (42%); 12.000 dari Jawa, 3.000-an dari Sumatera, kurang dari 1.000 dari Kalimantan, dan lebih dari 1.000 dari wilayah-wilayah lainnya. Padahal laporan resmi lembaga misi Katholik setebal 200-an halaman ini mencatat ketika itu dunia sedang mengalami krisis keuangan.

Hajj kala itu didorong oleh perusahaan pelayaran karena motif keuntungan yang tidak sedikit. Pengeluaran untuk agen dan propaganda untuk promosi hajj ditunaikan. Beberapa pejabat Belanda berhayal akan mendapat simpati dunia Islam dan Gerakan Pan-Islam untuk kepentingan mereka. Tapi hasilnya membuktikan bahwa orang yang kembali dari hajj, adalah militan yang mempertebal keislaman penduduk, dan itulah hal paling menggelisahahkan dari ibadah hajj bagi misionaris.

Jangankan menghitung fluktuasi besaran angka Ongkos Naik Hajj (Ongkos) yang diperlukan. Dulu pun, ketika negeri ini masih terjajah, umat, dengan inisiatif sendiri, telah terus berusaha memberangkatkan warganya untuk memenuhi panggilan Allah ke rumah-Nya, di tanah suci. Penuh tantangan. Bahkan ancaman keselamatan jiwa. Berbulan-bulan, atau bertahun lama perjalanan.

Artikel ini selain akan membahas ringkas soal usul Menteri Agama tentang besaran Ongkos Naik Haji, juga akan mengusulkan revitalisasi manajemen Haji di Indonesia.

Menghitung Ongkos

Hajj tahun ini amat istimewa dan amat ditunggu dengan penuh harap, karena menjadi ritus keagamaan global istimewa pasca beberapa tahun ditunda tersebab bencana COVID-19 dengan berbagai pertimbangan pengedepanan maslahat umat.

Bukan hanya yang akan berangkat hajj yang merasa gembira menyambut, karena gelombang proses keberangkatan (embarkasi) dan proses perjalanan pulang (debarkasi) umumnya telah menjadi ritual yang dianggap sakral di seluruh Indonesia dan negara-negara lain. Itu tak hanya diwarnai kenduri, tetapi juga motivasi bagi orang yang belum berkesempatan memenuhi panggilan hajj agar bersiap.

Sekaitan dengan itu telah ramai diperbincangkan dengan pro-kontra usul kenaikan Ongkos oleh Menteri Agama. Sebetulnya usul itu adalah hal biasa dan sah-sah saja dilakukan setiap tahun. Lalu mengapa menjadi perbincangan pro-kontra secara nasional?

Mungkin disebabkan kecurigaan adanya indikasi krisis kepercayaan umat yang meluas, terutama pada aspek transparansinya. Pembicaraan-pembicaraan di ruang publik kerap membahas kritis hal ini. Umat sangat peduli. Jika krisis kepercayaan itu tak berawal pada masa kepemimpinan menteri yang sekarang, kemungkinan ada derajat yang semakin bertambah saat ini.

Misalnya jika disearch di Google dengan kalimat pencarian “korupsi pengelolaan haji” atau “Korupsi Kementerian Agama” atau “Korupsi Departemen Agama” akan tampil data digital yang meyakinkan bahwa pengelolaan dana hajj itu sangat buruk dan Kementerian Agama yang dulu bernama Departemen Agama itu tak lebih dekat dengan Tuhan hingga tak begitu berbeda perilaku korupsinya dibanding instansi lain yang lebih sekuler.

Tingkat kepercayaan masyarakat kepada sebuah kementerian tentu dapat terpengaruh oleh performance menteri dan pejabat-pejabat utama di dalamnya. Sebuah berita berjudul “Catatan Kontroversi Gus Yaqut Sebelum Jadi Menteri Agama” terbit Kamis, 24 Desember 2020. Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut disorot dengan memaparkan sederet kontroversi yang mewarnai sepak terjangnya dan bahkan dinyatakan bahwa tokoh ini kerap dituding memecah belah (Viva.co.id, Kamis, 24 Desember 2020 – 12:02 WIB).

Karena itu harus diasumsikan bahwa semua orang bisa menghitung komponen biaya yang diperlukan untuk menentukan besaran nilai Ongkos. Juga faham fluktuasi harga pasar untuk setiap transaksi yang direncanakan. Ketidak-cermatan dalam menghitung dan menetapkan nilai Ongkos sangat sensitif dan berisiko (politik) sekaligus.

Apalagi jika umat sampai menilai ada indikasi kurang amanah, maka sebaiknyalah menteri dan orang-orang di sekitarnya lebih hati-hati, lebih cermat dan efisien. Lakukan penghitungan kembali, pangkas variable-variable biaya yang rencana pengalokasiannya tak begitu signifikan. Yakinkan umat bahwa mekanisme perencanaan berbasis akuraditas dan validitas data serta pengarusutamaan nilai-nilai amanah.

Fakta-fakta sangat penting itu mestinya selalu menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia dalam setiap penentuan kebijakan termasuk penentuan besaran Ongkos. Benar, bahwa karena hajj itu salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan minimal sekali seumur hidup, dan meski biayanya besar, orang tidak akan menggunakan kalkulasi ekonomi yang ketat. Ada perhitungan jihad di situ.

Revitalisasi

Rasanya menteri yang santri ini juga perlu diberi introduksi wacana untuk mengembangkan rencana besar bahwa hajj bukan hanya peristiwa ritual tahunan yang untuk Indonesia pengarusutamaannya seolah lebih pada embarkasi dan debarkasi.

Tetapi dalam manajemen penyelenggaraan hajj ada faham yang membentuk budaya keagamaan yang begitu lamban bergerak melampaui pakem-pakem fiqh peribadatan khusus. Mungkin orang masih ingat buku Orang Jawa Naik Haji (Danarto, 1984) atau Orang Batak Naik Haji (Baharuddin Aritonang, 2002). Keduanya cukup baik merepresentasikan tendensi kefiqhan orientasi ibadah hajj di tengah masyarakat. Mungkin terasa jua bagi sebagian orang Indonesia kekontrasan Islam (hajj) dengan kultur sukubangsa tertentu sehingga dianggap narasi buku itu memiliki novelti penting.

Artinya seolah harus diakui bahwa naik haji bagi orang Jawa dan orang Batak itu tidak sama, kalau bukan aneh, jika dibandingkan dengan peristiwa yang sama pada sukubangsa lain. Tetapi ini perlu ditinjau ulang tak hanya sekadar menawarkan egalitarianisme sebagaimana dalam kisah buku “Semua Orang Bisa Naik Haji” (Mas Watik, 2017).

Mungkin para ulama sudah saatnya memberi masukan kepada Presiden bahwa peristiwa hajj itu tak sebatas ritual keagamaan belaka. Seharusnya pula hajj dapat menjadi momentum penting konsolidasi dan diplomasi keumatan sejagat, menjadi peluang transaksi ekonomi serta perdagangan antar warga muslim dunia atau diplomasi government to government untuk diplomasi tentang banyak hal mengenai kemajuan negara-bangsa dunia.

Jangan pula dengan dangkal akan dipersepsikan untuk membentuk apa yang selama ini terus secara sempit dituduhkan khilafah yang akan menandingi Amerika, Tiongkok, WTO, G20, ASEAN, PBB dan semua badan-badan kelengkapannya. Agama ini rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam).

Karena itu model pengelolaan hajj perlu direvitalisasi. Libatkan kementerian-kementerian terkait. Memang banyak yang tak faham di Indonesia bahwa ibadah dalam Islam itu tak terbatas pada ritual mahdhah (ibadah utama: sholat, hajj dan lain-lain) belaka.

Laysa alaikum junahun an tabtaghu fadhlan min Rabbikum. Fa idza afadhtum min arafatin fadzkurullaha indal-masy’aril harami, Wadzkuruhu kama hadakum wa in kuntum min qablihi lamina-dholin” [“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikir kepada Allah di Masya’aril Haram. Dan berdzikirlah dengan menyebut Allah sebagaimana yang ditujukanNya kepadamu. Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”].

Agak sukar difahami mengapa menteri luar negeri, menteri perdagangan, menteri pariwisata dan menteri-menteri terkait Indonesia tak merasa memiliki urusan dengan interaksi global manusia paling besar (hajj) ini.

Penutup

Sebetulnya jika diukur dari kondisi ekonomi mayoritas umat Islam di Indonesia saat ini, biaya yang diperlukan untuk hajj itu cukup berat. Itu sebabnya, meski cenderung bertambah setiap tahun, jumlah yang mampu pergi hajj dari Indonesia tetap masih sangat kecil dibanding total populasinya. Memang ada ketimpangan parah kemakmuran warga. Secara ekonomi beberapa orang kaya sanggup pergi hajj setiap tahun.

Jangankan dengan membawa rombongan keluarga, bahkan mencarter pesawat pun ada yang mampu, atau setidaknya berangkat dengan fasilitas supermewah yang diatur oleh perusahaan penyedia jasa travel. Selain itu masih ada di antara mereka yang berjumlah sangat kecil itu yang pergi hajj kecil (umrah) setiap tahun, atau bahkan beberapa kali dalam setahun.

Sedangkan mayoritas yang lain, meski niatnya sangat kuat dan bahkan di antara mereka tak sedikit yang membuka tabungan hajj, namun tak kunjung terlaksana hingga mereka meninggal dunia.

Tentu saja tidak sedikit orang miskin yang akhirnya pergi hajj dalam usia sudah cukup sepuh setelah, karena merasa tak akan mengundang masalah besar lagi di kemudian hari dalam menjalani hari-hari akhir masa tuanya, dengan menjual harta tak bergerak seperti rumah dan tanah.

Selain itu sistim penyelenggaraan hajj memungkinkan adanya elit tertentu yang secara istimewa dapat pergi hajj atas biaya dan fasilitas pemerintah. Bahkan di antara mereka ada yang beroleh kesempatan lebih dari sekali, karena jejaring pengaruhnya secara politik dan budaya di dalam pemerintahan.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

<strong>Pengorbanan Untuk Panggilan Haji</strong>

<strong>Pengorbanan Untuk Panggilan Haji</strong>

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *