Scroll Untuk Membaca

HeadlinesOpini

Pencitraan Sang Pembohong

Pencitraan Sang Pembohong

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Pada dasarnya kehidupan manusia penuh dengan dinamika, fluktuasi, fenomena, serba-serbi dan gambaran yang memenuhi berbagai nuansa, selaras dengan perkembangan kondisi kehidupan yang semakin berubah serta memperlihatkan kondisi yang sebenarnya. Hal ini berhubugan dengan dimensi kehidupan manusia, sosial-kemasyarakatan dan taraf kehidupan yang dilalui. Meskipun dunia semakin modern, namun perilaku manusia menghiasi kehidupannya dengan cara-cara tersendiri, sehingga memberikan gambaran perilaku yang adakalanya dapat dipahami, namun demikian ada juga yang sulit dimengerti dengan menggunakan rasional, akal dan otak secara sederhana. Tetapi gambaran kehidupan manusia modern seringkali menggunakan realitas akal serta rasio yang mudah dipahami serta dimengerti dengan kondisi kehidupan sosial-kemasyarakatan secara komunal, tidak dengan cara sendiri memaksakan semua orang bersetuju terhadap hal yang berlaku.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Pencitraan Sang Pembohong

IKLAN

Dalam aktivitas dunia politik modern, acapkali memperlihatkan sesuatu yang ikut mempengaruhi opini serta pendapat publik dilakukan dengan menebar pesona, pencitraan, menarik perhatian dengan berbagai penilaian agar dinyatakan seseorang menjadi lebih popular. Demikian pula dengan menggunakan media massa, media tertentu, para pendukung, kelompok kerja, para influencer, buzzer serta berbagai kelompok pendukung ketenaran akan membangun kondisi serta opini public menjadi lebih terkenal, disorot agar lebih mentereng, hebat dan membutuhkan pengakuan ataupun legitimasi secara formal dan informal. Sehingga seolah-olah apa yang dilakukan, dikerjakan, ditampilkan serta diperlihatkan menjadikan penilian tertentu, seperti hebat, berhasil, suskses, memiliki nilai positif meskipun adakalanya dipaksakan secara luas, bahkan memberikan kesan berbagai aktivitas dilakukan secara politik mencitrakan orang berhasil ditengah kehidupan rakyat.

Karena itu merujuk pemahaman pencitraan berasal dari kata citra menurut Daryanto (1977) yaitu, rupa, wujud, gambaran; gambaran yang dimiliki pribadi setiap orang, harga diri. Demikian juga menurut Happy El-Rais (2015) berasal dari kata citra yang sama dengan Daryanto, namun Happy dalam citra politik (political image) dinyatakan, gambaran diri yang ingin diciptakan seseorang tokoh masyarakat; citra politik sudah dikenal arti pentingnya sejak abad-abad yang lalu; namun baru menjadi faktor penentu karir politik seseorang sesudah revolusi dibidang komunikasi dengan diketemukannya televisi; dalam negara-negara Barat yang sistem politiknya sangat tergantung kepada public-opinion kemenangan ataupun kekalahan tokoh politik amat ditentukan oleh citra yang dimilikinya. Selanjutnya Nuresah dkk (2002) citra, yaitu gambar, lukisan, arca, gambaran atau imej pribadi seseorang (barangan, organisasi dll), pencitraan perihal bercitra (memiliki atau mempunyai gambaran pribadi seseorang; organisasi dll). Makanya pencitraan berasal dari kata citra berkaitan kepribadian, harga diri, gambaran serrta penampilan positif seseorang.

Selanjutnya pembohong, ini berhubungan dengan manusianya atau orang dengan perilaku negatif, tidak baik serta menjadi celaan bagi setiap orang.  Maka pembohong berasal dari kata bohong, Daryanto (1977) menyatakan, tidak sesuai dengan bukti dan kebenaran, tidak sesuai dengan kenyataan, dusta; palsu, bukan asli. Kemudian Happy El-Rais (2015) bohong adalah, tidak sesuai dengan hal (keadaan) yang sebenarnya; dusta; bukan yang sebenarnya; palsu. Selanjutnya Nuresah dkk (2002) bohong adalah, berlaian dari pada yang sebenarnya (cerita, keadaan dll), dusta, karut, palsu, membuat kericuhan; pembohong, orang yang suka membohong. Sehingga dapat dinyatakan bahwa, pembohong orang yang suka menyampaikan kata dusta, palsu, berbicara tidak sesuai dengan yang sebenarnya serta berperilaku buruk di tengah kehidupan masyarakat.

Dengan demikian, membuat pencitraan dengan cara berbohong yaitu sang pembohong melakukan cerita dengan cara dusta, palsu dengan cara berbohong yang dianggapnya sangat efektif untuk melakukan penipuan. Selanjutnya dibantu oleh para antek-antek orang disekitarnya, para pembantu, penjilat, pemuja termasuk menggunakan media, baik media massa, media sosial dan lain sebagainya yang dirangkul serta dibayar untuk membuat berbagai berita serta cerita palsu dan dusta, termasuk para influencer dan buzzer menciptakan framing, kehebatan semu serta palsu untuk membohongi pihak lainnya. Dalam dunia politik modern penggunaan logika yang tidak sehat, rasional yang buruk dan jelek, ternyata pencitraan sang pembohong demikian efektif dilakukan dengan mengabaikan aturan hukum, undang-undang, peraturan dan mengabaikan serta menginjak-injak etika-moral sebagai landasan ideal dan normative yang mesti dijunjung tinggi dalam dianmika serta interaksi politik ditengah kehidupan masyarakat. Namun demikian sangat aneh, janggal serta lucu, ternya secara empirik pencitraan dan pembohongan serta tipu daya dari actor politik, pimpinan dan elite kekuasaan didukung oleh para intelektual gila serta rakus jabatan, cendikian orang pintar ataupun pakar yang tidak memiliki integritas dan nir etika-moral.

Pada dasarnya, praktik politik pencitraan pembohong tanpa malu-malu, sungkan bahkan sebaliknya membanggakan dilakukan oleh pemimpin negara, bangsa atau elite kekuasaan politik ditengah semakin terpuruknya kondisi kehidupan nayata terhadap suasana kebangsaan serta kenegaraan yang tidak mempercayainya lagi, atau adanya “distrusted” terhadap kepemimpinan. Namun demikian pada akhir masa jabatan dan kekuasaannya masih terus berusaha membangun pencitraan selaku pembohong yang handal, ikut memanfaatkan anggaran belanja publik ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), memaksa kementrian negara, pejabat pengganti dan seluruh elemen negara untuk ikut berbohong. Bahkan tidak tanggung-tanggung pada akhir masa jabatan ratusan miliar rupiah uang untuk menggait Lembaga Negara, media massa dan sosial, sekitar 2800 buzzer untuk melaksanakan, membangun citra bohongnya dengan menggunakan balliho, billboard, banner, spanduk, poster dan blusukan, kunjungan kerja serta banyak lagi lainnya dengan praktik buruk untuk menyatakan sebagai pemimpin berhasil.

Sesungguhnya kebohongan ini semakin terbaca secara kasat mata oleh seluruh rakyat yang telah lebih cerdas, bahkan lebih cerdas dari pada pembohongnya serta antek-antek yang terlibat bersama pembohong tersebut untuk membangun pencitraan keberhasilan, karena secara anomali realistis dan rasional rakyat terpuruk dan berbagai indikator keberhasilan berbanding terbalik dengan pernyataannya.

Sehingga kiprah pencitraan sang pembohong semakin mudah terbaca karena ambisi kekuasaan serta kekuasaan politik yang ingin dilanjutkan, termasuk berbagai intervensi kebijakan termasuk menggunakan poilitik dinasti pada saat masih berkuasa kepada anak keturunan biologis, menantu serta nepotismenya dalam bentuk kekerabatan serta pertalian hubungan kekeluargaan. Dengan itu dapat dinyatakan bahwa, pencitraan sang pembohong tidak lebih sebagai kepanikan politik kekuasaannya, karena telah terlalu banyak membuat kesalahan termasuk tidak validnya status ijazah, latar belakang keluarga serta kehidupan. Kemudian dilanjutkan dengan berbagai kegagalan serta bukti nyata kebijakan politik yang menggunakan anggaran belanja publik, seperti mobil esemka, ibukota negara yang diputarbalikkan sebagai keputusan seluruh rakyat, berbagai proyek gagal seperti ketahanan pangan, impor beras, impor minyak goreng, impor garam dan kebutuhan pokok lainnya. Sehingga lengkap sudah banyak kebohongan yang dibangun dengan pencitraan agar secara hukum dapat ditindak serta ditegakkan, semoga sang pembohong dapat dijadikan pemimpin politik tertinggi pertama yang dijebloskan ke penjara karena status hukum yang banyak dialngkahi serta menyimpang penuih dengan kesalahan fatal menyesengsarakan rakyat menjadikan negara memiliki pemimpin sangat buruk dalam catatan sejarah bangsa yang merdeka.

Dengan demikian, sebagai bangsa yang merdeka menjunjung tinggi hukum dan keadilan serta mengharapkan kehidupan yang lebih baik, makmur dan sejahtera, serta tegaknya kepastian hukum bagi siapa saja adanya equality before the law, maka pembohong membangun citra dusta dan palsu serta haus kekuasaan ditangkap diadili atas banyak kesalahannya.            

Penulis, Dosen FE Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior PERC-Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE