Merawat Kemajemukan Indonesia

  • Bagikan

…terus memupuk, membina, merawat, menjaga, dan melestarikan nilai-nilai dan pilar-pilar kemajemukan dan keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan penduduk Indonesia

Indonesia merupakan suatu bangsa yang memiliki kemajemukan penduduk. Secara kuantitatif, penduduk Indonesia mencapai 273 juta jiwa, terdiri atas enam pemeluk agama resmi yakni, Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

Selain itu memiliki 1.340 suku bangsa dengan jumlah populasi tertinggi suku jawa mencapai lebih 40 persen, dan memiliki keragaman budaya, aliran kepercayaan, organisasi yang diikuti, partai politik, dan mata pencaharian/profesi.

Ini menunjukkan, bahwa Indonesia memiliki potensi dan modal sosial (social of capital) yang sangat besar dalam menjaga, merawat dan melestarikan keutuhan bangsa.

Jika menilik prolog di atas, dapat dipahami bahwa kemajemukan merupakan genetik bangsa Indonesia. Artinya, Indonesia dibentuk/ dilahirkan dari genetik keberagaman dan kemajemukan.

Ini yang mesti disadari oleh seluruh lapisan/elemen masyarakat, baik kultural maupun struktural, untuk menjaga, merawat, dan melestarikan gen keindonesiaan ini. Ironis, jika ada warga bangsa yang anti-keberagaman/anti-kebhinnekaan dan kemajemukan dalam kehidupan sosio-kultural-religius kemasyarakatan.

Celakanya lagi, jika para pemimpin (lintas sektoral) tidak dapat memahami keberagaman dan kemajemukan secara utuh dan mendalam (holistic). Mestinya, para pemimpin menjadi penengah (moderat, wasathiyyah), tidak memihak (diskriminatif), dan memenuhi seluruh hak-hak warga bangsa yang telah dijamin undang-undang.

Secara historis, profetik telah memberikan keteladanan (uswah hasanah) dalam membina, mendidik, dan memimpin umat di Yatsrib (Madinah). Ia mampu merangkul, menyatukan, dan mempersaudarakan (ukhwah) ‘kaum Muhajirin’(penduduk Makkah) dan ‘kaum Anshar’ (penduduk Madinah), serta mampu menjamin keselamatan dan keamanan terhadap suku (kabilah) atau pemeluk agama lain, semisal Bani Qaynuqa’, Bani Quraizah, dan Bani Nadhir.

Artinya, kemajemukan dan keberagaman penduduk madinah mampu dijadikan profetik sebagai kekuatan untuk menjaga dan merawat keutuhan bangsa/negara di bawah payung ‘Piagam Madinah’.

Secara global, ‘piagam madinah’ memuat pilar-pilar persaudaraan sesama Islam, antar suku, dan antar-agama di wilayah madinah, semisal mengikat persaudaraan Quraisy dengan Yatsrib, larangan membebani utang dan beban keluarga kepada sesama Islam.

Tidak dibenarkan menzalimi dan menindas sesama Islam hanya karena untuk membela kepentingan pihak lain, dan perintah melindungi yang marginal dan lemah (dhu’afa), serta Yahudi yang taat terhadap perjanjian akan mendapatkan hak dan perlindungan yang sama di mata hukum (rule of law).

Dapat dipahami bahwa, ‘Piagam Madinah’ telah menjadi wadah/instrumen perekat di tengah-tengah penduduk madinah yang heterogen. Sebab itu, kepemimpinan profetik telah menjadikan penduduk madinah hidup dalam kemajemukan dan keberagaman.

Kehebatan ikatan persaudaraan penduduk madinah (anshar dan muhajirin) ternukil indah dalam Al-Qur’an berikut: “Dan orang-orang anhsar yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan orang-orang muhajirin, mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan orang-orang Anshar tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada orang-orang muhajirin, dan mereka mengutamakan kaum muhajirin, atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Hasyar: 9).

Spirit filantropi penduduk Madinah (Anshar) dalam membantu sesama Islam (Muhajirin) mesti diteladani oleh umat Islam Indonesia.

Modal Sosial

Indonesia sebagai bangsa majemuk yang didiami oleh mayoritas penduduk Muslim. Mesti berkaca pada negeri madinah, dimana penduduknya dapat hidup serasi dan damai dalam kemajemukan dan keberagaman.

Modal sosial ini menjadi kekuatan penduduk madinah dalam menjaga, merawat, dan melestarikan keutuhan bangsa dan negara di bawah kepemimpinan profetik. Indonesia menjadi miniatur madinah yang majemuk dan beragam.

Maka diperlukan para pemimpin yang mampu merekatkan seluruh penduduk Indonesia, meskipun berbeda-berbeda. Ironis, jika ada pemimpin yang anti-keberagaman dan kebhinnekaan di tengah-tengah bangsa yang majemuk.

Sebab itu, pada satu sisi kemajemukan itu potensi besar dalam menjaga dan merawat keutuhan bangsa. Tapi, di sisi lain kemajemukan itu dapat menjadi sumber konflik dan disintegrasi bangsa, jika pemimpin bangsa tidak dapat mencegah dan meredam berbagai potensi konflik baik secara horizontal (sesama warga bangsa) maupun vertikal (warga bangsa dengan pemerintah).

Empat pilar negara kebangsaan Indonesia, meliputi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, patut diinternalisasikan dalam seluruh aspek kehidupan, baik kebebasan dalam beragama sesuai keyakinan, hak mendapatkan pendidikan, kesehatan dan politik, dan hak-hak lainnya sebagai warga bangsa.

Secara teologis, pluralitas merupakan sifat alamiah (sunnatullah, nature) yang dijamin dan dijaga keberadaannya. Alquran memuat ayat-ayat yang berhubungan dengan urgensi menjaga keberagaman dan kemajemukan. Semisal, firman Allah SWT:

Hai manusia, Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui dan Mahateliti” (QS. Al-Hujurat: 13).

Ini petunjuk teologis, bahwa keberagaman dan kemajemukan bukanlah sesuatu yang tabu dalam kehidupan manusia, hanya takwa sebagai pembeda (distingsi).

Toleran Dan Moderat

Lebih jauh, profetik menggambarkan bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh jasad/ fisik dan properti/ materialistik. Sebagaimana ditegaskan: “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian” (HR. Muslim).

Artinya, kemuliaan seseorang tidak dilihat dari fisik dan materi, tapi hanya dipandang dari kesucian hati dan kebaikan yang telah dikerjakan. Semestinya setiap orang menumbuhkan dan mengembangkan sikap moderat, toleran, peka dan peduli, tidak diskriminatif dan eksploitatif kepada sesama, baik secara kultural maupun struktural/ penguasa.

Hanya ini sebagai prasyarat untuk menjaga, merawat, dan melestarikan keutuhan bangsa yakni merawat kemajemukan Indonesia. Sebab itu, penulis ingin mengetuk hati para penguasa negeri lintas sektoral, cendekiawan, tokoh agama dan penduduk Indonesia, agar terus memupuk, membina, merawat, menjaga, dan melestarikan nilai-nilai dan pilar-pilar kemajemukan dan keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan penduduk Indonesia.

Yakni menjadi penduduk yang ramah, peka dan peduli, guyub, toleran (tasamuh), moderat (wasathiyyah), damai, serasi, dan harmoni di tengah-tengah kemajemukan dan keberagaman. Para penguasa mesti menjadi teladan dalam mewujudkan cita-cita besar ini, baik melalui kebijakan tanpa diskriminatif, pelayanan tanpa pandang bulu, maupun penegakan hukum tanpa tebang pilih. Jika ini terwujud, maka Indonesia benar-benar menjadi pusat peradaban dunia di masa depan. Semoga!

Penulis adalah Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) IAIN Lhokseumawe, Aceh. Email: [email protected].

  • Bagikan