Menyoal Perbedaan Idul Fitri

  • Bagikan

Oleh Suwardi Lubis

Dalam perspektif komunikasi, perbedaan ini dapat dilihat sebagai bentuk komunikasi bermedia atau komunikasi massa—dimana pesan tersebar ke publik secara luas. Content pesan itu sendiri sebetulnya sesuatu yang dimaklumi pemahamannya, namun ketika disebarluaskan maka ia akan bertemu dengan logika publik—yang dibedakan dengan logika individu

Salah satu Organisasi Kemasyarakat (Ormas) Islam terbesar di Indonesia yakni Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal 1444 H bertepatan dengan 21 April 2023. Sedangkan pemerintah termasuk organisasi Nahdlatul Ulama (NU) masih menunggu hasil sidang Isbat yang biasanya dilaksanakan pada 29 Ramadhan, sehingga perbedaan waktu penetapan Idul Fitri 1 Syawal 1444 H sangat berpotensi terjadi di Indonesia.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan bahwa penetapan waktu Idul Fitri ini memiliki nash yang kokoh dari ajaran Islam. Menurutnya, berdasarkan metode wujudul hilal yang dipedomani Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, dengan penjelaskan yang sangat kuat, memutuskan 1 Ramadhan 1444 H jatuh pada Kamis 23 Maret 2023 Miladiyah, sedangkan 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Jumat 21 April 2023 Miladiyah.

Dia mengingatkan supaya jika terjadi perbedaan jangan dijadikan sebagai sumber perpecahan. Karena umat Islam di Indonesia memiliki pengalaman dalam perbedaan. Karena perbedaan di tubuh umat Islam bukan suatu yang baru.

Haedar mendorong dari perbedaan itu lahir sikap saling menghargai, menghormati dan toleransi atau tasamuh, serta menimbulkan penghargaan dan kearifan atas perbedaan.

“Jangan juga dijadikan sumber yang membuat kita Umat Islam dan warga bangsa lalu retak, karena ini menyangkut ijtihad yang menjadi bagian denyut nad perjuangan perjalanan sejarah Umat Islam yang satu sama lain saling paham, menghormati dan saling menghargai,” katanya.

Peneliti Astronomi dan Astrofisika BRIN, Thomas Djamaluddin, menjelaskan ada beberapa hal dalam perbedaan ini. Di antaranya karena pada saat Maghrib 20 April 2023, ada potensi di Indonesia posisi bulan belum memenuhi kriteria baru MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Namun di sisi lain, sudah memenuhi kriteria wujudul hilal. Jadi, ada potensi perbedaan, yaitu versi 3 derajat dan elongasinya 6,4 derajat maka 1 Syawal 1444 pada 22 April 2023, sedangkan versi wujudul hilal, 1 Syawal 1444 pada 21 April 2023.

Menurut kriteria baru MABIMS, imkanur rukyat dianggap memenuhi syarat apabila posisi hilal mencapai ketinggian 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat. Kriteria ini merupakan pembaruan dari kriteria sebelumnya, yakni 2 derajat dengan sudut elongasi 3 derajat yang mendapat masukan dan kritik. Sementara metode wujudul hilal yang dipedomani Muhammadiyah, meyakini telah masuknya bulan baru meskipun derajat ketinggi hilal lebih rendah dari 3 derajat.

Ironis

Perbedaan penetapan hari besar Islam ini menjadi ironis karena terus berlangsung sejak lama dalam setiap periode tertentu. Dibutuhkan sikap kedewasaan dalam menyikapinya, karena jika mendekati masalah ini dengan perspektif kekuasaan, maka yang terjadi adalah seperti di Pekalongan di mana Pemerintah Kota setempat telah menolak permohonan izin penyelenggaraan shalat Idul Fitri di di Lapangan Mataram karena alasan pemerintah pusat belum menetapkan Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah.

Izin shalat Idul Fitri pada 21 April 2023 tersebut diajukan oleh pengurus Masjid Al-Hikmah Podosugih. Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid beralasan agar umat Islam menjalankan shalat Id di lapangan manapun, kecuali di Lapangan Mataram.

Hal ironis lainnya adalah bahwa pemerintah belum mengumumkan kapan jatuhnya 1 Syawal 1444 H, karena sidang itsbat menentukan tanggal Idul Fitri tersebut baru dilakukan pada tanggal 29 Ramadhan. Tentu saja ini ironis, karena jika sidang dilakukan pada tanggal 29 Ramadhan, maka seperti biasanya 1 Syawal akan jatuh pada hari berikutnya. Atau dengan kata lain Ramadhan akan berjumlah 30 hari.

Ini menunjukkan bahwa sidang itsbat tersebut sebetulnya hanya formalitas, karena sesungguhnya jatuhnya waktu 1 Syawal telah diketahui sebelumnya melalui metode penanggalan yang dipedomani. Karena tanpa ada sidang istbat sekalipun sudah diketahui bahwa jika menggunakan metode wujudul hilal, maka 1 Syawal 1444 H akan jatuh pada hari Jumat 21 April 2023, dan jika menggunakan standar MABINS dengan ketinggian hilal 3 derajat maka 1 Syawal 144$ H akan jatuh pada Sabtu 22 April 2023. Karena dalam penanggalan Qomariyah (perhitungan bulan), jumlah hari paling banyak dominan 29 hari dan paling banyak 30 hari.

Perspektif Komunikasi

Dalam perspektif komunikasi, perbedaan ini dapat dilihat sebagai bentuk komunikasi bermedia atau komunikasi massa—dimana pesan tersebar ke publik secara luas. Content pesan itu sendiri sebetulnya sesuatu yang dimaklumi pemahamannya, namun ketika disebarluaskan maka ia akan bertemu dengan logika publik—yang dibedakan dengan logika individu.

Publik sebagai suatu entitas yang heterogen, anonim dan sporadis memiliki keragaman dalam merespons suatu wacana. Secara singkat dapat dikatakan, hal yang sesungguhnya sederhana akan menjadi lebih rumit dan lebih berdampak luas manakala telah menjadi pesan media. Apalagi di era digital ini pesan-pesan tidak saja disalurkan melalui media massa, namun juga melalui media sosial, sehingga memiliki dampak yang lebih luas.

Secara sederhana perbedaan yang terjadi karena beda metode yang digunakan antara Muhammadiyah dengan pemerintah yang dipengaruhi oleh metode yang digunakan NU. Dengan metode wujudul hilal, maka Muhammadiyah meyakini jika sudah terlihat sedikit saja wujud hilal, maka saat itu pula telah masuk bulan baru. Namun pemerintah dengan standar 3 derajatnya, maka harus benar-benar terlihat adanya bulan baru.

Dari penjelasan ini sesungguhnya masyarakat hanya tinggal memiliki mana yang lebih logis menurut pemahaman masing-masing dan tinggal melaksanakan puasa Ramadhan dan shalat Idul Fitri sesuai dengan waktu yang diyakini. Namun ketika informasi sederhana ini telah menjadi konsumsi media, maka ia akan memiliki dampak ikutan, seperti kepentingan politik dan sebagainya.

Dalam kajian tentang teori dan perspektif dalam penelitian komunikasi, membuka sebuah ruang baru untuk mendiskusikan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan yang ada dalam teori-teori komunikasi tanpa memunculkan sekatsekat keilmuan yang bersifat multidisiplin. (Halimahtusa’diah, 2014).

Keberadaan cara pandang sebagaimana yang diberikan Griffin (2006) maupun Miller (2005) dapat memicu pemikiran-pemikiran baru yang mempelajari ilmu komunikasi dalam melihat teori komunikasi. Di samping itu perspektif ini juga akan membangun kajian yang holistik terkait dengan metode penelitian komunikasi.

Jika Griffin dalam hal perbedaan perspektif melakukan klasifikasi teori-teori komunikasi berdasarkan perspektif Objective dan Interpretive. Maka Miller memberikan gambaran mengenai telaah tentang paradigma dalam teori komunikasi. Paradigma Paradigma ilmiah merupakan keseluruhan sistem pemikiran yang terdiri dari asumsi-asumsi dasar, pertanyaan-pertanyaan penting untuk dijawab atau teka-teki untuk dipecahkan, dan teknik-teknik penelitian yang digunakan, serta contoh-contoh penelitian ilmiah yang baik.

Perspektif baik dari model Paradigma yang ditawarkan Miller maupun Griffin tersebut jelas mempunyai implilkasi yang berbeda dalam melihat realitas, melihat hubungan realitas teori dengan perspektif atau hubungan antara peneliti dengan realitas. Artinya, bagaimana seorang definisi diberikan terhadap suatu realitas atau fenomena, serta teori untuk menjelaskan fenomena atau realitas tersebut akan sangat ditentukan oleh pilihan perspektifnya, apakah yang condong ke arah objektif ataukah lebih condong ke arah subjektif.

Maka dari perspektif komunikasi ini, dapat dilihat apakah perbedaan waktu masuknya 1 Syawal ini dilihat secara objektif atau secara subjektif. Titik temunya ada pada kesadaaran objektif, meskipun akan terdengar mustahil mengingat kentalnya kepentingan yang bersifat subjektif pihak-pihak yang terlibat, termasuk dari faktor penyelenggara negara.

Menyikapi Perbedaan

Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta potensi perbedaan penetapan hari Idul Fitri 2023 disikapi dengan toleransi. Dia mengimbau agar perbedaan ditempuh dengan sikap toleransi antara dua kelompok untuk masing-masing. Berlebaran sesuai dengan keyakinannya, dengan hitungannya. Mengutip bahasa Jawa, Wapres menyebutnya dengan legowo.

Wapres mengemukakan, penyebab perbedaan itu terletak pada metode penetapan 1 Syawal. Pemerintah, kata Wapres, menggunakan metode imkanur rukyah yang menggabungkan hisab dan rukyah. Menurutnya perbedaan dalam penetapan 1 Syawal merupakan hal biasa di Indonesia.

Akhirnya kembali lagi pada kedewasaan berpikir rakyat Indonesia dalam menyikapi perbedaan. Tidak saja kedewasaan rakyat yang dituntut, namun juga kedewasaan pemerintah, karena boleh jadi rakyat sudah cukup cerdas dan dewasa namun tidak begitu dengan pemerintahan.

Penulis adalah Guru Besar USU Dan STIK-P Medan.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Menyoal Perbedaan Idul Fitri

Menyoal Perbedaan Idul Fitri

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *