G20 misalnya diprotes karena keanggotaannya yang terbatas, kurangnya kekuatan penegakan hukum, dan dugaan bahwa G20 merusak institusi internasional yang ada. KTT G20 sering ditanggapi dengan protes, terutama oleh kelompok anti-globalisasi…
Baru-baru ini kita ramai mendengar tentang G20 sehubungan Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Karenanya, kali ini mari kita menoleh sebentar ke G20 (Group of Twenty) untuk memahami hal-hal mendasar tentang pengelompokan ini.
Lahirnya G20 tidak terlepas dari rasa kekecewaan komunitas internasional atas kelompok G7 (Inggris, Kanada, Jerman, Perancis, Jepang, Italia, dan AS) yang dianggap gagal dalam mencari solusi atas krisis keuangan global tahun 1998-1999. Sebagai suatu jalan keluarnya, negara-negara yang berpenghasilan menengah dan yang memiliki pengaruh ekonomi sistemik dianggap patut dimasukkan dalam suatu negosiasi bersama untuk menemukan solusi.
Dengan dasar pemikiran yang menggabungkan kekuatan ekonomi maju dan berkembang di dunia, G20 kemudian dibentuk pada tanggal 25 September 1999, awalnya sebagai ajang pertemuan antara Menkeu/Gubernur Bank Sentral. Anggota G20, yakni 19 negara: Argentina, Australia, Brazil, Canada, RRT, Perancis Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Rusia, Saudi Arabia, Afsel, Korsel, Turki, Inggris dan AS plus satu wadah lain di kawasan, yaitu Uni Eropa (UE), suatu wadah gabungan 27 negara. G20 yang tadinya fokus pada isu-isu ekonomi makro, kemudian agendanya diperluas mencakup perdagangan, perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, kesehatan, pertanian, energi, lingkungan, perubahan iklim, dan antikorupsi. Patut dicatat bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara anggota ASEAN yang ada di G20. Jelas hal ini adalah suatu hal yang sangat membanggakan kita.
Hal lain yang penting diketahui adalah bahwa G20 bukan merupakan organisasi internasional yang memiliki legitimasi formal dan sistem administrasi yang baku seperti World Bank, IMF, ADB atau WTO. G20 hanya dipimpin secara bergilir oleh satu negara anggota selama setahun, didampingi secara troika oleh presidensi G20 yang sebelumnya dan yang akan datang demi suatu transparansi, keadilan dan keberlanjutan. Keputusan G20 dibuat berdasarkan konsensus, dan implementasi agendanya pun tergantung pada kemauan politik masing-masing negara.
Negara Di Luar G20
Ada sekitar 170 negara di dunia yang tidak tergabung dalam G20. Namun, G20 merepresentasikan lebih dari 60% penduduk dunia, 75% perdagangan global, 80% PDB dunia dan bahwa 84% emisi bahan bakar fosil dunia dihasilkan oleh negara-negara G20. Dengan modalitas tersebut timbul keyakinan jika 19 negara plus UE berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan maka ekonomi dunia juga akan menjadi kuat dan stabil.
Penulis melihat G20 sebagai “The Great 20” karena negara-negara anggotanya dapat nongkrong di klub itu melalui pertimbangan ketat terkait PDB dan pengaruh negara-negara tersebut pada ekonomi dunia yang sistemik, serta pengalaman mereka mengatasi krisis ekonomi, selain pertimbangan atas sistem demokrasi yang dianut dan jumlah penduduk.
Para pemimpin G-20 menyadari bahwa mereka tidak dapat memaksa negara non anggota G20 untuk mengimplementasikan komitmen yang diambil pada KTT G20 yang bersifat eksklusif. Namun ketika G20 tampil baik, pasti ada negara lain yang mencoba meniru kebijakan G20, hal mana jelas akan menjadi nilai tambah bagi kiprah G20 di dunia.
Sejauh ini, agenda pembangunan G20 terlihat mencapai kemajuan di beberapa bidang penting, termasuk peningkatan sumber daya lembaga keuangan internasional, infrastruktur, ketahanan pangan, inklusi keuangan, dan pengurangan biaya pengiriman remitansi. Selain itu, G20 juga telah mendaftarkan OECD untuk membantu membuat perusahaan multinasional membayar pajak yang semestinya; meminta UNEP menangani preservasi lingkungan; dan International Energy Agency (IEA) untuk membantu mengatasi masalah subsidi bahan bakar fosil.
Namun demikian, G20 bukannya bisa melenggang tanpa kritik. G20 misalnya diprotes karena keanggotaannya yang terbatas, kurangnya kekuatan penegakan hukum, dan dugaan bahwa G20 merusak institusi internasional yang ada. KTT G20 sering ditanggapi dengan protes, terutama oleh kelompok anti-globalisasi. Berbagai “perlawanan” ini dinilai penting dan patut ada dan perlu ditegakkan demi “kesehatan” dan “kelanjutan” G20 itu sendiri dalam upaya merumuskan solusi tentang hajat hidup orang banyak dan munculnya multiplier effect yang menyertainya.
Momentum Baru Dalam G20
Hampir satu dekade pasca pembentukan, pada saat menghebatnya krisis ekonomi dunia, G20 mekar dan melibatkan kepala negara. KTT G20 yang pertama berlangsung tahun 2008, kemudian dua KTT masing-masing pada tahun 2009 dan 2010 dan satu KTT setiap tahun hingga KTT ke-17 yang diadakan di Indonesia, November lalu.
Dikenal adanya dua jalur (track) di dalam G20, yakni Finance Track yang membahas masalah keuangan dan Sherpa Track yang menganalisa isu-isu ekonomi dan non keuangan. Dalam dua jalur itu ada pertemuan Pokja dan Engagement Groups (kelompok profesional dan LSM) yang akan tampil dengan rekomendasi kebijakan dan gagasan konkrit. Kemudian ada pertemuan tingkat deputi/sherpa, setelah itu tingkat menteri dan kemudian diakhiri dengan KTT.
Presidensi G20 Tahun 2022
Ketika menjadi tuan rumah G20, Indonesia menemukan momentum dan kepercayaan dunia bagi upaya pemulihan global. Dalam diplomasi dan politik luar negeri, kredibilitas adalah modal yang sangat berharga bagi suatu negara.
Dengan presidensi G20, kita juga mengharapkan adanya dampak langsung bagi perekonomian Indonesia melalui peningkatan penerimaan devisa negara, termasuk tambahan pada PDB. Kegiatan akbar ini yang didahului berbagai pertemuan sesuai mekanisme G20 juga diharapkan menciptakan multiplier effect bagi perekonomian daerah kita karena kontribusinya pada sektor pariwisata, perhotelan, transportasi, ekonomi kreatif, dan UMKM lokal.
Indonesia mengangkat agenda seputar tiga pilar kebijakan ekonomi makro pascapandemi, yaitu: arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi berkelanjutan untuk pada akhirnya melangkah ke KTT yang mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger.” Sebagaimana kita lihat bersama, KTT G20 tampil dengan hasil-hasil yang gemilang dan signifikan dengan G20 Bali Leaders Declaration dan capaian (deliverables) konkrit berupa daftar proyek kerjasama negara anggota G20, walau sebelumnya ada kekuatiran banyak pihak apakah pertemuan ini akan berhasil maksimal sehubungan masih adanya perang di Ukraina dan sikap perlawanan terhadap Rusia yang adalah anggota G20.
Faktanya dapat kita saksikan sendiri bahwa G20 berhasil dengan tetap tidak lupa menyinggung masalah perang di Ukraina dan dampaknya secara ekonomi dan kemanusiaan kepada banyak negara di dunia. Indonesia bisa menyeimbangkan keduanya dan di sanalah diplomasi memegang peranan.
Penulis adalah Seorang Diplomat Saat Ini Bertugas Di Darwin, Australia.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.
✍????✍????✍????????????????????????????????????????
Great Article and Exposition, Sir.
Sungguh ulasan yang mantap sekali, Yth Bpk Raja.
Terima kasih Pak Mahmud yang kami hormati yang kini menetap di Solo/Yogyakarta. Ini merupakan suatu upaya untuk kembali berbuat sesuatu kali ini bagi kalangan pembaca harian Waspada di kota tercinta tempat kelahiran saya, Medan. Semoga upaya seperti ini bisa berlanjut. Salam dari Darwin, Australia.