Krisis Di Sudan Berlanjut

  • Bagikan
Krisis Di Sudan Berlanjut

Oleh Siuaji Raja

Di Sudan terdapat angkatan bersenjata atau militer negara (Sudanese Armed Forces/SAF) berkekuatan 200 ribu personel, dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan. Selain itu ada juga paramiliter/milisia (Rapid Support Forces/RSF) yang disebut-sebut memiliki personel hingga 150 ribu prajurit.

Konflik di Sudan sudah melewati 100 hari. Lebih dari 1000 orang tewas, ribuan luka-luka, termasuk perempuan dan anak-anak. Jutaan orang terpencar mengungsi di dalam negeri (internally displaced people). Ratusan ribu lainnya mengungsi ke negara tetangga (cross border displacement) antara lain ke Mesir, Chad, Sudan Selatan, Ethiopia, Eritrea, Republik Afrika Tengah, dan Libya. Sayangnya hampir semua negara ini juga terperosok dalam konflik internal mereka masing-masing.

Kenapa terjadi perang saudara yang berdarah-darah di Sudan? Mengenaskan. Mari kita lihat sedikit latar belakangnya.

Sekilas Sejarah Sudan

Republik Demokratik Sudan merdeka pada tanggal 1 Januari 1956, setelah menyatu selama hampir 136 tahun dengan Mesir dan mengalami pendudukan Inggris selama 56 tahun. Sudan tergolong miskin, saat ini berpenduduk 48 juta jiwa, namun merupakan negara terluas ketiga di Afrika, dimana sebagian wilayahnya masuk jazirah Arab, dengan garis pantai sepanjang 900 km.

Mayoritas beragama Islam, rakyat Sudan berbicara dalam bahasa Arab. Bangunan pyramida di Sudan misalnya lebih banyak dibandingkan dengan Mesir. Sudan juga bagaikan surga bagi yang mencintai satwa liar.

Sejak merdeka, Sudan telah mengalami lebih dari 15 kali kudeta militer. Perang sipil pertama di Sudan terjadi pada periode 1955 s/d 1972 dan yang kedua pada kurun waktu 1983 s/d 2005, utamanya antara pemerintah Sudan dan Sudan People’s Liberation Army (SPLA).

Pada tahun 1983, rejim militer ketika itu mencoba menerapkan hukum Sharia di seluruh Sudan. Hal ini menyebabkan perlawanan dari SPLA yang mewakili 11 juta rakyat di Sudan Selatan yang menganut animisme dan agama Kristen. Sudan Selatan kaya dengan minyak dan gas.

Usai konflik dan perang di Darfur yang terletak di wilayah barat Sudan, pada tahun 2011, Sudan Selatan memperoleh kemerdekaannya melalui suatu referendum dan menjadi negara yang berbentuk republik dengan dukungan kekuatan asing. Sudan kini resmi menjadi dua negara; Sudan (di bagian utara) dan Sudan Selatan, dengan Khartoum dan Juba sebagai ibukota masing-masing.

Pemisahan tersebut tidak mengakhiri krisis di sana. Sudan Selatan tidak bisa mengeksploitasi minyak dan gas karena konflik antarkabilah yang terus berlanjut, sementara di Sudan krisis terjadi hampir tanpa henti, khususnya di tubuh militer, sehingga memunculkan kudeta di atas kudeta dan instabilitas yang berdampak secara sosial politik kepada rakyatnya.

Pemimpin Militer Vs Paramiliter

Saat ini, di Sudan terdapat angkatan bersenjata atau militer negara (Sudanese Armed Forces/SAF) berkekuatan 200 ribu personel, dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan. Selain itu ada juga paramiliter/milisia (Rapid Support Forces/RSF) yang disebut-sebut memiliki personel hingga 150 ribu prajurit, dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti.

RSF dibentuk pada tahun 2013–sebagai suatu kekuatan ekstra (supporting unit) yang tidak tergabung dalam SAF–untuk membantu militer negara melawan pemberontak di wilayah Darfur. SAF memiliki angkatan udara dan senjata berat sementara RSF memiliki artileri dan kuat di darat. Mereka saling bekerjasama.

Dalam perkembangannya. keduanya memainkan peran kunci ketika melakukan kudeta militer membubarkan pemerintahan transisi militer-sipil pada Oktober 2021, setelah sebelumnya pada April 2019, menurunkan Presiden Omar Al Bashir yang berkuasa hampir selama tiga dasawarsa. Kemudian, keduanya mengumumkan keadaan darurat dan masa transisi menuju demokrasi pada awal 2024.

Namun, pada kenyataannya, RSF menjadi sumber ketidakstabilan negara karena alasan yang sederhana bahwa RSF bersifat paramiliter/milisia. Bukan hanya di dalam negeri, RSF ternyata juga terlibat konflik di negara tetangga, yaitu di Yaman dan Libya.

Terakhir kedua jenderal dikabarkan berselisih dalam rencana peleburan sejumlah besar personil RSF ke SAF dan pembagian kedudukan strategis dalam tubuh militer. Al Burhan mencium potensi yang berbahaya apabila RSF menduduki posisi-posisi strategis di tubuh militer.

Pandangan ini kemudian meruncing dan menyebabkan pertempuran yang sengit antara kedua pihak sejak pertengahan April 2023. Karenanya, rencana penyelenggaraan pemilu di tahun 2024 pasti akan terkendala. Banyak kalangan yang berspekulasi bahwa konflik ini merupakan sengketa pribadi antara para pemimpin militer.

Penutup

Adalah suatu hal yang menyedihkan memperhatikan perang saudara atau konflik buatan sendiri alias konflik keluarga terjadi sebagian besar di negara-negara miskin. Hampir semua perang saudara mengguncang negara-negara yang biasanya memiliki pemerintahan yang korup, di mana kekuasaan menjadi jalan tercepat menuju kekayaan.

Banyaknya kelompok yang bersaing di suatu negara, apalagi di kalangan militer yang pasti bersenjata, membuat perang saudara kerap berlanjut berdarah-darah dan rakyat biasa sering menjadi tumbal.

Solusi terbaik untuk Sudan saat ini adalah gencatan senjata, di mana perdamaian dan kekuasaan dikembalikan ke tangan rakyat. Solusi terburuknya, konflik berlanjut, dan pada akhirnya SAF atau RFS mengambil alih kekuasaan dengan kepemimpinan militer yang bersifat diktator, yang tentunya diikuti dengan kerugian jiwa dan material yang luar biasa.

Dalam kondisi terburuk lainnya, operasi militer gabungan negara-negara dekat dan jauh yang punya kepentingan dapat saja terjadi. Pengaruh negara-negara besar seperti AS, Rusia dan negara-negara Arab di kawasan seperti Mesir, Arab Saudi dan UAE juga sangat krusial dalam menentukan arah konflik Sudan.

Tarik-menarik kepentingan pasti terjadi. AS misalnya memiliki kepentingan untuk memastikan terealisasinya proses demokratisasi di Sudan, sementara Rusia memiliki tempat strategis di Laut Merah. Mesir adalah saudara terdekat Sudan yang memiliki kepentingan dagang dan pengelolaan sungai Nil yang airnya terbagi antara Mesir, Sudan dan Ethiopia.

Mesir bergantung pada sungai Nil untuk menghidupi lebih dari 100 juta penduduknya, sedangkan Ethiopia sedang mengerjakan bendungan besar di hulu yang mengkhawatirkan Mesir dan Sudan. Berbagai situasi buruk ini memang tidak nyaman; kasihan rakyat Sudan.

Penulis adalah Diplomat Bertugas Di Darwin, Australia.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Krisis Di Sudan Berlanjut

Krisis Di Sudan Berlanjut

  • Bagikan

Respon (6)

  1. Ada banyak hal yang bisa disampaikan kepada pembaca, terutama hal-hal yang belum kita ketahui…terima kasih sudah memberikan informasi ini ke kami bang Raja, sukses selalu…

    1. Terima kasih kembali adik Saanti. Kami mencoba membantu pembaca setia Waspada — yang merupakan harian tertua di kota Medan (pertama terbit tanggal 11 Januari 1947) dan terus berjaya hingga hari ini — agar bisa sedikit lebih memahami sejumlah kejadian/masalah yang terjadi di luar negeri. Semoga bermanfaat. Salam sukses selalu untuk semua.

  2. Tulisan yg sangat menarik dan membuka wawasan kita untuk menyadari bagaimana peperangan hanya membawa kesengsaraan bagi rakyat dan hilangmya suatu generasi emas Sudan. Hanya akibat perebutan kekuasaan kepemimpinan militer. negara itu.

    1. Terima kasih Pak Kishan. Benar bahwa konflik ini sangat berdampak pada publik negara itu. Kami tutup artikel dengan frasa “Kasihan rakyatnya” Kebanyakan dari rakyat tentunya orang biasa, mereka yang sederhana. Mereka yang tidak bisa berbuat apa-apa kecuali bersembunyi, mengungsi, mencoba bertahan hidup. Doa dan harapan kita tentunya pihak-pihak yang bertikai tersentuh hatinya melihat penderitaan rakyat/saudara mereka sendiri dan sepakat mengakhiri konflik dengan segera. Salam.

    1. Terima kasih atas responnya Pak Mahmud di Solo. Semoga tulisan itu dapat memberi sedikit gambaran tentang negara yang sedang bertikai dan kenapa terjadi konflik bersaudara tersebut. Hendaknya kita juga dapat berempati dengan rakyatnya yang mengalami berbagai kesulitan dan sekaligus mendoakan agar konflik berakhir. Satu waktu nanti kami mengharapkan Pak Mahmud dapat berkunjung lagi ke Medan. Salam sehat dan sukses selalu dari kami di Darwin, Australia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *