Oleh Dedi Sahputra
Saat ini persoalan sangat serius yang masih belum disadari khalayak adalah krisis air bersih. Padahal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 2019 telah merilis data bahwa 2,2 miliar orang atau seperempat populasi dunia kekurangan air bersih, 4,2 miliar orang tidak memiliki layanan sanitasi yang aman dan 3 miliar tidak memiliki fasilitas cuci tangan dasar.
Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 terlihat data bahwa hanya 6,87 persen rumah tangga memiliki akses air minum yang aman. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 dari BPS juga menunjukkan 90,21 persen rumah tangga yang memiliki akses air minum layak, meskipun distribusinya tidak merata.
Di Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan ketersediaan air diproyeksikan akan langka atau kritis di tahun 2045. Bagaimana dengan Medan, Sumatera Utara? Gejala kelangkaan air bersih tampaknya juga terjadi.
Data-data dalam bentuk kuantitatif ini harusnya mencengangkan kita semua. Bahwa kita sedang memasuki suatu era yang mengancam dan sangat mencemaskan bagi kelangsungan hidup anak cucu di masa depan. Krisis air bersih, termasuk krisis air minum karena kelangkaan air yang terjadi.
Perlakuan Terhadap Air
Ada beberapa penyebab yang menimbulkan air bersih akan langka di masa depan. Utamanya adalah perlakuan manusia terhadap air dan sumber-sumber air. Pencemaran di sumber-sumber air mengalir adalah hal yang lumrah terjadi saat ini di Medan dan berbagai daerah di Indonesia. Selokan sebagai tempat air mengalir dimaknai sebagai tempat pembuangan sampah. Sehingga hampir tidak ada selokan yang tidak mengalami pendangkalan hingga tersumbat dan tak lagi berfungsi mengalirkan air.
Sungai juga dimaknai sebagai tempat sampah yang besar. Orang-orang yang membuang sampah di sungai beranggapan sampah akan dibawa air, dengan demikian masalah sampah teratasi. Akibatnya air sungai tak lagi jernih, tapi keruh bahkan hitam dan berbau. Pendangkalan sungai pun terjadi dimana-mana sehingga tidak sanggup menampung luapan air manakala hujan deras turun. Akibatnya banjir menjadi kejadian yang lumrah setiap kali hujan.
Pantai pun ikut terdampak. Airnya tidak lagi berwarna hijau menyegarkan pandangan mata, tetapi ia berwarna coklat karena dipenuhi lumpur. Ini tentu sungguh menyedihkan, tetapi yang lebih menyedihkan dari itu adalah bahwa perlakuan buruk kita terhadap air masih terus berlanjut seolah tidak ada yang bisa menghentikannya.
Perlakuan manusia terhadap hutan juga buruk. Hutan dirusak dan menjadi pemicu kelangkaan air baku, terutama untuk pulau-pulau yang tutupan hutannya sangat rendah, seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Tutupan hutan di Indonesia berkurang dari 50 persen luas lahan Indonesia yakni 188 juta hektar pada 2017, menjadi 38 persen pada 2045. Bertambahnya populasi penduduk akan menjadi beban baru dalam penyediaan air bagi masyarakat.
Indikator Krisis Air Bersih
Di kota Medan, distribusi air bersih dikelola oleh Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) Tirtanadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah daerah. Umumnya rumah warga dialiri air dari PDAM Tirtanadi.
Beberapa indikator yang mengarah pada krisis air bersih pertama, adalah sulitnya warga kota Medan untuk mengakses air bersih. Untuk menggunakan air tanah tidak semudah beberapa dekade lalu ketika air tanah masih bersih dan jernih. Kini selain air tanah sulit didapat, biaya operasionalnya juga tidak murah karena harus menggunakan energi listrik—ditambah biaya pembuatan air tanah yang juga mahal.
Kedua, untuk mengakses air bersih dari Tirtanadi tidak gampang. Sudah lazim jika permohonan menjadi pelanggan BUMD ini butuh bertahun-tahun lamanya, atau bahkan sama sekali tidak pernah direspons. Warga seakan dipaksa menggunakan “jalur khusus” dengan harga yang lebih mahal.
Ketiga, air tidak mengalir ke rumah warga sudah beberapa kali terjadi. Meskipun dibantu mesin penyedot air, namun air tidak kunjung mengalir keluar. Warga kota Medan yang akan menggunakan air untuk keperluan sehari-hari menjadi terhambat.
Di wilayah pedesaan, sektor pertanian terdampak langsung krisis air seperti mengalami gagal panen yang menyebabkan terganggunya persediaan bahan pangan, sanitasi yang buruk hingga menimbulkan penyakit gizi buruk. Banyak penyakit lainnya yang muncul akibat krisis air seperti penyakit kolera, tifus, dan disentri yang mengancam.
Indikator lain adalah fenomena alam yang terjadi sejak dekade belakangan ini. Sebagai sebuah kota metropolitan, di kota Medan sudah sangat jarang angin berhembus semilir. Bahkan udara panas sepanjang hari semakin sering terjadi. Perubahan iklim ini semakin nyata dirasakan. Hujan yang terkadang turun seolah tidak lagi mematuhi jadwalnya. Terkadang turun di tengah terik matahari, terkadang tak turun selama berbulan-bulan lamanya.
Air sebagai alat utama untuk mandi juga semakin terasa kurang menyegarkan. Jika dulu orang selesai mandi terasa segar, tapi tidak sekarang. Air yang digunakan untuk mandi seolah telah lebih berat muatannya. Banyaknya sampah yang dibuang sembarangan di sumber mata air, dan di aliran air membuat air menjadi tercemar. Belum lagi sumbangan pencemaran skala besar dari pabrik-pabrik besar yang tak terkontrol.
Semua indikator itu sudah terjadi dan dirasakan secara nyata. Langkah pertama yang perlu ada adalah membangun kesadaran. Sadarlah bahwa ancaman krisis air bersih itu ada. Sadarlah betapa serius dampak yang disebabkan krisis air ini. Jangan wariskan teror yang mengerikan kepada anak cucu.