Kontestasi Pemilu & Kandidasi Pilpres

  • Bagikan

Proses kandidasi oleh partai politik yang instan dan tidak sehat dalam tahapan kepemimpinan menjadi persoalan serius. Kandidasi seolah hanya seremoni akibat kekuatan rujukan (reference power) yang dominan

Kontestasi Pemilu Kandidasi Pilpres. Pesta demokrasi sudah di depan mata, Pilpres dan Pileg akan dilaksanakan dalam satu paket dan satu kesatuan waktu serta satu kesatuan penyelenggaraan Pemilu tepatnya 14 Februari 2024, hari Rabu bertepatan hari valentine yang setiap tahunnya diperingati oleh masyarakat internasional.

Hal ini mungkin disengaja dijadwalkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar lebih mudah untuk diingat oleh masyarakat pemilih guna untuk meningkatkan partisipasi pemilih itu sendiri. Selang tidak berapa lama pasca Pileg dan Pilpres akan digelar pula Pilkada serentak 22 November 2024 yang juga bertepatan dengan hari aura internasional.

Namun penulis tidak bisa menebak apakah penentuan jadwal tersebut KPU ada kaitannya dengan keterpilihan calon kepala daerah adalah mereka yang memiliki aura positif (energik dan berkualitas). Ini semua disebut kontestasi politik menuju negara yang semakin demokratis. Kontestasi tentu akan diperankan para elit dan kandidat yang berkompetisi sesuai konstitusi yang disebut dengan istilah kandidasi.

Kita sudah bersepakat bahwa untuk menuju konsolidasi demokrasi yang kuat kuncinya ada pada partai politik. Sebab sejatinya partai politik adalah sebagai institusi pembentukan kaderisasi dalam hal suksesi kepemimpinan baik tingkat daerah maupun nasional. Sehingga Parpol harus memastikan dan bertangungjawab agar dirinya sehat sehingga mampu melahirkan calon pemimpin yang profesional dan memiliki kompetensi.

Terkait pencalonan seseorang menjadi pemimpin di tingkat daerah maupun nasional umumnya tergantung faktor dominasi partai politik di tingkat daerah dan nasional. Artinya, jika kursi legislatif didominasi satu partai politik maka akan semakin menjadi penentu proses kandidasi di daerah ataupun nasional. Di samping faktor lain yang cukup berpengaruh seperti track record seseorang calon atau kandidat.

Kontestasi menuju Pilpres 2024 agak lebih menarik dari segi isu di tengah masyarakat ketimbang Pilpres dan Pemilu lalu. Mulai dari isu penundaan Pemilu hingga wacana tiga periode untuk jabatan presiden dan terakhir adanya wacana menjadikan incumbent menjadi Cawapres.

Hal ini sudah ditepis pemerintah melalui penetapan dan dimulainya tahapan Pemilu seperti verifikasi Parpol yang boleh maju di Pemilu 2024 nanti. Sekaligus sudah diklarifikasi Jokowi bahwa niatan tiga periode dan Cawapres tidak tau dari mana arahnya. Proses kandidasi tentu akan menjadi hal paling menarik menjelang penetapan calon presiden dan wakil presiden beberapa waktu ke depan. Karena banyak stakeholder berkepentigan di setiap prosesnya mulai dari keinginan mempertahankan oligarki politik (penentuan kandidat secara tertutup).

Proses pencalonan presiden dan wakil presiden di Indonesia sedikit berbeda dengan pencalonan di negara lain karena peran sentral elit politik lebih kentara. Misalnya ada rencana menetapkan jumlah peserta Pilpres menjadi dua calon saja.

Integritas Lembaga Survei

Intergritas lembaga survei saat ini dihadapkan pada unsur kekuasaan (pemenangan politik) dan komersialisasi (untung-rugi). Di samping harus menjadi lembaga independen yang berintegritas dimana harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah (tergantung pada kejujuran lembaga survei) dan hukum (tanggung jawab moral pada publik).

Peranan lembaga survei dalam mengawal demokrasi dan Pemilu sudah dimulai sejak era reformasi, hampir tak ada Pemilu luput dari pantauan atau bahkan “intervensi” lembaga survei. Dari Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Pilpres sampai Pilkada, lembaga survei senantiasa mewarnai sejak awal, mulai dari pendeteksian para bakal kandidat hingga melakukan hitung cepat (quick count).

Dalam proses demokratisasi, lembaga survei merupakan sebuah keniscayaan di tengah euforia demokrasi, karena kehadiran lembaga survei jalan beriringan dengan kehidupan negara ‘berdemokrasi’. Kehadirannya mampu menjadi jembatan dan memberikan informasi tentang persepsi, harapan dan evaluasi publik terhadap kondisi dan perkembangan sosial-politik, bahkan juga bagian dari pendidikan politik. Bukan sebaliknya yakni penggiringan opini politik untuk kepentingan elit.

Kuatnya oligarki, realitasnya dapat dilihat pada proses kandidasi yang sehat ini kerap kali dirusak partai. Persaingan perebutan tiket di pilkada-Pilkada sebelumnyam telah dapat kita saksikan bersama di beberapa daerah. Proses tersebut memperlihatkan adanya oligarki di tubuh partai politik yang menyebabkan mekanisme kandidasi dan pencalonan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Seremoni Proses Kandidasi

Proses kandidasi oleh partai politik yang instan dan tidak sehat dalam tahapan kepemimpinan menjadi persoalan serius. Kandidasi seolah hanya seremoni akibat kekuatan rujukan (reference power) yang dominan. Hal ini akan berdampak pada investor ekonomi dan politik yang memainkan peran secara signifikan.

Pebisnis yang memiliki kepentingan bisa memberikan fasilitas seluas-luasnya pada kandidat. Untuk itu perlu adanya pembenahan dan evaluasi terhadap mekanisme kandidasi oleh partai politik baik pada tingkat daerah maupun di tingkat nasional antara lain;

Pertama, merealisakan mekanisme internal yang demokratis, transparan, dan akuntabel serta terbuka untuk umum. Partai memiliki peluang menempatkan seluruh komponen bangsa mengikuti proses pencarian dan penjaringan kandidat oleh partai politik dengan mempersiapkan diri sejak dini yang terbuka untuk internal maupun eksternal.

Kedua, pentingnya desentralisasi kewenangan kepada partai di tingkat lokal dan nasional dalam mengambil kebijakan terkait proses kandidasi untuk disuarakan pada tingkat Rapimnas masing-masing partai. Ini menjadi upaya membangun demokratisasi di internal partai dan memutus rantai oligarki.

Ketiga, membangun sistem pengkaderan dan rekrutmen yang memadai oleh partai politik di tingkat lokal dan nasional guna meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kader sebagai calon pemimpin, termasuk juga memperdalam visi kepemimpinan dalam membangun.

KPU dan Bawaslu diharapkan mampu membangun budaya kerja yang terbuka, transparan, akuntabel, profesional, antikorupsi, dan partisipatoris dalam menyelenggarakan Pemilu 2024. Termasuk dewan kehormatan penyelenggara Pemilu (DKPP) harus tegas kepada penyelenggara yang berpotensi melanggar aturan. Jika penyelenggara netral, maka semua pihak akan menghormatinya. Tetapi apabila melakukan pelanggaran seperti terlibat politik transaksional, maka timbul konflik karena peserta Pilkada tidak percaya kepada mereka.

KPU dan Bawaslu memiliki kemampuan yang regulatif dan imperatif. Regulatif, dimana KPU dan Bawaslu dalam bertindak harus sesuai UU. Sedangkan imperatif, KPU dan Bawaslu dapat memberikan arahan kepada bawahan dengan sangat jelas. Sehingga KPU dan Bawaslu bisa menggawal setiap tahapan demokrasi baik nasional dan daerah dengan tugas dan kewenangan secara seksama sehingga layak disebut sebagai wasit demokrasi yang bersikap netral bagi semua pihak.

Prediksi Kandidat

Jika segelintir elit yang berperan dalam penentuan Capres/Cawapres dapat dipastikan pasangan calon nantinya hanya sekitar dua pasang saja seperti Pilpres tahun lalu, polarisasi head to headKita sebut saja misalnya satu pasang calon diusung koalisi PDIP Cs (Puan)  karena sudah memiliki modal 20% dan satu pasang calon lagi dari koalisi Gerindra – PKB Cs (Prabowo).

Dari polarisasi Pilpres 2019 lalu masih menjadi catatan buram perkembangan demokrasi di Indonesia. Masyarakat terbelah dua. Di samping itu minimnya pasangan yang disetting para elit adalah sama saja mengebiri kaderisasi kepemimpinan nasional.

Jika proses kandidasi itu lebih fleksibel dan terbuka maka kesempatan untuk menampilkan lebih banyak Capres/Cawapres sehingga Pilpres 2024 mampu menghadirkan ragam harapan bagi para pemilih. Sebut saja misalnya memunculkan koalisi Demokrat, PKS, Nasdem dengan pasangan Anis – AHY atau pasangan keempat dari Golkar Cs (Airlangga) akan lebih mewarnai proses demokrasi.

Minimal kontestasi Pilpres 2024 diikuti tiga pasangan calon. Sehingga menggiring pencapresan oleh elit tertentu yang mempertahankan prinsip oligarkis dan konsep polarisasi terbantahkan sehingga sesuai harapan demokrasi yang kita inginkan!

Penulis adalah Kabalitbang DPD Partai Demokrat Sumut, Ketua Program Studi Ekonomi Unpab.

  • Bagikan