Di tengah kondisi nyawa terancam, sekitar 20 orang anak usia delapan sampai sebelas tahun hanya bertakbir dan melafazkan Ayat Kursi secara bersama-sama.
Mungkin dikarenakan saking takutnya, lafaz ayat yang dilafazkan sudah tak sesuai yang semestinya. Suara anak-anak perempuan terdengar melengking dan meledak-ledak.
Mereka yang berseragam sekolah madrasah dan baru menunaikan shalat Ashar di Masjid Jami’ Kota Tua, Kecamatan Tano Tombangan (Tantom) Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan, hanya berlindung di satu rumah.
Dari depan, samping dan belakang rumah tempat mereka berlindung, air sepinggang orang dewasa sudah mengalir deras. Membawa bebatuan, tanah, pasir dan kayu-kayu besar.
Di rumah tua setengah beton itu, mereka hanya ditemani Gumanti Ida Ritonga bersama tiga putrinya. Ada juga dua anak balita tetangga yang dititip orangtuanya karena sedang bekerja.
Dari kaca jendela, mereka saksikan air bercampur kayu dan batu telah merengsek ke arah pemukiman warga. Satu per satu rumah diterjang banjir hingga rubuh dan hanyut diseret air.
“Kejadiannya begitu cepat. Mungkin cuma 15 sampai 20 menit, rumah dan warung sudah hilang,” kenang Gumanti Ida Ritonga yang rumahnya berada tepat di depan SD Negeri Kota Tua.
Kemudian ia ceritakan kronologi banjir bandang yang terjadi pada Rabu (18/12/2024) sore itu. Diawali dari hujan deras yang mengguyur wilayah itu sejak pukul 14:00.
Setelah shalat Ashar, anak-anak sekolah mengaji itu pulang dari masjid yang berjarak satu rumah dari kediaman Gumanti. Pada saat anak-anak itu berjalan beriringan, air deras mengalir dan terus bertambah tinggi dari arah sungai di samping masjid.
“Depan rumah kita ini adalah simpang ke sekolah dan ke masjid. Lebarnya sekitar 2 meter dan ke arah masjid agak menanjak karena posisi masjid lebih tinggi. Anak-anak yang jumlahnya sekitar 20 orang berteriak ‘Nek, kenapa ini ?’,” kenang Gumanti.
Kemudian ia memanggil semua anak-anak itu berlindung ke teras rumahnya. Namun karena air semakin deras dan tinggi, mereka masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
“Anak-anak itu menjerit ketakutan. Lalu saya minta mereka bertakbir dan melafazkan Ayat Kursi. Dalam hati saya bergumam, jika Tuhan mau mengambil nyawa saya maka cukup saya saja, mereka jangan ikut,” katanya.
Dalam waktu singkat, semua porak-poranda. Tembok beton di depan sekolah sudah tumbang dan menimpa dapur rumah. Air setinggi lutut sudah masuk ke rumah dan mengombang-ambingkan meja serta peralatan rumah.
“Alhamdulillah, ketinggian air dalam rumah tidak setinggi di halaman depan, samping dan belakang. Anak-anak terus bertakbir dan melafazkan Ayat Kursi. Mereka dipandu tiga putri saya,” ujarnya.
Sekitar 30 menit kemudian, terdengar suara bapak-bapak dari luar, menanyakan kondisi mereka yang ada di dalam rumah. Setelah itu, bantuan datang dan mereka dievakuasi.
Semua yang berlindung di rumah itu dinyatakan selamat. Anak-anak yang jumlahnya sekitar 20 orang itu sudah mengungsi bersama orangtuanya ke desa lain. Hanya saja mereka masih trauma dan tidak mau pulang ke kampungnya.
Seperti dialami Aisyah Putri Amelia Rambe, salah seorang anak yang berlindung di rumah Gumanti. Ia masih trauma dan tidak mau pulang ke kampungnya. Jum’at (20/12/2024) ia dibawa ibunya pulang ke kampung, namun mobil masih masuk simpang saja dia sudah pucat, berkeringat dan minta jangan dibawa ke sana.
Atas kejadian ini, Gumanti berharap agar selain memberi bantuan sembako, pakaian dan membersihkan material banjir bandang, kiranya pemerintah juga memberi pendampingan semacam trauma helaing terhadap anak-anak.
Sukri Falah Harahap
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.