Kembali Ke Indonesia

  • Bagikan

Prasyarat kembali ke Indonesia mewajibkan perombakan radikal legalframework demokrasi dan politik. Dimensinya luas. Dapat mencakup perumusan makroekonomi konstitusi, revisi NKRI yang bukan singkatan Negara Kepartaian Republik Indonesia

Ketika Dato Ilham, Sekretaris DPD Partai Golongan Karya (Golkar) Provinsi Sumatera Utara, meminta saya ikut mengisi materi pada “Orientasi Pengurus Tingkat Provinsi”, saya merasa beroleh momentum strategis.

Golkar partai besar. Target pemilunya bukan lolos parlementary threshold, tetapi ingin tetap berkuasa, mengabadikannya di hampir jengkal demi jengkal wilayah NKRI. Terlepas kelak ia sukses atau pun gagal meloloskan kadernya ke puncak kekuasaan eksekutif dan legislatif di semua tingkatan.

Saya mulai gugatan dengan mengajak peserta berdialog filosofis mengenai mengapa Indonesia didirikan. Memerdekakannya dari enam bangsa yang pernah menjajahnya (Portugis, 1509-1595; Spanyol, 1521-1692; Belanda, 1602-1942; Prancis, 1806-1811; Inggris, 1811-1816; dan Jepang, 1942-1945).

Itu dinukilkan dalam Pembukaan UUD 1945: ingin membebaskan dari segala bentuk penjajahan (bangsa asing maupun bangsa sendiri), melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah-darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, berdasarkan Pancasila.

Suka atau tidak, objektif atau tidak, saya memosisikan Golkar sebagai salah satu “tertuduh” paling bertanggungjawab atas sejumlah deviasi serius dari pakem konstitusi. Juga terhadap ketidakpuasan masyarakat atas kinerja pemerintahan selama ini.

Golkar tidak sekadar memiliki pengalaman panjang sebagai the ruling party, tetapi juga kecukupan sumberdaya (teknokrat, jejaring, akses modal dan lain-lain) yang dengan semua itu membuatnya (semestingnya) menjadi dirijen lurus untuk irama besar kebangsaan menapaki kemajuan substantif.

Membiarkan apalagi menikmati keberuntungan adhock dari kecentangprenangan yang terjadi selama ini adalah kesalahan besar. Untuk bahasa bangsa yang beragama, itu adalah sebuah dosa besar. Kelak akan ditagih pertanggungjawabannya di yaumil akhir. Jadi, suka atau tidak, objektif atau tidak, dalam pandangan saya, Golkar telah berdosa besar.

Empat Urusan Inti Bernegara

Penduduk, pendayagunaan alat-alat kekuasaan yang sah, legitimasi dan sumberdaya serta distribusinya adalah domain-domain integratif urusan inti bernegara sepanjang masa. Untuk menyelamatkan, menegakkan harkat dan martabat serta untuk membangun identitas penduduk itulah Indonesia didirikan dengan memerdekakannya.

Kini identitas menjadi masalah nasional. Tetapi tak seperti difahami sangat negatif oleh elit penguasa pragmatis kehilangan nalar dan minim literasi yang terus ingin hidup mewah tak terinterupsi di puncak kekuasaan saat ini, identitas itu bukan barang usang. 

Identitas-identitas lokal dan nasional adalah keniscayaan dasar yang berangkat pasti secara dinamis membangun potret bhinneka Indonesia (nasional) sebagai modal dasar tanpa energi struktural negatif yang bertendensi mengomandokan (command culture, Samiarto Aji Purwanto, 2021), apalagi memperbenturkan sesama (Budi Agustono, 2021).

Jika ingin melacak sejarah identitas dan politik identitas, berusahalah mengenali Soekarno. Dialah bapak politik identitas Indonesia yang juga dikenal berpengaruh melintasi wilayah dan zaman, kalian suka atau tidak, yang dalam narasi besarnya pada rapat persiapan kemerdekaan yang dipandu kekuasaan fasisme Jepang, menegaskan identitas sebagai prasyarat kebangsaan dan kenegaraan

https://nbasis.wordpress.com/2020/01/08/soekano-bapak-politik-identitas-1/).

Penduduk wajib dicerahkan (enlightment) untuk mampu mengemban tanggungjawab sebareng hak-haknya secara penuh. Jadi, penduduk adalah urusan inti pertama bernegara. Dalam doktrin kenegaraan penduduk adalah determinan utama yang untuknya segalanya wajib dipersembahkan. Sudah berbuat apa Golkar tentang penduduk Indonesia?

Pendayagunaan alat-alat kekuasaan yang sah, adalah urusan krusial dalam negara karena dalam praktiknya mobilisasi kerap tak mampu membedakan mana kepentingan negara dan mana kepentingan rezim.

Rezim selalu bersembunyi di balik kepentingan negara, memaksiatkan dimensi-dimensi tugas dan kewajiban penyelenggaraan negara dan pemerintahan sesuai kepentingan pengabadian kekuasaan. Seyogyanya nafas rakyat akan tak hanya menginterupsi, bahkan seyogyanya menghembus agar ia terpental, sirna di kegelapan.

Tetapi legitimasi pengatas-namaan (mandat) untuk kepentingan dan aktualisasi urusan rakyat, urusan inti ketiga, selalu rawan untuk dimanipulasi sehingga ekspresi penduduk dan kepentingannya samar dan terus disamarkan. Demokrasi sebagai sistem yang secara inheren memiliki kelemahan dalam dirinya kerap sangat mudah dimanipulasi, dan rezim memahirkan diri dalam penyelewengan-penyelewengan ini.

Pada gelombang ketiga demokrasi (The Third Wave of Democracy, Huntington, 1991), para penguasa di negara-negara yang mengalami defisit demokrasi terus berusaha mencari cara untuk beroleh insentif dari proses demokratisasi yang tak terinterupsi berhubung penduduk terus dilemahkan dan dimiskinkan.

Pemilu prosedural terus diagendakan secara tertur, namun substansinya bukan evaluasi rezim dan sirkulasi kekuasaan, melainkan pengukuhan semata. Tak menjadi rahasia dalam perbincangan demokrasi, bahwa contoh yang dilakukan di berbagai negara terus ingin ditiru di negara-negara lain demia pengawetan kekuasaan.

Konstitusi China diamandemen untuk memberi hak memerintah seumur hidup kepada Xi Jinping, dan hal yang sama dilakukan di Rusia untuk mengabadikan kekuasaan Vladimir Putin 16 tahun ke depan.

Pelajaran dari Malaysia menjadi sangat penting, bahwa ketika melihat kecentangprenangan pengelolaan negara, seorang mantan Perdana Menteri berusia 92 tahu tergerak maju kembali setelah pensiun dalam waktu cukup lama. Mahathir Mohammad, tokoh senior Malaysia itu, berhasil meraih kembali jabatan Perdana Menteri dan sesuai janjinya ia berhenti sebelum berakhir masa jabatan.   

Malaysia di bawah pemerintahan Mahatir Mohammad menindaklanjuti janji-janji kampanyenya, terutama terkait sumberdaya dan distribusinya. Sebagai contoh, negara ini terlibat kerjasama tak adil dengan Cina dalam kerangka Belt and Rod Inisiative (BRI) yang memosisikan Malaysia kurang lebih sebatas wilayah untuk praktik neokolonialisasi bagi China yang ambisius itu.

Mahatir Mohammad menawarkan peninjauan kontrak kerja, dan urusan krusial itu tidak bermakna ajakan perang, melainkan ekspresi kedaulatan yang berpantang menundukkan kepala kepada negara mana pun dan yang tak perlu takut diperangi oleh negara sekuat apa pun.

Seberapa fair urusan Indonesia dengan Cina dan negara-negara atau multinational corporate yang beroperasi serta para oligarki yang menyandera konstitusi dengan konsekuensi membiarkan penduduk tak beroleh hak-hak normatifnya kalau bukan terbiarkan dalam kelaparan? Golkar tidak boleh berdiam diri menyaksikan itu.

Pengelolaan sumberdaya ajeg dikuasai sangat ketat oleh segelintir warga paling istimewa atas legitimasi rezim tak terbantahkan. Semua urusan inti bernegara ini tak boleh dibiarkan, Golkar harus mengajak seluruh komponen bangsa dan induk serta seluruh cabang kekuasaan untuk kembali ke Indonesia.

Kembali Ke Indonesia

Apa akar semua masalah besar ini? Inlanderitas telah menjadi penyakit akut anak bangsa karena terlalu lama dijajah oleh bangsa asing. Dengan inlanderitas itu umumnya elit lebih ingin menjadi komprador (ekonomi) ketimbang menjadi bapak bangsa.

Tak sedikit agamawan merasa enak mengitari istana. Banyak kampus terus mengabadikan kurikulum kajian legitimatif imperialisme antara lain dengan mengejar harapan palsu competitiveness padahal sejarah teori pembangunan dan penjungkirbalikkannya begitu jelas menorehkan perlawanan akademis atas hegemoni Amerikanisasi dan atau Eropanisasi yang selain rasistik juga terus ingin menikmati kepenjajahannya (Guillermo O’Donnell, Bureaucratic Authoritarianism: Argentina, 1966–1973, in Comparative Perspective, 1988).

Ketidakpuasan elit tertentu yang hadir dengan narasi koreksional tampaknya antara lain telah mendorong pendirian partai-partai baru. Tetapi relatif tak tahu akar masalah sesungguhnya. Umumnya hanya berkutat pada paradigma yang sama dengan partai-partai yang bertangguyngjawab atas ketidakberesan yang terjadi, tanpa konsep solusi yang jelas.

Mungkin saja telah digaungkan teriakan untuk menohok oligarki, tetapi tak sadar bahwa menurunkan satu oligarki sangat potensi dengan dan atasnama oligarki calon pengganti yang akan menerapkan penghisapan yang sama atas sumberdaya yang menelantarkan kepentingan dan maslahat nasional.

Kembali ke Indonesia harus diawali penyadaran doktrin besar pendirian dan pemerdekaan Indonesia (Pembukaan UUD 1945). Menghapuskan segala bentuk penjajahan, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan diplomasi internasional untuk perdamaian abadi global.

Prasyarat kembali ke Indonesia mewajibkan perombakan radikal legalframework demokrasi dan politik. Dimensinya luas. Dapat mencakup perumusan makroekonomi konstitusi, revisi NKRI yang bukan singkatan Negara Kepartaian Republik Indonesia, yang memerlukan perekrutan tanpa Pemilu wakil-wakil penduduk dari berbagai kalangan terutama organisasi jihadis pendiri negara (Muhammadiyah, 1912; NU, 1926; dan lain-lain), organisasi sosial berintegritas, organisasi profesi, konsorsium keilmuan, wakil masyarakat adat, dan lain-lain.

Sebagai salah satu contoh mendesak di tengah persempitan peluang penduduk untuk bertahan hidup, cobalah pikirkan dalam-dalam, apakah pasal 27 (2) UUD 1945 tidak dimusuhi oleh UU Ciptakerja yang justru membuat penduduk meradang itu? Golkar harus menjawab. Berburu kekuasaan sah-sah saja, tetapi jangan biarkan Pancasila menjadi semacam dead metaphore !!!!!

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Kembali Ke Indonesia

Kembali Ke Indonesia

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *