Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Kemarahan Jokowi & Texmaco Group

  • Bagikan

Oleh Dr H. Sakhyan Asmara, MSP

Pentingnya membangkitkan kembali industri Texmaco Group, terutama menjawab kegalauan presiden dalam pidatonya di hadapan para pejabat tinggi negara

Dalam acara Aksi Afirmasi Buatan Dalam Negeri di Bali Jumat 25 Maret 2022 lalu, Presiden Jokowi menunjukkan kemarahannya. Dengan mimik wajah tidak ramah, Jokowi mengeluarkan kata-kata cukup pedas menyentil beberapa menteri dan pimpinan lembaga tinggi negara karena masih menggunakan barang impor kebutuhan kantornya.

Seperti tempat tidur rumah sakit, alat kesehatan, seragam, sepatu tentara dan polisi, CCTV, alat tulis kantor, sampai laptop. Semua masih impor, kata Jokowi. “Padahal kita mampu memproduksi barang-barang tersebut,” ujar Jokowi. Presiden dua kali mengeluarkan kalimat melarang hadirin bertepuktangan dan mengeluarkan kata “bodoh kita”.

Ditinjau dari perspektif ilmu semiotika, kemarahan itu dapat dilihat dari dua makna yakni makna denotatif dan konotatif. Makna denotatif ialah arti harfiah suatu kata yang tersurat tanpa ada satu pemaknaan tersirat menyertainya, sedangkan makna konotatif mempunyai tautan pikiran, perasaan, dan lain-lain sehingga selain kata-kata tersurat yang didengar, juga mengandung makna lebih luas yakni tersirat yang menimbulkan nilai tertentu terhadap kata yang diucapkan.

Tulisan ini mencoba mengurai secara sederhana makna kemarahan presiden dari kata-katanya diikuti bahasa tubuh dan mimik wajah ketika pidato pada acara di Balitersebut. Tulisan ini juga mengurai hubungan makna pidato presiden dengan pentingnya membangkitkan kembali industri Texmaco Group yang dikenal dapat memproduksi berbagai barang kebutuhan sehari-hari maupun barang kebutuhan usaha dan perkantoran.

Kemarahan Presiden

Larangan bertepuktangan pertama diucapkan presiden saat menjelaskan cara agar APBN, APBD dan anggaran BUMN bisa mentrigger pertumbuhan ekonomi Indonesia. Caranya kata presiden, kita harus memiliki keinginan yang sama membeli, bangga pada buatan kita sendiri, bangga buatan Indonesia.

Lalu hadirin spontan bertepuktangan. Namun Jokowi meminta untuk tidak bertepuktangan dengan mengeluarkan kata-kata: “Jangan tepuk tangan dulu…” katanya dengan nada kesal. Hadirinpun terdiam. Kemudian Jokowi mengucapkan: “Begitu saya lihat, ini pengadaan barang dan jasa seperti apa. Detail sekarang ini kerja gak bisa, makro saja gak bisa… hilang pasti. Target kita pasti lari kemana-mana,” ujar Jokowi, suasana hening dan mencekam.

Jokowi mengutarakan kesedihannya karena para instansi pemerintah ternyata menggunakan APBN, APBD dan Anggaran BUMN untuk membeli barang impor. Padahal anggaran pengadaan barang dan jasa, anggaran modal sangat besar. Pemerintah Pusat memiliki Rp526 triliun, Pemerintah Daerah Rp535 triliun dan BUMN Rp420 triliun. “Ini duit gede banget… buesaar sekali..,” ujar presiden dengan nada tinggi menunjukkan kemarahannya.

Menurut Presiden jika 40 persen saja digunakan membeli produk dalam negeri maka akan mentrigger growth economy atau pertumbuhan ekonomi nasional sebesar lebih dari 2 persen. Jadi kata presiden tidak perlu cari kemana-mana, cukup secara konsisten membeli barang yang diproduksi pabrik kita, industri industri kita, UKM kita.

Presiden melampiaskan rasa jengkelnya karena justru hal itu tidak dilakukan sampai mengeluarkan kata-kata: “Bodoh sekali kita kalau enggak melakukan ini. Malah beli barang-barang impor.” Presiden melanjutkan mengeluarkan kata bernada jengkel: “Mau kita terus-teruskan… Endak… ndak bisa. Kalau kita beli barang impor, bayangkan Bapak Ibu semuanya, kita memberi pekerjaan kepada negara lain. Duit kita berarti capital out low… keluar… pekerjaan ada di sana… bukan di sini”.

Presiden melanjutkan jika pembelian barang pengadaan itu dilakukan di dalam negeri maka akan tumbuh investasi di dalam negeri, selain itu dapat membuka sekitar 2 juta lapangan pekerjaan. Kalau ini tidak dilakukan, sekali lagi BODOH BANGET kita ini…

Lalu disambut tepuk tangan hadirin. Lagi-lagi Jokowi menunjukkan kemarahannya dengan mengucapkan “Jangan tepuk tangan, karena kita belum melakukan. Kalau nanti melakukan dan itu 400 T lebih nanti betul-betul semuanya mengerjakan, silakan kita semuanya tepuk tangan”

Gimana mau kita terus teruskan. Coba CCTV beli impor, di dalam negeri ada yang bisa produksi, ini apa-apan ini… Dipikir kita bukan negara yang maju…, buat CCTV aja beli impor. Seragam dan sepatu, tentara dan polisi beli dari luar. Kita ini produksi dimana-mana bisa. Jangan diterus-teruskan…, Alkes…., Alkes Menteri Kesehatan, tempat tidur rumah sakit produksi, saya lihat di Yogya ada, Bekasi Tangerang ada… beli impor… Mau kita terus teruskan… silakan… Nanti mau saya umumkan kok, saya kalau sudah jengkel, yak tak umumi nanti… Ini rumah sakit daerah beli impor, kementerian kesehatan impor, tak baca nanti.. Karena sekarang ternyata gampang banget ini, detail…harian bisa saya pantau betul.

Makna Denotatif & Konotatif

Makna Denotatif. Sebagaimana telah diuraikan di atas, makna denotatif ialah makna yang diperoleh secara harfiah dari suatu kata atau gerakan tubuh tanpa adanya penambahan persepsi atau penilaian terhadap makna yang tersurat dari ucapan dan gerakan.

Menyimak ucapan dan gerakan tubuh Jokowi yang dapat ditonton dan disimak dari mediatidak dapat dipungkiri bahwa Jokowi benar-benar marah kepada para pejabat yang hadir, terutama yang instansinya masih menggunakan produk impor. Kemarahan itu dapat dilihat dengan uacapan “Bodoh sekali kita”, selain itu ucapan melarang para hadirin untuk bertepuk tangan.

Kalimat presiden sungguh mencekam, baik dari aspek kata-kata, bahasa tubuh dan nada suara atau intonansi suaranya. Kemarahan kepala negara, apalagi dilakukan di hadapan publik, bukanlah kemarahan biasa, kemarahan basa-basi. Tetapi benar-benar marah sehingga tidak mempedulikan ruang dan waktu, tidak peduli terhadap audiens. Layaknya kemarahan orang tua terhadap anaknya yang melakukan kesalahan.

Kemarahan presiden harus disikapi serius, bukan sekadar basa-basi, yang direspons biasa-biasa saja, usai acara lalu bubar tanpa tekad atau perencanaan tepat menjawab kemarahan presiden. Respons audiens menyikapi kemarahan presiden, secara denotatif harus diterima dan memberikan efek sebagai umpan balik menjawabnya. Kemarahan presiden dalam perspektif denotatif harus diikuti memahami pemaknaan secara konotatif.

Makna konotatif. Kemarahan Jokowi tersebut, secara konotatif memberikan makna tersirat yang harus dipahami untuk ditindaklanjuti para pejabat yang hadir. Kata-kata, ucapan, ungkapan dan gerak tubuh Jokowi memunyai tautan pikiran, perasaan sangat tajam dan mendalam, memberikan arti sangat luas bagi para audiens.

Setelah presiden menguraikan angka-angka tentang besarnya anggaran pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN, lalu mengeluarkan ungkapan “Ini duit gede banget… buesaar sekali… Enggak pernah kita lihat dan kita… Ini kalo digunakan… kita gak usah muluk muluk… Dibelokkan 40 persen saja… 40 persen saja… itu bisa mentrigger growth economy kita, pertumbuhan ekonomi kita, yang pemerintah dan pemerintah daerah bisa 1,71 persen, yang BUM 0,4 persen… 1,5 sampai 1,7, BUMN nya 0,4.

Nah inikan 2 persen lebih, gak usah cari kemana-mana, tidak usah cari investor, kita diem saja tapi kita konsisten membeli barang yang diproduksi pabrik kita, industri industri kita, UKM UKM kita.” Makna tersirat dari ungkapan tersebut ialah manifestasi penyesalannya terhadap lembaga negara yang tidak bijak menggunakan anggaran begitu besar. Malah digunakan membeli barang impor yang hanya dapat memberikan keuntungan bagi luar negeri.

Sanking jengkelnya, presiden melontarkan ungkapan dengan nada jengkel: “BODOH SEKALIkita kalau enggak melakukan ini. Malah beli barang impor”. “Mau kita terus-teruskan… Endak… ndak bisa. Kalau kita beli barang impor, bayangkan Bapak Ibu semuanya, kita memberi pekerjaan kepada negara lain. Duit kita berarti capital out low…  keluar… pekerjaan ada di sana… bukan di sini”. Bahkan dalam pidatonya itu, presiden sampai dua kali melarang para pejabat yang hadir bertepuk tangan.

Makna konotatif petik tersebut ialah, para pejabat harus mempunyai kecerdasan intelektual dalam menyusun perencanaan yang seharusnya memberikan dampak kepada pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Jangan membeli barang impor. Belilah barang buatan dalam negeri. Membeli barang impor justru memberikan capital out low, yakni pembelanjaan barang modal keluar, memberikan pekerjaan ke luar negeri.

Dapat diartikan mendesak para pejabat negara mengutamakan produksi dalam negeri guna memenuhi kebutuhan peralatan perkantorannya, menghidupkan industri dalam negeri, pabrik dan UKM agar dapat tumbuh dan berkembang sehingga mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dan kebutuhan pengadaan alat perkantoran lembaga pemerintahan tanpa harus membeli barang impor.

Larangan bertepuktangan, adalah sebuah ungkapan kemarahan serius. Hal ini sangat jarang dilakukan kepala negara kecuali betul-betul punya alasan kuat untuk marah. Larangan itu harusnya memberikan dampak rasa malu kepada para pejabat yang hadir sehingga tidak mengulangi perbuatannya membeli barang impor.

Membangkitkan Texmaco Group

Secara substansial sesungguhnya presiden berharap para pejabat bekerja mendorong tumbuhkembangnya industri dalam negeri. Pabrik, industri dan UKM dalam negeri harus didorong berkembang dan menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan terutama memenuhi kebutuhan peralatan perkantoran instansi negara. Jangan justru menghambat pertumbuhan industri dalam negeri.

Salah satu perusahaan yang telah menunjukkan kualitas produk dalam negeri dan telah berpengalaman memproduksi berbagai kebutuhan konsumsi dalam negeri adalah perusahaan industri di bawah naungan Texmaco Group. Texmaco lahir dari tangan Marimutu Sinivasan, kelahiran Medan, 17 Desember 1937.

Bos Texmaco Group ini menempuh pendidikan dari SD hingga universitas di Medan, meski kuliahnya di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) tidak selesai, karena terlanjur bekerja di perusahaan perkebunan. Namun visinya tentang masa depan serta instink bisnisnya sangat kuat. Sinivasan adalah tokoh pekerja keras sehingga memiliki aset sangat banyak dan industri besar di dalam maupun di luar negeri.

Texmaco Group adalah singkatan dari Textile Manufacturing Company. Unit unit usaha yang didirikan Sinivasan antara lain pabrik pembuatan polekat yakni bahan baku untuk membuat sarung, kemudian perusahaan batik dan pabrik penyelupan, membeli pabrik batik di Batu Jawa Timur, membangun pabrik poliester di Semarang sampai akhirnya sekitar tahun 70-an.

Texmaco mengembangkan sayap bisnis dengan memasuki dunia industri otomotif memproduksi kendaraan truk bernama Perkasa. Pada 1998, Texmaco sudah memiliki kawasan pabrik seluas 1000 hektare di Subang, Jawa Barat, dilengkapi Sekolah Politeknik Mesin. Selain itu di Karawang, Texmaco memiliki kompleks pabrik tekstil dengan luas kurang lebih 250 hektar.

Di pabrik ini, Texmaco menghasilkan merek Simfoni dan Texana yang dikenal luas hingga banyak dipesan perusahaan global seperti Mark & Spencer dan Tommy Hilfiger. Dengan hamparan unit usaha tersebut, Sinivasan beberapa kali masuk ke dalam daftar orang terkaya di Indonesia dan pernah menjadi salah seorang penyumbang pajak terbesar di Indonesia.

Texmaco pernah menjadi perusahaan menyerap tenaga kerja lebih 35 ribu orang, dan tidak kurang 300 ribu orang yang mendapat manfaat tidak langsung dari industri Texmaco Group. Itulah pentingnya membangkitkan kembali industri Texmaco Group, terutama dalam rangka menjawab kegalauan presiden dalam pidatonya dihadapan para pejabat tinggi negara.

Apabila Texmaco bangkit kembali dapat dipastikan memberi dampak bagi penciptaan lapangan kerja mulai dari industri hulu sampai hilir, sebab mampu memperoduksi barang kebutuhan sehari-hari dengan kualitas baik dan dengan harga murah. Texmaco dapat memproduksi tempat tidur untuk rumah tangga maupun rumah sakit, alat kesehatan, seragam, sepatu tentara dan polisi, CCTV, alat tulis kantor, traktor, sampai hard ware dan soft ware seperti laptop, kartu chip dan lain sebagainya.

Penutup

Melihat performance Texmaco Group dalam sejarah perkembangannya telah membawa Indonesia pada dimensi step forward, bukan hanya di bidang tekstil, juga bidang lain seperti otomotif, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya, selayaknya pemerintah memberi peluang duduk bersama Texmaco Group guna mendapatkan solusi terbaik atas permasalahan yang dihadapi Texmaco Group saat ini.

Diharapkan Texmaco Group dapat bangkit kembali, menjadi perusahaan dalam negeri yang membanggakan, berkualitas tinggi dengan harga terjangkau, sehingga mampu menjawab kegalauan Jokowi melakukan afirmasi terhadap buatan dalam negeri, tanpa mengesampingkan aturan dan regulasi sesuai ketentuan. Seperti kata kata bijak: “Buluh yang terkulai jangan dipatahkan, sumbu yang redup jangan dipadamkan, namun hukum harus terus tetap ditegakkan”.

Penulis adalah Dosen S2 & S3 FISIP USU, Ketua STIK-P Medan

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *