Agama tidak mempunyai pemahaman tentang fisika partikel dan hukum genetika. Konfirmasi agama atas sains sama sekali tidak mencakup peleburan atau pembauran dengan hipotesis atau teori ilmiah khusus. Sebaliknya, agama mengafirmasi sains dalam artian yang lebih mendalam, walau hal ini jarang sekali dihargai oleh para ilmuan dan teolog
Ketika kata agama dan sains terdengar di telinga kita, sejenak ingatan kita memutar ulang sejarah seru hubungan di antara keduanya. Terutama ketika kehadiran ilmu pengetahuan yang menjadi sesuatu yang liyan di zaman yang serba agama di masa lalu (zaman pra-industri). Kendati demikian, hadirnya ilmu pengetahuan dengan serangan konseptual yang radikal, cukup membuat agamawan di dunia Barat kala itu repot untuk meladeninya.
Sebagai implikasinya, terjadi persekusi terhadap para ilmuwan yang menentang keputusan-keputusan gereja yang mereka anggap membahayakan otoritas kaum agamawan.
Bahkan penyiksaan demi penyiksaan seperti yang dirasakan Galileo di abad ke 17 dan cemooh yang digalakkan oleh gereja secara besar-besaran di awal abad ke 19 kepada orang-orang yang berpegang kepada gagasan evolusi yang dikembangkan oleh Darwin.
Sementara di dunia Islam kelihatan terbalik. Di masa khalifah Al-Ma’mun, kelompok rasional-empiris (mu’tazilah: saintis), yang berselingkuh dengan kekuasaan melakukan persekusi terhadap kaum agamawan dari kalangan tekstual-konservatif (bayaniyyun: agamawan) yang dikenal dengan tragedi mihnah.
Puncak dari tragedi mihnah itu sampai memakan korban nyawa, Al-Khuza’i di penggal kepalanya dan ulama-ulama lain yang berpandangan konservatif. Bahkan Ahmad bin Hanbal sebagai bapak kaum tekstualis dipenjara selama 24 bulan tanpa pengadilan. (lihat, Abid Al-Jabiri, Tragedi Mihnah)
Terlepas dari apa pun tujuan terselubung dari konflik yang pernah terjadi antara agama dan sains, yang pasti, benturan di antara keduanya pernah berlangsung. Karenanya, untuk saat ini, agama dan sains harus saling mendukung dalam fungsi dan tujuannya masing-masing.
Walau demikian, saya tidak setuju bila mana agama hanya dijadikan sebagai justifikasi sains belaka. Lebih dari itu, agama memperkuat dorongan yang bisa melahirkan sains. Katakanlah misalnya, Ali Syariati yang menjadikan corpus otoritatif dalam Islam sebagai pijakan metodologinya dalam ilmu-ilmu sosial.
Kendati harus diakui juga, tidak semua isi dari corpus dapat dijadikan sebagai postulat awal, tapi bisa dipastikan bahwa paradigma agama yang sesungguhnya menyelimuti perkembangan sains di masa-masa tumbuh kembangnya sains dalam Islam (lihat, Ali Syariati, Sosilogi Islam).
Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa agama sejatinya memperkuat kerinduan akan lahirnya sebuah pengetahuan secara kontinius.
Tentu, teologi Islam tidak akan melahirkan dan mendukung sains jika terkait dengan kejahatan-kejahatan. Katakanlah misalnya, serangan atas alam untuk menerobos semua misteri kosmos sehingga kita memosisikan diri sebagai tuannya. Karena memang teologi Islam sangat menghargai alam semesta.
Alam semesta dalam pandangan agama merupakan suatu totalitas yang terbatas, koheren, rasional dan tertata yang dilandaskan pada kekuasaan Tuhan dan diikat dengan janji-janji yang aksiomatik.
Karenanya, agama Islam pada khususnya mendorong pencarian ilmiah untuk membebaskan manusia dari penindasan dan ketergantungan pada materi, agar tidak memandang alam semesta sebagai penguasa keteraturan dan objek yang bebas untuk dieksploitasi.
Lagi-lagi, ini tidak berarti mengatakan bahwa agama memberi informasi yang dapat dikumpulkan oleh sains sebagai disiplin pengetahuan. Sebab agama bukanlah satu disiplin pengetahuan yang membahas tentang segala sesutu secara komperhensif.
Karenanya agama tidak mempunyai pemahaman tentang fisika partikel dan hukum genetika. Konfirmasi agama atas sains sama sekali tidak mencakup peleburan atau pembauran dengan hipotesis-hipotesis atau teori-teori ilmiah khusus. Sebaliknya, agama mengafirmasi sains dalam artian yang lebih mendalam, walau hal ini jarang sekali dihargai oleh para ilmuan dan teolog.
Agama juga mengafirmasi seluruh sifat rasional dari realitas. Dalam hal ini agama semakin erat lagi dengan akar-akar epistemologis dari penyelidikan ilmiah. Einstein sendiri mengakui bahwa sains harus menjangkau keluar dari dirinya sendiri (agama) agar mendapatkan energi untuk mencari kebenaran secara konsisiten. Dalam artian, agama meyakinkan kita bahwa ada suatu perspektif yang lebih luas dari pada akal kita sendiri.
Kemudian mengarahkan kesadaran kita bahwa akal budi sendiri tidak cukup lapang untuk menampung seluruh horizon tentang being. Kendati pun betapa pentingnya agama menafasi pengetahuan, tetapi agama juga tidak bisa ikut campur terlalu jauh dalam menjawab teka-teki ilmiah secara spesifik yang jauh lebih cocok kalau dijawab secara saintis. (Lihat, Albert Einstein, Ideas and Opinions)
Dimensi religius dari kehidupan manusia sebagai praktik dari keagamaan sebenarnya sungguh bisa merintangi kecenderungan untuk memfilteri rancangan-rancangan sains yang membahayakan manusia. Yang muncul dari kehendak yang mencurigakan dari dalam diri.
Dengan agama, langkah kita tidak akan terburu-buru untuk mengubah alam dan menjadikannya hanya sekedar digunakan demi semata-mata kepentingan sesaat. Penghargaan terhadap ciptaan Tuhan yang terkandung dalam agama menghidupkan akar-akar terdalam dari kepedulian manusia terhadap alam itu sendiri.
Pada akhirnya, relasi agama dan sains adalah relasi yang berkait erat tanpa harus meleburnya menjadi satu maupun memepertentangkan keduanya menjadi dualisme. Implikasi agama bagi sains jauh lebih intim dan harmoni dibanding sebaliknya. Agama justru menghidupkan kepercayaan yang secara diam-diam diserap oleh sains tatkala dia melakukan penelusuran ke dalam wilayah yang belum dikenal karena tidak dapat membuktikan lebih dahulu secara meyakinkan.
Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Padangsidimpuan.