Terserah mereka juga menyimpulkan apakah pluralitas atau anomali, bahwa dengan komposisi penduduk (etnis) seperti itu, yang terpilih menjadi Ketua DPRD Kota Medan (Pemilu 2019) adalah seorang Tionghoa “bernama Islam”
Tak seorang dari 61 peserta kegiatan “Modul Nusantara”, “Kampus Merdeka Belajar Tahun 2022” Kemendikbudristek RI, yang diselenggarakan Sabtu 10 Desember 2022, di kampus UMSU, itu, yang berasal dari Medan. Umumnya pengetahuan mereka berasal dari kemasan informasi umum yang tak selalu benar. Misalnya, jika kota ini dikaitkan dengan salam khas “horas”, diperlukan penjelasan tentang proses sosial politik dan budaya yang dinamis dengan fenomena kalah-menang yang melahirkan dominant culture.
Lagu “Anak Medan” begitu terkenal, ikut mensahkan kebatakan. Deskripsi jatidiri dalam syairnya: nilai kesetiakawanan, harga diri, responsibilitas, dan mandiri (dikiaskan “pohon pinang tumbuh sendiri”).
Meski tempat yang digunakan relatif tidak jauh dari pusat kota, “begal” atas Partai Demokrat (2021) oleh Moeldoko dan kawan-kawan bukan di Medan. Tetapi Kongres Luar Biasa PDI (1996) yang menurunkan Megawati dilaksanakan di Medan. Momentum penting melahirkan PDIP.
Ada ungkapan “Ini Medan, Bung !!” Maknanya tidak mudah diterka. Interpretasi dapat sangat beagam. Identikkah dengan Medan The Smiling City atau kelaziman penyematan jabatan “Ketua” dan ”Ketua Besar” kepada sesiapa yang dikehendaki? Entahlah. Ini masih belum diungkap tuntas.
Ukuran-ukuran dipaksakan sering menjadi pengetahuan orang luar ketika berbagai predikat dengan parameter-parameter yang tidak selalu difahami warga disematkan. Misalnya, selain dikatakan sebagai kota yang siap raih predikat “Kota Sehat” pada 2023 mendatang (https://medan.tribunnews.com/2022/07/06/kota-medan-siap-raih-predikat-kabupaten-kota-sehat-pada-2023-mendatang), Medan juga pernah beroleh banyak penghargaan seperti “Adipura Kategori Kota Metropolitan” (2012, 2013 dan 2014), meski merosot ke perolehan terendah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018.
Tahun 2021 disebut kota tertinggi peredaran narkoba (https://sumut.antaranews.com/berita/382590/dprd-sayangkan-kota-medan-nomor-satu-peredaran-narkoba-di-indonesia) dan tahun ini masih enggan keluar dari problema itu (https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/01/11/medan-masih-pusat-peredaran-narkoba-32-kilogram-sabu-disita/). Ketika google diminta mencari “Tawuran Antar Pemuda di Kota Medan” (diakses Ahad 18 Desember 2022 pukul 03:53 WIB), muncul banyak judul pemberitaan yang seram-seram. “Medan Kembali Mencekam, Tawuran Antar Pemuda Pecah di Jalan Raya”, “Brutal, Tawuran Antar Geng di Jembatan, Gegerkan Kota Medan”, “Medan Membara, Tawuran Antar Pemuda Pecah …”.
Anomalikah jika di Medan 15 ribu ASN sedangkan tenaga honorer 11854 orang? (https://bkd.pemkomedan.go.id/situs/index.php?/statistik-pns). Jika alokasi anggaran dimodifikasi menjadi program “Medan Tanpa Pengangguran”, dengan pemerataan rekrutmen tenaga honorer ke semua kelurahan, dampaknya pasti sangat berbeda. Modifikasi itu dapat berupa simultanitas pertambahan sedikit anggaran, penurunan sedikit jumlah honor dan pertambahan jumlah tenaga honorer (https://www.waspada.id/opini/lingkungan-dan-pemberdayaannya-oleh-shohibul-anshor-siregar/).
Para mahasiswa peserta program ini tak begitu perlu terkejut mengetahui fakta beberapa Walikota Medan tersangkut pidana dan diberhentikan, karena di Indonesia hal serupa cukup populer. Meski demikian, tak cukup alasan menafikannya sebagai sebuah anomali.
Ke-61 mahasiswa itu perlu penjelasan sejarah dan sudut pandang demografi mengapa Kota Medan, kota terbesar di Sumatera, berkomposisi penduduk 33,03 % Jawa, 20,93 % Batak (termasuk Angkola), 10,65 % Tionghoa, 9,36 % Mandailing, 8,60 % Minang, 6,59 % Melayu, 4,10 % Karo, 2,78 % Aceh, 1,90 % Sunda, dan 3,95 % beragam etnis lain yang memperkuat keidentikan Medan sebagai miniatur Indonesia.
Terserah mereka juga menyimpulkan apakah pluralitas atau anomali, bahwa dengan komposisi penduduk (etnis) seperti itu, yang terpilih menjadi Ketua DPRD Kota Medan (Pemilu 2019) adalah seorang Tionghoa “bernama Islam” (Hasim, PDI-P) dan para wakilnya Ikhwan Ritonga (Angkola, Gerindra), Rajuddin Sagala (Toba, PKS) dan T.Bachrumsyah (Aceh, PAN).
Tak diperlukan narasi bertendensi apa pun atas data resmi yang dapat diakses online bahwa di kota Medan 64,53 % penduduk adalah beragama Islam dengan kepemilikan rumah ibadah (masjid dan mushalla) 1836 (60,00 %), Protestan 20,99 % dengan 837 gereja (20,00 %), Katholik 5,11 %, 96 gereja (3,00 %), Hindu 8,28 %, 36 kuil/pura (1 %), Budha 1,04 %, 233 vihara 8 %), dan Konghuchu 0,06 %, 63 rumah ibadah (2 %).
Dominasi ekonomi segera dapat dilihat oleh musyafir ke kota Medan dari tampilan umum tata kota dan segregasi wilayah (spatial segregation) pemukiman penduduknya, meski fakta kesenjangan tak selalu ditemukan penjelasannya di sini karena determinan politik nasional yang tak ramah terhadap keadilan telah berlangsung melebih usia republik. Data tentang ini selalu disembunyikan ketika melukis tentang pluralitas, harmoni dan toleransi serta radikalisme sekaligus yang menafikan numerical mayority (besar dalam jumlah) yang menderita di bawah dominasi technical minority (kecil dalam penguasaan teknis dan pengaruh di lapangan). Ini memang warisan kolonial yang paling awet dan terus dipertahankan elit kekuasaan di bawah dikte oligarki.
Banyak kota di Indonesia dibangun oleh kolonial Belanda untuk menunjang pemerintahannya dan umumnya pernah dipimpin oleh orang Belanda maupun Jepang. Surabaya tidak mungkin menafikan A. Meijroos, G.J. Dijkerman, H.I. Bussemaker, G.J. ter Poorten, W.H. van, Helsdingen, W.A.H. Fuchter, dan Takashi Ichiro. Kota Semarang harus mengingat D. de Jongh, A.Bagchus, dan H.E.Boissevain. Begitu juga Kota Bandung pernah dipimpin oleh E.A. Maurenbrecher, R.E. Krijboom, J.A. van Der En, J.J. Verwijk, C.C.B. van Vlenier, B. van Bijveld, Bertus Coops, Steven Anne Reitsma, Bertus Coops, J.E.A. van Volsogen Kuhrt, J.M. Wesselink, dan N. Beets.
Kata Medan berasal dari bahasa Arab yang terserap ke dalam bahasa Tamil (Maidhan atau Maidhanam) yang berarti tanah lapang atau tempat yang luas, yang kemudian menjadi Bahasa Melayu. Medan pernah dijuluki Parijs van Sumatra karena kemiripan kota ini dengan Paris pada masanya. Juga memiliki banyak warisan kolonial: PDAM Tirtanadi, PTPN, Bandara, Pelabuhan Belawan, Jaringan jalan dan Kretaapi. Daniël Baron Mackay, J.M. Wesselink G. Pitlo, Carl Erich Eberhard Kuntze, adalah 3 wali kota orang Belanda sebelum digantikan Shinichi Hayasaki saat pendudukan Jepang.
Nama-nama sesudahnya ialah Luat Siregar, M. Yusuf, Djaidin Purba, A.M. Jalaludin, Muda Siregar, Madja Purba, Basyrah Lubis, P.R. Telaumbanua, Aminurrasyid, Sjoerkani, A.M. Saleh Arifin, Haji Agus Salim Rangkuti, Bachtiar Djafar, Abdillah, Rahudman Harahap, Dzulmi Eldin, Akhyar Nasution dan kini Muhammad Bobby Afif Nasution.
Dua nama terakhir adalah peserta Pilkada 2020 dengan angka golput mencapai 54 %. Keduanya Nasution (Nasution A, Akhyar; dan Nasution B, Bobby), berebut jabatan puncak di sebuah kota pluralis miniatur Indonesia. Tahun 2005 tingkat partisipasi politik dalam pilkada 54,07%, 38,03 % tahun 2010 dan 26,88 % tahun 2015. Catatan lain Akhyar Nasution mungkin adalah walikota bermasajabatan tersingkat di dunia, hanya 6 hari yang beberapa di antaranya adalah hari libur.
Kota Medan pintu gerbang utama Indonesia di bagian Barat. Akhir abad ke-19 Belanda mendirikan perkebunan besar di sekitar Medan yang mengubahnya menjadi pusat perdagangan berjuluk Het Land Dollar (tanah uang) ditopang pembangunan jaringan Kereta Api yang awalnya didirikan untuk kepentingan pengiriman komoditi ekspos tembakau, karet, teh, kayu, kelapa sawit, dan gula dari Medan ke Pelabuhan Belawan.
Medan berbatasan dengan Selat Malaka, juga didukung Bandara Internasional Kualanamu yang terhubung ke pusat kota melalui jalan tol dan kereta api. Keperkasaan modal global unjuk hegemoni antara lain dengan peran signifikan tak hanya dalam program-program tertentu seperti Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMTGT), berintikan kerjasama peningkatan perdagangan dan investasi dengan eksploitasi saling melengkapi ekonomi dan keunggulan komparatif bebasis “pemanjaan” pemain utama sektor swasta.
Selain IMTGT, kota Medan juga terlibat liberalisasi intensif dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang mendorong pasar dan basis produksi tunggal. Sebagaimana di beberapa kota besar lain di Indonesia, aglomerasi Kota Mebidangro digagas oleh pemodal untuk merealisasikan rencana pengembangan koridor, pusat layanan kota baru, pengembangan dan pemantapan koridor hijau dan pengembangan akses strategis.
Di Medan terdapat kantor konsulat beberapa negara (Amerika Serikat, Australia, Belanda, Belgia, Britania Raya, Tiongkok, Denmark, India, Jepang, Jerman, Malaysia, Norwegia, Pakistan, Rusia, Singapura, Sri Lanka, Swedia, Thailand dan Turki). Selain itu Medan juga terlibat kerjasama Kota Kembar dengan Malaysia Georgetown, Pulau Penang (1984), Ichikawa dan Chiba (1989), Gwangju, Jeolla Selatan (1997), Chengdu dan Sichuan (2002), dan Milwaukee dan Wisconsin (2014).
Semua itu ikut memperkuat gempita globalisasi dan pengukuhan image yang tak selalu identik dengan realitas sosial sehari-hari, yang berbeda dengan harmoni. Tetapi tak banyak orang yang menilai penting berbicara substansi yang tersimpan di bawah permukaan. Sangat ideal sekiranya pemerintahan (dan wakil rakyat) tak hanya puas menyelenggarakan negara warisan kolonial (formalistik, hirarkhis, sentralistik dan birokratik), untuk sebaliknya bergiat menuntaskan masalah serius distribusi sumberdaya, agar kekayaan tak berkerja secara oligarkis.
Beberapa hari lalu Bupati Meranti marah. Banyak elit berlagak patriotik menanggapi. Berlagak pahlawan kesiangan. Padahal inti masalah adalah distribusi yang selalu dijadikan alasan untuk subordinasi dengan perangkat teknokratik. Harmoni itu palsu jika tanpa keadilan. Kau harus sadar bahwa harmoni bukan merek dagangan politik.
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).