Guru benar-benar harus berbenah. Guru harus merdeka dan memerdekakan. Yudi Latif menulis, “Anak merdeka hanya bisa dihasilkan oleh guru-guru merdeka”. Guru merdeka mengenali karakteristik setiap anak didiknya. Bahwa setiap anak memiliki kebutuhan belajar yang berbeda. Maka mereka harus diperlakukan secara berbeda pula
Tidak mudah menjadi seorang guru. Menjadi guru tidak hanya sekadar mengajar di kelas atau mentransfer ilmu dari kepala sang guru ke kepala anak-anak didik. Sebab jika hanya peran itu yang dimainkan oleh guru, mesin pencari Google, misalnya, jauh lebih mampu ketimbang guru. Anak-anak dapat belajar tanpa kehadiran guru. Jika sudah demikian, sekolah sebagai wadah guru memainkan perannya tadi, lama-kelamaan akan kehilangan esensinya.
Sementara sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar dan mengajar (pengajaran). Tetapi lebih dari itu: tempat guru mendidik, dan anak-anak dididik (pendidikan). Ki Hadjar Dewantara membedakan kata “pendidikan” dan “pengajaran”. Pengajaran bagian dari pendidikan. Pengajaran lebih pada pemberian ilmu. Sedangkan pendidikan, pemberian tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak.
Singkat kata, pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup. Itu pula sebabnya guru dituntut harus menjadi seorang pendidik. Bukan hanya sekadar pengajar. Namun saat ini, ada banyak guru yang berpuas diri sebagai pengajar. Sebaliknya, enggan menjadi pendidik.
Guru sebagai pendidik dituntut memiliki nilai dan peran. Nilai seperti apa? Guru yang memiliki karakter baik. Kita tidak menutup mata bahwa saat ini ada guru yang telah kehilangan nilai-nilai baik dari dalam dirinya. Sebut saja kasus memilukan yang baru-baru ini menjadi viral, ada seorang guru merudapaksa 13 muridnya.
Kita berterima kasih si guru tersebut akhirnya dijatuhi hukuman maksimal oleh hakim. Tapi poin utamanya bukan di situ. Bahwa dunia pendidikan kita, khusunya karakter guru-gurunya, tidak sedang baik-baik saja. Kasus tersebut hanya salah satu contoh kasus saja. Masih ada banyak kasus kejahatan yang melibatkan guru. Benar, ada pula banyak murid yang berlaku tidak pantas kepada gurunya. Tapi kita tidak boleh menjadikannya sebagai sebuah pembenaran.
Lumpkin pernah menyatakan bahwa guru dengan karakter baik mengajarkan muridnya tentang bagaimana keputusan dibuat melalui proses pertimbangan moral. Guru dengan karakter baik membantu muridnya memahami nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka, kemudian mempercayainya sebagai bagian tak terpisahkan dari mereka. Guru dengan karakter baik melestarikan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat lewat murid-muridnya.
Lalu pertanyaan adalah, apakah kian merosotnya kualitas karakter murid akhir-akhir ini terkait dengan kian merosotnya kualitas karakter guru? Saya tidak dapat menjawab secara pasti. Tetapi mengacu pada pendapat Lumpkin, bahwa guru dengan karakter baik melestarikan nilai-nilai kebaikan, maka saya berasumsi, guru dengan karakter yang tidak baik sangat mungkin tidak melestarikan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat.
Maka yang paling dibutuhkan saat ini adalah bukan hanya guru yang pintar. Tetapi juga guru yang dalam dirinya tertanam nilai-nilai kebaikan, yakni nilai-nilai yang dapat mengarahkan tingkah laku anak-anak didiknya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab apa pun ceritanya, anak-anak didik membutuhkan keteladanan. Guru harus menjadikan dirinya sebagai role model. Guru harus menjadi agen perubahan: mengubah dirinya dan anak-anak didiknya tentunya.
Untuk mencapai sebuah perubahan, seorang guru dituntut harus mandiri. Artinya apa? Guru tidak harus mesti didorong-dorong atau dipaksa agar mau berubah. Tetapi guru harus mampu melakukan perubahan untuk dirinya sendiri.
Jika guru tidak berubah, bagaimana mungkin ia dapat mengubah sekelilingnya? Bagaimana mungkin ia dapat mengubah anak-anak didiknya? Maka intinya, perubahan harus dimulai dari guru itu sendiri. Guru harus senantiasa belajar.
Salah satu kompetensi yang perlu dikuasai seorang guru untuk berubah adalah bagaimana ia mampu membangun budaya positif di kelas dan lingkungan sekolahnya. Bahwa seorang guru harus memastikan anak-anak didiknya merasa nyaman dan merdeka dalam belajar. Siswa harus diberi kebebasan seluas-luasnya untuk mengekspresikan dirinya tanpa merasa tertekan dan takut salah. Pembelajaran mestilah berpusat pada anak didik.
Guru harus lebih berperan sebagai fasilitator untuk memfasilitasi anak didik belajar dalam setiap pembelajaran, yang memungkinkan setiap anak didik membicarakan, mendiskusikan, serta mencari solusi permasalahan (kasus) dengan hasil analisis dan pemikiran mereka dengan tuntunan guru tentunya. Guru hanya berfungsi sebagai penuntun, tidak harus memaksakan kehendak.
William Glasser dalam Teori Kontrol-nya memaparkan bahwa dalam mendidik, sesungguhnya guru tidak dapat mengontrol murid dengan cara memaksakan kehendaknya, membujuk untuk melakukan sesuatu, atau mengkritik dan membuat murid merasa bersalah.
Tetapi yang tepat adalah guru harus memastikan lingkungan belajar yang positif sehingga murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab. Murid belajar karena ia memang ingin belajar. Ia belajar karena dorongan motivasi intriksiknya.
Maka guru benar-benar harus berbenah. Guru harus merdeka dan memerdekakan. Yudi Latif menulis, “Anak merdeka hanya bisa dihasilkan oleh guru-guru merdeka”. Guru merdeka mengenali karakteristik setiap anak didiknya. Bahwa setiap anak memiliki kebutuhan belajar yang berbeda. Maka mereka harus diperlakukan secara berbeda pula.
Pembelajaran berkeadilan bukanlah pembelajaran yang memperlakukan semua anak didik sama. Tetapi adil adalah ketika semua anak memperoleh pengalaman belajar yang baik. dan menyenangkan. karena mendapat perlakuan dan sentuhan yang tepat dari guru.
Tomlinson dalam bukunya “How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom” mengategorikan kebutuhan belajar murid berdasarkan tiga aspek, yaitu kesiapan belajar murid, minat belajar murid, dan profil belajar (cara belajar yang disukai) murid.
Dalam hal ini, guru harus menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid, yang oleh Tomlinson menyebutnya sebagai pembelajaran berdiferensiasi.
Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajajaran yang berakar pada pemenuhan kebutuhan belajar murid dan bagaimana guru merespons kebutuhan belajar tersebut. Sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas, guru perlu mengidentifikasi atau memetakan kebutuhan belajar murid dengan lebih komprehensif agar dapat merespons dengan lebih tepat terhadap kebutuhan belajar murid-muridnya.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Justin Tarte, “Satu ukuran cocok untuk semua”? Saya berpendapat bahwa setiap murid memiliki ukuran masing-masing.
Memaksakan ukuran yang tidak tepat justru akan membuat tidak nyaman, canggung, dan membuat murid tidak percaya diri. Maka mendidik murid sesuai dengan ukurannya, menurut saya, adalah cara yang paling tepat. Itulah hakikat merdeka belajar menurut saya yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah.
Penulis adalah Guru Bahasa Inggris di SMP N 2 Pakkat, Calon Guru Penggerak.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.