Gerbang Konstitusional Joko Widodo

  • Bagikan

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Gerbang Konstitusional Joko Widodo. Ibarat pemilik sebuah warung, Indonesia bisa menyodorkan kertas menu untuk dipertimbangkan oleh semua tamu (Amerika dan kelompoknya dan China dan kelompoknya) dan selama mereka berselara dapatlah menikmati santapan

Luhut Binsar Panjaitan, Airlangga Hartarto, Bahlil Lahadalia, Muhaimin Iskandar, Zulkifli Hasan dan tokoh serta kekuatan politik lain di belakang mereka tak perlu istirahat. Berdasarkan evaluasi atas unjukrasa 11 April 2022 dan perkembangan kadar resistensi dari lawan politik, mereka dapat merumuskan kembali strategi dan taktik baru. Politik dan kekuasaan tidak mengenal istilah kapok dan loja (letih).

Apapun hasil evaluasinya, fakta sama sekali tak berubah bahwa pintu gerbang konstitusional (pasal 37 UUD 1945) untuk menunda Pemilu dan menambah masa jabatan Presiden lebih dari dua periode tetap setia menanti Joko Widodo. Hanya keterampilan politik, soliditas, biaya operasional besar dan diplomasi internasional yang diperlukan.

Perubahan UUD dapat dilakukan jika sidang MPR dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota. Sepertiga anggota terlebih dahulu mengajukan usul perubahan secara tertulis dengan menjelaskan bagian yang akan diubah beserta alasannya.

Dengan persetujuan dari sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR, perubahan UUD 1945 langsung berlaku. Karena itu, secara teknis mengubah UUD itu tidak begitu sulit. Terutama jika dihubungkan dengan analisis kekuatan MPR dan bingkai kekar sistim politik terpimpin di bawah asas koalisi serta liberalitas faham politik yang sangat sulit dilawan oleh semua bentuk perlawanan.

Bagaimana dengan kekuatan politik formal yang menunjukkan resistensi? Apa pun narasi mereka saat ini, semua bisa dikompromikan. Salahkah memosisikan mereka pada situasi wait and see? Narasi bisa berubah dan dalam pikiran oligarki politik selalu hadir pertanyaan setiap memulai kalkulasi “untuk apa berkelahi jika dengan damai semua bisa dishare memuaskan?”

Mari disimulasikan. Penundaan Pemilu berhasil. Harap dicatat bahwa menunda Pemilu sebetulnya adalah bentuk ketidak percayaan diri Joko Widodo memenangi Pemilu 2024. Karena itu menang atau kalah dalam Pemilu berikut (setelah penundaan), kekuasaan efektif sudah dijalankan untuk jangka waktu yang diperkirakan cukup untuk mengkonsolidasikan semua yang diperlukan di balik rencana ini.

Konsolidasi apa gerangan? Tak hanya soal Ibu Kota Negara sepi investor dan minimnya support APBN. Juga soal “keamanan” pasca kekuasaan. Di Indonesia hal-ihwal berbau dendam sambil mengkapitalisasi dukungan politik dengan menuding kesalahan rezim sebelumnya sudah menjadi tradisi politik hukum besi kekuasaan.

Penundaan Pemilu juga menjadi peluang bagi semua Kepala Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) untuk sama-sama senang dengan hadiah besar perpanjangan masa jabatan itu. Merebutnya sangat payah dan berbiaya besar. Pemodal di belakang turut bergembira ria bersama pemodal suksesi tingkat nasional.

Hadiah yang sama juga akan dinikmati anggota DPR (Pusat, Provinsi, Kabupaten, dan Kota) dan anggota DPD. Jika melihat data reelected (keterpilihan kembali melalui pemilu), maka perpanjangan masa keanggotaan bisa dirasa lebih penting dari apa pun dalam prioritas negara dan bangsa.

Ketua Umum partai politik yang tidak setuju tentu saja bisa secara massif dijatuhkan dalam waktu tak begitu lama dengan menggerakkan “pentolan yang bergairah” untuk mengawalinya dengan berkelahi secara internal. Kongres atau Muktamar Luar Biasa tidak perlu dibayangkan melahirkan fenomena massif kepengurusan ganda, sebab legitimasi tak sulit dibayangkan secara prosedural.

Bagaimana mahasiswa yang terkanalisasi dalam berbagai ufuk? Meski masih potensil untuk sebuah titik temu, tetapi kondisi mereka sangat mudah dikapitalisasi oleh outsuider untuk saling mengeliminasi dan bahkan berkonflik hingga menelan korban jiwa. Seperti halnya “insiden Ade Armando”, unjukrasa mahasiswa bisa kena kutuk sekeras-kerasnya oleh kalangan yang selalu siaga untuk misi semacam itu. Seperti biasa pula, media arusutama dapat bertugas konsisten dalam keniscayaan garis imperatif oligarki (politik dan ekonomi).

Kelak bisa tiba saatnya para “ayah” dari para pengunjuk rasa berjacket almamater, yakni para dosen pro pemerintah, tampil berusaha merasionalkan Indonesia Maju di bawah niat penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Joko Widodo.

Mereka dapat berkata lantang, UUD 1945 bukan kitab suci yang tak boleh diubah. Ia telah mengalami 4 kali perubahan (1999-2002) tanpa gonjang-ganjing. Indonesia pernah mengalami beberapa kali pergantian konstitusi sebelum kembali ke asal (dekrit 5 Juli 1959). Jika setelah kejatuhan Soeharto tuntutan perubahan UUD 1945 begitu mulus karena anggapan urgensi penyempurnaan aturan dasar bernegara sesuai kebutuhan, maka kini para “ayah” pengunjuk rasa itu dapat berkata bahwa kebutuhan bangsa dan gagasan Indonesia Maju terlalu berharga dikorbankan.

Di antara para “ayah” para mahasiswa itu tentu saja masih banyak yang tetap konsisten dengan nalar sehat, namun kekritisan bukanlah sesuatu yang pernah dibuktikan oleh sejarah begitu menggetarkan kekuatan politik yang sedang mekar-mekarnya. Ruh manajemen kampus saat ini sudah lebih dari cukup untuk menjawab kekhawatiran atas akademisi berseberangan. Surat-surat protes mengatasnamakan guru besar saat menolak UU Ciptakerja dan revisi UU KPK telah cukup membuktikan. Akademisi bukanlah kubu perlawanan bagi pemerintah.

Joko Widodo hanya tak discenariokan membuat dekrit seperti pernah dilakukan Soekarno. Tetapi, siapa tahu, desakan untuk itu dipandang sebagai alternatif akhir. Tentu orang-orang di belakang Joko Widodo pun berhitung cermat, jangan mengulangi dekrit Gus Dur yang malah menambah kemarahan rakyat.

Orang akan menyanggah “bukankah jadwal Pemilu 2024 dan anggarannya sudah ditetapkan, bukankah fraksi-raksi MPR sudah surut dari tuntutan-tuntutan amandemen untuk memuasi obsesi gelap politiknya, dan bukankah Joko Widodo sudah menyatakan tegak lurus konstitusi?” Semua itu benar. Tetapi ukuran bagi derajat kebenaran politik selalu tunduk pada kenyataan fleksibilitas.

Ketua DPD LaNyala Mahmud Mattalitti memang sudah berkata “apakah jika kelak terjadi pembahasan tentang amandemen UUD 1945 akan dipandang sah tanpa kepesertaan DPD?” Pernyataan itu betul. Tetapi menilik sifat kelembagaannya, seorang Ketua DPD tidak mungkin memiliki span of control untuk kalimatun sawa perlawanan. Prioritas kepentingan negara dan bangsa pun bisa tak dihadirkan dalam pertimbangan jika perpanjangan masa jabatan disodorkan sebagai hadiah politik bagi anggota.

Pernah dalam sebuah diskusi seseorang menanyakan “bagaimana jika TNI tidak mengindahkan rencana, dan mengapa sikap organisasi besar yang berdiri tahun 1912 (Muhammadiyah) dan organisasi besar yang berdiri tahun 1926 (Nahdlatul Ulama) tidak diperhitungkan dalam analisis ini?” TNI tidak identik dengan ABRI yang pada masa-masa proses pembentukan identitas Indonesia (masa Soekarno) selalu mungkin dibayangkan memiliki haluan pemikiran berbeda dengan Presiden. Selama pembentukan jatidiri TNI pasca dwifungsi dan pemisahannya dari Polri doktrin yang menekankan monoloyalitas sudah sedemikian kuat.

Ini tentu tidak harus dihadapkan dengan kenyataan ketika seorang mantan Panglima TNI (Gatot Nurmantyo) dengan produktivitas narasi kritiknya. Kekuatan politik yang dibanggakannya sama sekali tak terhubung dengan internal TNI. Fakta beberapa mantan Panglima TNI yang sangat setia kepada Joko Widodo bisa membantah orang yang merasa Gatot Nurmantyo bisa muncul menjadi patron perlawanan.

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama adalah dua organisasi jihadis pendiri negara. Setelah itu dengan ridlo seridlo-ridlonya kembali ke amal usaha masing-masing seraya membiarkan negara menjadi urusan publik. Mazhab fiqh mereka identik dengan mazhab politik dominan universal berbasis neoliberal.

Sesekali mungkin ada suara mengalter kenyataan politik. Tetapi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tetap berada dalam pakem yang tak untuk membicarakan negara dalam koridor politik praktis, pemerintahan dan kewajiban eksekutorialnya untuk maslahat bangsa sesuai mandat demokrasi. Selain itu mereka akan sangat hati-hati untuk tak dikategorikan radikal, intoleran, anti pluralitas dan apalagi dilabeli jejak ISIS.

Sekarang mari sedikit berhitung soal waktu karena di sini akan diselenggarakan pertemuan G20. Ketimbang mengulik persoalan internal Indonesia, negara-negara pendikte kelompok G20 pasti lebih mengutamakan bagaimana memengoptimalkan sarana transmisi pelanggengan hasrat ekonomi dan politik.

Saat ini nama Indonesia sangat viral, bahwa setiap detik ada saja update berita konsumsi internasional terkait G20. Tak hanya soal remeh temeh gugatan keanggotaan Rusia sekaitan serbuan ke Ukraina. Sebagai tuan rumah, Indonesia tak mau ada kesan warna kekerasan dalam demokrasi menjelang perhelatan G20.

Selama hubungan bilateral dan multilateral Indonesia saling menguntungkan arena neoliberalitas (perdagangan bebas, isyu lingkungan, isyu pertumbuhan, kesehatan dan lain-lain), diplomasi akan tetap bergema dalam suasana saling mendukung.

Memang, orang akan selalu merujuk pada suasana global era perang dingin ketika kini tikai Amerika dan China melibatkan Indonesia. Tetapi, ibarat pemilik sebuah warung, Indonesia bisa menyodorkan kertas menu untuk dipertimbangkan oleh semua tamu (Amerika dan kelompoknya dan China dan kelompoknya) dan selama mereka berselara dapatlah menikmati santapan.

Hanya saja, ini semua tak membahagiakan rakyat. Tidak sama sekali. Semoga tidak terjadi, dan jangan tak waspada apa yang direncanakan Amerika dan apa pula siasat China. Semoga Muhammadiyah dan NU mencermatinya untuk alasan jasa besar tak terhingga tempohari mendirikan negara ini.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)

  • Bagikan