DOHA (Waspada): Warga Maroko berkumpul di sejumlah kota, Sabtu (Minggu WIB), guna merayakan keberhasilan tim nasionalnya membuat sejarah buat kali pertama lolos semifinal Piala Dunia.
Maroko memuncaki klasemen Grup F dengan mengalahkan Kanada dan Belgia serta bermain seri dengan Kroasia. Si Singa Atlas lantas menyingkirkan Spanyol melalui adu penalti di babak 16 besar, sebelum menang 1-0 atas Portugal di babak perempatfinal.
Mesut Ozil, mantan gelandang andalan Jerman, Real Madrid dan Arsenal, mengaku sangat bangga cerita dongeng Maroko masih berlanjut di Piala Dunia 2022 Qatar.
“Senang sekali, Maroko tim yang luar biasa. Ini prestasi untuk benua Afrika dan dunia Muslim,” cuit Ozil, seperti dikutip dari akun Twitter pribadinya, Minggu (11/12).
“Bangga melihat dongeng seperti ini masih berlanjut dalam sepakbola modern. Ini akan memberi begitu banyak kekuatan dan harapan kepada banyak orang,” beber bintang muslim berumur 34 tahun tersebut.
Gol kemenangan Maroko dicetak lewat sundulan striker Youssef En-Nesyri menit 42, setelah mendapatkan umpan cantik dari Yahia Attiyat Allah.
“Tidak ada yang mustahil dalam sepakbola, itulah keajaiban olahraga ini,” klaim Abderrazak Khairi, mantan pemain andalan Maroko pada era 1980-an.
Pada Piala Dunia 1986 Meksiko, Khairi mencetak dua gol dalam kemenangan mengejutkan 3-1 atas lawan yang sama, Portugal. Ketika Si Singa Atlas juga menjadi negara Afrika pertama yang mencapai babak sistem gugur.
Kini Hakim Ziyech dan kolega menjadi negara pertama dari tanah Afrika sekaligus negara Muslim yang berhasil menembus babak semifinal Piala Dunia.
“Tim Maroko telah berhasil melakukan hal yang mustahil. Kami menginginkan piala sekarang,” harap Ali Gyme, 24.
“Tim yang luar biasa, stamina yang luar biasa, pencapaian yang luar biasa,” puji Ilham El Idrissi, seorang wanita Casablanca berusia 34 tahun.
Tidak ada negara Afrika atau Arab yang mampu melampaui perempatfinal. Kamerun pada 1990, Senegal pada 2002 dan Ghana pada 2010, masih sebatas nyaris mencapai empat besar turnamen paling bergengsi tersebut.
“Saya pikir saya sedang bermimpi. Cubit saya! Sungguh kebanggaan yang besar. Saya berterima kasih kepada mereka dari lubuk hati saya,” kata Mouad Khairat, 29, seorang eksekutif di sebuah call center.
“Tim Maroko telah berhasil melakukan hal yang mustahil. Kami menginginkan piala itu sekarang,” tambah Mouad.
Perayaan kolektif begitu peluit akhir pertandingan menjadi kebiasaan di seluruh negara kerajaan itu. Di Casablanca sebagai kuil sepakbola Maroko, orang-orang berkaos tim nasional dan bendera merah dengan bintang hijau, terlihat di mana-mana. Di jendela, kios, pasar dan sebagainya.
Lukisan dinding raksasa memperlihatkan penyerang Hakim Ziyech dan pelatih Walid Reragui, yang telah disamakan sebagai pahlawan nasional. Reragui mengambil alih tim kurang dari tiga bulan sebelum kompetisi dimulai, setelah Vahid Halilhodzic dipecat.
Di luar perbatasan kerajaan, keberhasilan tim Maroko juga disambut masyarakat benua Afrika dan dunia Arab. Setelah kemenangan atas Spanyol, penyiaran Al Jazeera menyebut tentang “gelombang euforia” di seluruh dunia Arab.
“Sorakan terdengar dari Tunis, Beirut, Bagdad, Ramallah dan kota-kota lain saat orang-orang Arab berkumpul untuk bersukacita atas kemenangan tak terduga atas Spanyol – kontras dengan perbedaan politik yang telah lama memecah belah negara-negara Arab,” kata situs TV Qatar.
Di Yerusalem Timur, Ramallah dan Gaza, warga Palestina merayakannya dengan kembang api, sorakan, dan membunyikan klakson.
Di jalan-jalan Maroko, para penggemar sepakbola mengibarkan bendera Palestina di samping bendera mereka sendiri.
Di Aljazair, meski ada ketegangan dengan negara tetangga Maroko, situs sepakbola DZfoot memuji tim Singa Atlas. “Heroik, sensasional. Selamat, selamat,” katanya.
Di Paris, para penggemar Maroko berkumpul di Champs Elysees, tempat Prancis merayakan kemenangan Piala Dunia 2018 dan meledak dengan kegembiraan saat peluit akhir berbunyi.
“Ini merupakan kebanggaan besar bagi semua negara Arab, bagi seluruh Afrika,” tutur Maamar, 27 tahun, yang mengibarkan bendera Maroko tetapi mengaku aslinya adalah orang Aljazair.
“Apa pun yang terjadi, kami telah berada di empat tim terbaik di dunia,” papar Maamar.
Dounia, 23 tahun, warga keturunan Perancis-Maroko, mengatakan lolos ke semifinal adalah “hebat”. “Hari ini juga hari ulang tahunku, aku tidak bisa mendapatkan hadiah yang lebih baik,” ucap Dounia.
Mengibarkan bendera Maroko, Aljazair, Suriah, dan Palestina serta bernyanyi dalam bahasa Arab, para penggemar sepakbola yang gembira berbaur dengan turis yang memadati jalan ikonis Paris justru pada malam musim dingin. (m08/twt/afp)