Tayangan televisi yang berkualitas, adalah harapan banyak orang. Bagi masyarakat Indonesia yang terus diliterasi, karena kampanye literasi media semakin massif, media konvensional seperti televisi dan surat kabar adalah pilihan untuk dikonsumsi agar tidak terlalu sering terperangkap algoritma media sosial
Tantangan terhadap lahirnya tayangan televisi yang beradab cukup besar. Upaya untuk mewujudkan itu harus dinyalakan. Dengan cengkaraman era digitalisasi yang semakin kuat, kemampuan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat dan daerah untuk mengawasi dan mengendalikan konten lembaga penyiaran pun jadi kunci.
Penulis mendapat kesempatan menjadi salah seorang yang diusulkan Universitas Sumatera Utara (USU) sebagai informan (panel ahli) dalam FGD Riset Indeks Tayangan Berkualitas Program Siaran Televisi 2022 KPI di Bali pada 11 Mei 2022 – 13 Mei 2022. Ragam catatan kritis bermunculan, terutama dalam tayangan Program Berita dari lembaga penyiaran.
KPI memberikan 103 video siaran berita dari 15 stasiun televisi untuk dianalisis 13 panel ahli berbasis delapan pernyataan yang diperas dari P3SPS. Mulai dari apakah tayangan berupa fakta, tidak opini redaksi, berimbang, tidak menayangkan kekejian, pornografi, tidak menayangkan berita bohong, berita perdebatan SARA, hingga tidak menghakimi pelaku sebelum putusan pengadilan.
Secara umum, mayoritas informan memberikan skala 3 – 5 (dari skala 1-5) pada tayangan Program Berita dari 15 stasiun televisi tersebut. Setidaknya tampaklah usaha lembaga penyiaran untuk memenuhi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Tapi harus diterima sebagai temuan informan, ada celah yang patut direspon lembaga penyiaran dan KPI dalam konteks tayangan program berita sebagai sebuah produk jurnalistik.
Berita: Konten Medsos & Kebijakan Blur
Dalam program berita yang ditayangkan stasiun televisi, jamak saat ini menggunakan video dari media sosial (medsos) yang tengah viral. Mulai dari video dari closed circuit television (CCTV) yang merekam peristiwa tertentu, video amatir buatan, hingga konten medsos yang didesain sebagai konten viral.
Hemat penulis, berita yang menggunakan materi seperti ini dapat dibenarkan jika mendapatkan konfirmasi yang jelas siaran berita berdasarkan fakta, yaitu benar terjadi dan benar diucapkan oleh narasumber.
Dalam temuan penulis, terjadi inkonsistensi dalam praktik konfirmasi, cek dan ricek (verifikasi), dalam tayangan tersebut meski tidak pada semua stasiun televisi. Hampir keseluruhan program berita yang menjadi sampel, terdapat konten dari media sosial yang tidak dikonfirmasi lagi oleh redaksi.
Terutama untuk peristiwa kriminalitas dan hukum. Memanfaatkan konten media sosial sebagai materi pemberitaan tanpa mengecek langsung ke lapangan, pada akhirnya menimbulkan ketidakberimbangan, memberi celah redaksi memasukkan opini dalam narasi/audionya, dan kecenderungan terjadinya informasi bohong.
Penulis juga menemukan kebijakan lembaga penyiaran dalam mengaburkan gambar (blur), tidak serta merta dapat menjadi solusi untuk tayangan tidak menampilkan perbuatan keji, mengandung pornografi atau penghakiman tersangka sebelum vonis pengadilan.
Misalnya, meski dikaburkan, aksi pemukulan/pengeroyokan terhadap terduga pelaku pencurian masih bisa tergambar dengan jelas. Apalagi jika didengarkan narasi/audionya dengan seksama.
Artinya, penggunaan pengaburan gambar gambar tidak maksimal untuk menutup aksi kekerasan/keji dalam tayangan berita. Hipotesisnya, redaksi masing-masing televisi belum konsisten menerapkan standar siaran kekerasan dalam berita.
Menyerupai Media Sosial
Televisi ingin menyerupai media sosial? Kalimat dugaan ini juga menjadi salah satu yang mencuat dalam FGD dengan informan dari 12 provinsi tersebut. Jamaknya konten media sosial tanpa cek ricek ke lapangan, yang digunakan dalam materi berita menjadi salah satu indikatornya.
Mungkin, kebijakan ini digunakan lembaga penyiaran karena mereka juga mengunggah siaran berita itu ke akun media sosial mereka seperti Youtube, Facebook dan sebagainya. Tujuannya jelas, selain cuan tentu mereka ingin mendapatkan penonton yang lebih luas dan besar.
Tapi sekali lagi, berita punya standar. Verifikasi sebagai salah satu prinsip dasar jurnalistik harus diutamakan saat memanfaatkan media sosial untuk mencari ide atau sumber berita. Soal verifikasi sebagai sesuatu yang mutlak dalam berita sebagai produk jurnalistik jika dijalankan dengan benar, bisa dipastikan tayangan berita televisi bisa memenuhi P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran).
Penulis punya kekhawatiran atau mungkin ini sudah terjadi, siaran televisi akan ditinggalkan oleh masyarakat. Jika dugaan di atas benar, mungkin kita semua perlu mencermati statistik yang dikeluarkan We Are Social, tentang Digital 2022, April Statshot.
Dalam laporannya, We Are Social merilis tentang tentang tipe akun media sosial yang diikuti (Types of Social Media Accounts Followed). Dalam data We Are Social, ada 4,65 miliar akun media sosial yang aktif saat ini atau 58,7% dari total populasi dunia.
Nah, dari jumlah itu akun media sosial jurnalis atau perusahaan media (journalists or news companies) menempati posisi terakhir dari 16 kategori tipe akun media sosial yang diikuti oleh pengguna media sosial di dunia (17,3%) lebih kecil dari akun media sosial pakar gaming (17,4%) , pakar fitnes (17,4%) dan pakar kecantikan (17,5%). Dengan data ini, stasiun televisi masih ingin menyerupai media sosial? Ya, silakan.
Penutup
Sebagai penutup, penulis mendorong lembaga penyiaran menghindari penggunaan konten media sosial sebagai materi berita atau KPI harus memastikan siaran berita yang menggunakan materi media sosial untuk mendapat konfirmasi yang baik dengan reportase lapangan. KPI juga harus memastikan penerapan P3SPS dilakukan oleh lembaga penyiaran.
Langkah ini dapat dilakukan dengan sanksi yang tegas dan konsisten serta tidak sekadar sanksi administratif. Jika diperlukan revisi P3SPS dengan kondisi kekinian, harus dilakukan.
Tayangan televisi yang berkualitas, adalah harapan banyak orang. Bagi masyarakat Indonesia yang terus diliterasi, karena kampanye literasi media semakin massif, media konvensional seperti televisi dan surat kabar adalah pilihan untuk dikonsumsi agar tidak terlalu sering terperangkap algoritma media sosial.
Fakta bahwa pemerintah saat ini tengah melakukan proses seleksi KPI Pusat 2022-2025, diharapkan komisioner yang terpilih nantinya dapat menjawab tantangan untuk menghasilkan siaran televisi yang beradab dengan kerja-kerja profesional dan berintegritas.
KPI Daerah Provinsi Sumut 2022-2025 sudah disetujui DPRD Sumut dan tinggal menunggu jadwal pelantikan oleh Gubernur Sumut. Apalagi, hasil Riset Indeks Tayangan Berkualitas Program Siaran Televisi 2022 sudah di tangan KPI.
Penulis adalah Dosen FIS UIN Sumut Dan Pengurus PWI Sumut.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.