Anomali Brotoseno

  • Bagikan

Anomali Brotoseno Kuat dugaan PP Nomor 1 tahun 2003 pasal 12 ayat 1 (a) tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian RI menjadi alasan Polri tetap mempertahankan Brotoseno. Ada dua ketentuan untuk pemberhentian dengan tidak hormat seorang polisi ketika melakukan tindak pidana

Pengaktifan kembali AKBP Raden Brotoseno di korps Bhayangkara usai menjalani hukuman penjara, menuai hujanan kritik yang berkepanjangan. Sikap institusi Polri itu sangat disayangkan karena dianggap terlalu permisif dan toleran terhadap pelaku korupsi.

Sebagaimana diketahui Brotoseno tersandung kasus korupsi cetak sawah di Kalimantan dan ditangkap penyidik Bareskrim Polri 2016. Ia menjadi tersangka pada 18 November 2016 dan divonis lima tahun penjara pada 2017.

Brotoseno bebas bersyarat sejak 15 Februari 2020 yang seharusnya baru bisa menghirup udara bebas pada 18 November 2021. Ironisnya, begitu menyelesaikan masa tahanan karpet merah di bentangkan menyambut kembalinya Brotoseno. Aneh tapi nyata.

Alasan tetap mempertahankan AKBP Raden Brotoseno, sebagai anggota kepolisian menurut Kadiv Propam Mabes Polri, Irjen Ferdy Sambo, karena pertimbangan prestasi dan perilaku yang bersangkutan. Keputusan itu diambil lewat sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian (KKEP)

Artinya, hasil sidang etik dan profesi Polri, menihilkan keputusan pemecatan. Meskipun, terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi. Ia hanya diwajibkan menyatakan permohonan maaf kepada petinggi Polri di sidang KKEP dan tertulis kepada Pimpinan Polri.

Publik jelas bingung seperti apa standar presatasi dan prilaku dimaksud sehingga Polri tetap ngotot menerima kembali Broroseno. Seharusnya Polri tak lagi bermain retorika bila sudah menyangkut pelanggaran pidana anggotanya apalagi terkait kasus korupsi.

Padahal masyarakat yang melamar kerja dan lain sebagainya kerap diminta SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) yang menerangkan seseorang tidak pernah dipidana. Seharusnya Polisi juga harus dikenakan syarat itu dahulu dalam kapasitasnya sebagai penegak hukum.

Kembalinya Raden Brotoseno jelas menjadi cacat etika dan moralitas bagi institusi Polri. Harusnya lembaga Polri punya standar etika, moralitas, dan ketaatan hukum lebih tinggi sebagai institusi penegak hukum dibandingkan dengan lembaga lainnya. Bukan malah sebaliknya.

Kebijakan Polri itu kini menimbulkan beragam pertanyaan. Di antaranya soal kepercayaan publik sebagai penegak hukum dalam perang melawan korupsi. Bagaimana mungkin Polri bisa dipercaya bila terhadap anggotanya sendiri lembek dalam penegakan hukum.

Atau bisa jadi ini dianggap upaya Polri untuk menutup-nutupi penyimpangan yang dilakukan personelnya. Keputusan yang tidak bisa diterima nalar tersebut senyatanya berpotensi menjadi bumerang bagi institusi Polri yang justru akan semakin memperburuk citranya.

Hal lain kasus Brotosono menjadi bukti lemahnya penegakan hukum di internal Polri sebagai institusi penegak hukum. Maka tak mengherankan bila pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian kerap berulang terjadi karena tidak adanya efek jera. 

Polri seharusnya konsisten menjunjung tinggi sikap anti koruspi dan berdiri di garda terdepan. Argumentasi apapun yang disampaikan untuk membenarkan kebijakan menerima kembali Brotoseno. Sudah pasti sampai Kiamat tidak akan bisa diterima publik.

Institusi Polri diyakini masih punya sumber daya manusia berlebih yang bersih dan punya integritas tinggi. Dengan menerima kembali Brotoseno seolah institusi Polri kekurangan personel yang bersih dan memiliki integritas tinggi.

Anomali Brotoseno Kuat dugaan PP Nomor 1 tahun 2003 pasal 12 ayat 1 (a) tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian RI menjadi alasan Polri tetap mempertahankan Brotoseno. Ada dua ketentuan untuk pemberhentian dengan tidak hormat seorang polisi ketika melakukan tindak pidana.

Dimana yang pertama sudah ada keputusan yang inkrah dan yang kedua menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan dalam kepolisian. Dan yang pertama tidak diterapan dan hal yang kedua diterapkan.

Berikut bunyi ayat tersebut : “dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

Diksi “menurut pertimbangan pejabat berwenang” itulah yang dinilai sebagai dasar Polri tetap mempertahankan keberadaan yang bersangkutan. Meskipun sebenarnya kata itu terkesan sangat subjektif sifatnya.

Sementara dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 22 Nomor 1 huruf a berbunyi: “Sanksi administratif berupa rekomendasi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dikenakan melalui Sidang KKEP terhadap pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 4 tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.

Dalam kasus Brotoseno ini yang sudah divonis hukuman lima tahun penjara dalam kasus korupsi. Memenuhi syarat untuk dilakukan PTDH. Tapi hal ini tidak dilakukan oleh Polri berdasarkan dua pertimbangan yang disebut sebelumnya.

Harus diingat. Meskipun ada dasar hukum yang memungkinkan mempertahakan pelaku korupsi. Kebijakan itu tetaplah sesuatu yang buruk, anomali, absurd dan sama sekali tidak menunjukkan keteladanan dalam pemberantasan korupsi yang sudah menggurita.

Masih ingat dengan eks Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang telah dipecat tidak dengan hormat baik sebagai jaksa maupun PNS. Meskipun awalnya ada semacam upaya untuk melama-lamakan pemecatan yang bersangkutan.

Demikian juga dengan Apartur Sipil Negara yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan keputusan pengadilan dipastikan akan terkena pemberhentian tidak dengan hormat. Hal ini diatur dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Pasal 250 PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

Dalam tahun 2021 dari 94 orang di instansi pusat yang terlibat korupsi, sebanyak 86 orang (91,5%) telah dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat. Sedangkan 2.113 PNS di daerah yang terlibat korupsi, sebanyak 1.945 orang (91,9%) telah dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat.

Bangsa ini tidak boleh bersikap permisif dan bertolerasi terhadap korupsi, apalagi itu terjadi di lembaga penegak hukum yang harusnya punya komitmen lebih kuat dalam pemberantasan korupsi. Bukannya hanya pandai bermain retorika semata.

Penulis adalah Kepala Pusat Studi Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan – Kota Padangsidimpuan.

  • Bagikan