Anggota DPR Seperti PNS ?

  • Bagikan

Oleh Effan Zulfiqar Harahap

Anggota DPR seperti PNS. Yang pasti tidak ada sanksi bagi anggota DPR bila tidak mau dan berani untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Termasuk melakukan check and balance terhadap kebijakan pemerintah. Karena semua itu sepertinya tidak terlalu penting buat mereka lagi

Politisi senior PDI-P Effendi Simbolon pernah menyebut tidak ada lagi suara rakyat sekarang di DPR. Bahkan dia menyebut legislator di Senayan sudah seperti pegawai negeri. Katanya, “Lihat saja rata-rata di Senayan itu kan, anggota DPRnya kan kayak pegawai negeri. Mana ada suara rakyat sekarang di DPR itu. Orang akhirnya kayak ngantor diabsen, pulang diabsen”.

Effendi menyampaikan statemen tersebut satu tahun lalu dalam diskusi daring bertajuk “Senjakala Regenerasi Parpol” yang diselenggarakan pada Sabtu 27 Maret 2021. Ia juga menyebutkan harusnya anggota dewan tak perlu kuatir dalam memperjuangan aspirasi publik akan dipecat partai. Karena katanya tugas politisi adalah berbicara.

Senada dengan Effendi, ekonom senior Rizal Ramli juga pernah menyebut hal yang sama bahwa menurutnya kualitas wakil rakyat kini mengalami penurunan dalam mengontrol kebijakan pemerintah dibandingkan dengan masa reformasi. Anggota DPR kini tidak lagi memiliki taji karena dipaksa tuduk pada ketua umum partai.

Rizal juga menyebut yang paling kuasa kini adalah ketua umum partai dan kalau ada anggota DPR yang bandel dipastikan bakalan direcall. Menurutnya tidak diperlukan 575 orang anggota DPR. Cukup ketua umum partai saja yang menjadi anggota DPR. Ia juga menyebut sikap DPR yang sudah seperti PNS karena kerjanya hanya manut saja.

Kritik yang disampaikan Effendi dan Rizal terhadap anggota dewan/DPR itu tidaklah sesuatu yang berlebihan tapi benar adanya bila melihat apa yang terjadi belakangan ini. Anggota DPR dan lembaga DPR hari ini tidak lagi begitu respek dalam menyuarakan aspirasi rakyat kepada Pemerintah di tengah begitu banyak masalah yang sedang dihadapi rakyat.

Peran DPR/DPRD dalam perspektif pembagian kekuasaan sebagaimana disebut Montesquieu sudah sangat jelas sebagai representasi dari rakyat alias yang mewakili rakyat. Yang terjadi malah sebaliknya, ada semacam kecenderungan dari anggota DPR dan lembaga DPR hari ini telah berubah menjadi “kaki tangan” Pemerintah.

Kini mereka lebih senang mewakili kekuasaan eksekutif dibandingkan rakyat yang telah memberi mereka mandat. Mereka tidak lagi mewakili rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi. Saat ini sangat jarang kendengaran suara-suara berseberangan yang mengkritisi kebijakan Pemerintah dari mulut anggota dewan dan pimpinan DPR.

Meskipun mereka sepenuhnya punya hak untuk mempertanyakan atau bahkan mempermasalahkan kebijakan dan kinerja Pemerintah. Tapi itu tidak mereka lakukan dengan berbagai dalih yang kadang tak masuk akal. Mereka lebih senang tutup mulut, meskipun Pemerintah jelas-jelas tidak berpihak kepada rakyat yang diwakilinya.

Sepertinya anggota DPR sudah terkunci mulutnya. Lebih asyik dengan diri mereka sendiri dan kepentingan pragmatis lainnya dibandingkan dengan menyuarakan aspirasi rakyat. Dengan gaji/tunjangan/bantuan/biaya perjalanan, fasilitas bejibun dan dapat pensiunan seumur hidup. Seharusnya semangat untuk memperjuangan aspirasi rakyat makin mengebu-ngebu. Bukan sebaliknya.

Suara anggota dewan di Senayan kini begitu sepi kedengaran, Kalau boleh dikatakan nyaris tak terdengar ada paduan suara 575 orang yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Apalgi berharap lembaga DPR bisa menjadi pengontrol kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Itu sudah merupakan sesuatu yang mustahil.

Kini DPR begitu “manut” kepada Pemerintah dengan membiarkan banyak kebijakan pemerintah bertentangan dengan kepentingan umum. Kita lihat saja RUU Omnibus Law yang ditentang habis masyarakat. Justru di tengah malam diketok DPR dengan persetujuan seluruh partai koalisi pendukung pemerintah. Hanya dua fraksi yang menolak, PKS dan Partai Demokrat.

Demikian juga pengesahan UU Ibu Kota Negara (IKN) yang super cepat. Padahal tidak ada kondisi darurat yang sifatnya mendesak untuk memindahkan IKN di tengah defisitnya keuangan Negara. Pembahasan UU IKN hanya butuh waktu 42 hari dan ini mungkin baru yang pertama kali terjadi. Padahal masih banyak RUU yang terbengkalai pembahasannya.

DPR juga bungkam dengan masalah minyak goreng yang sampai hari ini belum ada solusi yang berpihak kepada masyarakat. Pemerintah tak berdaya melawan mafia/kartel minyak goreng. Tapi tak mengusik nurani DPR untuk berbicara soal itu. Upaya Fraksi PKS mengajukan Hak Angket juga di tolak fraksi penyokong pemerintah dengan alasan dapat menimbulkan kegaduhan.

DPR juga diam seribu bahasa ketika terjadi kenaikan berulang kali harga gas elpiji 12 kg dan BBM pertamax yang sama-sama non subsidi. Semetara itu Pemerintah juga sudah berencana akan menaikkan harga BBM subsidi jenis pertalite, solar, LPG 3 kg dan listrik secara bertahap di tahun ini juga. Dan sepertinya DPR akan mengamini kebijakan Pemerimtah tersebut.

Padahal stabilitas harga ini merupakan kunci untuk memperkuat pemulihan ekonomi. Jadi seharusnya Pemerintah bisa untuk mencegah terjadinya kenaikan harga yang diatur oleh Pemerintah sendiri. Ini malah menaikannya dengan berbagai dalih pada saat daya beli masyarakat makin menurun sebagai imbas pandemi Covid-19.

Pemerintah juga secara resmi sudah menaikkan PPN menjadi 11% per 1 April 2022. Terlepas dari alasan-alasan yang dijadikan dasar kenaikan tarif tersebut. Yang pasti tetap rakyat di lapis bawah yang akan terbebani. Karena produsen semua jenis barang yang terkena PPN dipastikan akan menaikan harga yang akan berimbas kepada masyarakat sebagai konsumen.

Hari ini harga-harga kebutuhan pokok di pasar juga sudah mulai merangkak naik dan tidak ada sama sekali terdengar suara DPR menyikapi hal tersebut. Artinya dengan semua yang terjadi sepertinya mereka menutup kupingnya rapat-rapat. Berlagak bodoh dan pura-pura tidak tahu apa yang sedang dihadapi masyarakat saat sekarang ini.

Maka, tidak berlebihan bila hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukan, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik (54%) dan DPR (62%) terendah dari 12 institusi yang disurvei. Artinya setali tiga uang bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap kedua lembaga itu sama rendahnya. Karena publik menilai kedua institusi sama-sama bermasalah dalam melaksanakan tugasnya.

Rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi partai politik dan DPR ini sebenarnya sudah begitu lama. Tiga tahun berturut-turut, 2020, 2021 dan 2022 hasil survei terhadap dua lembaga ini tak pernah berajak dari posisi terbawah dalam soal kepercayaan publik. Anehnya, tidak juga mengubah sikap dan perilaku partai politik dan politisi yang berdiam di Senayan.

Kabar terkini dalam Sidang Paripurna ke 20 masa sidang IV tahun sidang 2021-2022, Kamis 14 April 2022. Ternyata dari 575 anggota DPR yang hadir secara fisik hanya 27 orang dan 263 secara virtual. Pertanyaannya mengapa lebih banyak yang mengkutinya secara virtual? Dan ada sebanyak 285 anggota DPR tidak jelas dimana rimbanya.

Anggota DPR seperti PNS. Yang pasti tidak ada sanksi bagi anggota DPR bila tidak mau dan berani untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Termasuk melakukan check and balance terhadap kebijakan pemerintah. Karena semua itu sepertinya tidak terlalu penting buat mereka lagi. Meskipun semua penghasilan yang diterima mereka setiap bulannya berasal dari kantong rakyat juga.

Bila mereka tetap tidak mengubah sikap dan perilakunya sebagai representasi dari rakyat yang memberi madat. Maka jangan salahkan rakyat bila suatu saat marah dan menjadikan demokrasi jalanan sebagai solusi dalam menyampaikan aspirasinya. Atau memang benar seperti yang disebut Effendi dan Ramli bahwa anggota dewan tak obahnya bagaikan PNS? Entahlah..!

Penulis adalah Kepala Pusat Studi Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan – Kota Padangsidimpuan.

  • Bagikan