AIBS: Asal Ibu Bapak Senang

  • Bagikan

Tidak hanya bawahan yang melakukan pujian asal ibu bapak senang. Atasan atau pemimpin yang gemar pujian tapi miskin prestasi akan meminta bawahannya merekayasa puja-puji kepada dirinya untuk memuaskan dan memenuhi hasratnya seolah pemimpin yang berprestasi

Pada masa Orde Baru beberapa menteri saat memberi penjelasan tentang kebijakan pemerintah dalam berbagai kesempatan berkali-kali meluncurkan kalimat perintah bapak presiden atau menurut petunjuk bapak presiden. Menyampaikan penjelasan dengan selalu berucap atas perintah bapak presiden dan menurut petunjuk bapak presiden memunculkan cibiran politik, meskipun tidak disampaikan ke publik.

Jika pejabat pemerintah selalu berulang kali mengeluarkan kata atas perintah bapak presiden dan menurut petunjuk presiden dianggap melakukan puja-puji kepada atasannya. Memuji atasan berlebihan oleh bawahan merupakan hal wajar dalam budaya politik birokrasi.

Tetapi jika pujian itu berlebihan akan membuat sinis publik lantaran hanya bertujuan menyenangkan atasan. Sebagai manusia suka pujian. Tetapi jika pujian terus berkelanjutan dan melewati batas kewajaran akan memantik tertawaan dan kritikan kepada orang yang gemar memuja atasan.

Pada 1960-an situasi ekonomi morat marit akibat pertikaian politik. Saat itu republik sedang di puncak pertikaian ideologis. Di tengah situasi ketegangan politik ada pemberitaan tentang kelaparan. Pemberitaan kelaparan dianggap memalukan dan mencoreng bangsa.

Berita kelaparan dibantah presiden Soekarno dengan mengatakan semua itu bohong, tidak ada kelaparan. Bantahan pemimpin tertinggi bangsa menyurutkan publik membongkar kelaparan. Bantahan itu juga menutup soal kelaparan.

Presiden Soekarno lebih suka kata-kata besar bombastis yang menguatkan pamor kekuasaan seperti Pemimpin Besar Revolusi, Revolusi Belum Selesai dan sebagainya ketimbang mengatasi kelaparan.

Saat ini ketika bangsa sedang menuju masyarakat teknologi dengan bertumbuhnya aplikasi-aplikasi digital yang memudahkan kehidupan, masih saja ada yang memuja atasan dengan menyebut menurut bapak presiden. Frasa ini mengingatkan kembali puja-puji yang menyenangkan atasan di masa Orde Baru.

Malah puja-puji atasan tidak saja menyebar di kalangan birokrasi pemerintahan, melainkan menjalar ke perguruan tinggi. Para dosen sebagai penyangga budaya akademis dan budaya kritis saat mempunyai jabatan menjadi tumpul pikirannya lantaran lebih suka memuji atasannya.

Membuat asal ibu bapak senang tak mengenal zaman dan institusi. Kapan dan di mana saja puja-puji kepada atasan sering terjadi. Puja-puji asal ibu bapak senang, lazimnya bertujuan menyenangkan atasan seolah prestasi kerjanya bagus. Dengan pujian akan menyenangkan atasan.

Atasan atau pemimpin memerlukan pujian untuk menebarkan prestasi kerjanya berhasil. Apalagi jika pemimpin mabuk pujian selalu meminta bawahan melalui orang lain menggalang pujian untuk dirinya. Jika pujian meninggi akan dianggap berhasil dalam bekerja, meskipun kenyataannya berkebalikan.

Di masa digitalisasi teknologi pendengung atau pemengaruh, influencer, untuk mengelola puja puji pemimpinnya mudah dicari. Media sosial dibanjiri pendengung dan pemengaruh yang selalu hadir dengan membela pembayarnya.

Malah mereka dibayar sebagai pekerjaan normal dan rasional untuk membela dan memuji pimpinan. Mereka tidak lagi mencek apa substansi disampaikan memuat kebohongan atau tidak bukan masalah. Tujuannya satu, mencari uang membela yang membayar.

Pendengung dan pemengaruh dengan bermacam tujuan mudah dicari karena ini dianggap sebagai jenis lahan pekerjaan baru. Mereka akan memburu informasi data orang yang ingin dirundungnya melalui media sosial.

Jika atasan atau pembayarnya diganggu oleh orang lain, pendengung dan pemengaruh akan siap melawan musuh-musuhnya. Tidak mengherankan media sosial menjadi arena kontestasi pendengung dan pemengaruh membela dan mendukung pemimpinnya dengan agensi-agensi pasukan sibernya.

Orang yang selalu memuji atasan asal ibu bapak senang bermaksud melambungkannya agar merasa gembira. Bawahan suka memuji atasan tidak lain untuk mendapatkan sesuatu dan ingin beroleh perlakuan berlebih dari atasan.

Jika di pemerintahan bawahan yang gemar memuji atasan tujuannya memertahankan kepentingan jabatan atau pribadinya hanya untuk mencari aman orang yang suka memuji atasan biasanya tidak mempunyai prestasi kerja. Dalam bahasa Medan mereka ini disebut panglima talam atau penjilat.

Panglima talam (penjilat) adalah orang yang suka memuja puji atasan tanpa melihat prestasi atasannya. Apa saja yang diperbuat dan dikatakan atasan dianggap benar dengan bermacam dalih. Padahal asal ibu bapak senang hanya untuk mencari keuntungan pribadi.

Tidak ada relasi sosial yang tulus orang memuji atasan. Ia mempunyai pamrih agar beroleh perhatian lebih dengan tujuan agar jika ada peluang jabatan atasan akan mempromosikan dirinya mendapatkan jabatan dan keuntungan pribadi lainnya.

Itu sebabnya jika gaya kepemimpinan mempribadi seolah jabatan itu milik prabadinya pujian akan selalu mengalir kepadanya. Padahal belum tentu ia disenangi dan menyukai atasannya, tetapi demi keuntungan pribadi bawahan melakukan apa saja agar membuat atasan senang.

Tidak hanya bawahan yang melakukan pujian asal ibu bapak senang. Atasan atau pemimpin yang gemar pujian tapi miskin prestasi akan meminta bawahannya merekayasa puja-puji kepada dirinya untuk memuaskan dan memenuhi hasratnya seolah pemimpin yang berprestasi.

Tersebab terpaksa diperintah menyenangkan atasan, bawahan melakukan puja-puji dengan berat hati, tidak ikhlas dan tak sesuai dengan nuraninya. Pemimpin bersikap rasional, tidak kemaruk pujian, dan atensi kepada bawahan.

Pemimpin yang memerintahkan bawahan untuk memuji dan mengikuti perkataannya membuat bawahan tumpul berpikir, hilang kreativitas dan menghasilkan panglima talam alias penjilat.

Pemimpin medioker yang meminta dirinya dipuja puji bukan pemimpin handal yang menjauhi kritik, menjaga jarak dengan bawahan. Jika kritikan ditujukan kepadanya dianggap mendisrupsi pribadinya. Padahal dalam memimpin dibutuhkan semangat demokratis dan terbuka serta tidak anti kritik.

Dalam sejarah orang besar pemimpin yang berhasil mengubah dunia mempunyai kecerdasan, pribadi kuat, berani ambil risiko, mendahulukan kepentingan publik, punya agenda kemajuan, visioner, berkemampuan membaca situasi, dan memiliki gagasan progresif melayarkan perubahan. Tanpa semua ini pemimpin baik itu di pemerintahan, perusahaan, dan universitas akan sukar melecut perubahan.

Saat ini dunia sedang berubah cepat dan kompleksitas persoalan memerlukan penyelesaian rasional. Guna merespons perubahan mondial yang cepat diperlukan pemimpin tangkas, cerdas, berdedikasi dan tidak menghindar dari persoalan yang menambah kompleksitas masalah.

Menghadapi persoalan dan tantangan multi kompleks yang sedang bersahutan dibutuhkan pemimpin responsif, otentik dan berkarakter, bukan pemimpin asal ibu bapak senang untuk membawa bangsa menjadi kuat dan demokratis.

Penulis adalah Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

AIBS: Asal Ibu Bapak Senang

AIBS: Asal Ibu Bapak Senang

Penulis: Oleh Budi Agustono
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *