“Aku sudah lama tidak mendapat bantuan apa pun. Kalau dulu aku pernah mendapat bantuan raskin, termasuk uang, tapi sekarang bantuan sudah lama tidak pernah aku dapatkan,”
MENJELANG penutupan akhir tahun 2024, warga miskin tersenyum sumringah karena pemerintah mengucurkan bantuan sosial (Bansos) berupa uang tunai sebesar 800 ribu rupiah. Sebelumnya, warga miskin ini juga menerima bantuan PKH dan BPNT.
Di tengah kecerian para Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tersebut, ada sebagian warga miskin merasa bersedih karena tak menerima hak mereka atas kucuran dana Bansos dari pemerintah.
Jamaiah, salah satu contoh warga miskin yang luput dari perhatian pemerintah. Janda berusia 66 tahun yang berprofesi sebagai tukang pijat ini merasa bersedih karena ia tak mendapatkan bantuan seperti warga miskin lainnya.
Perempuan lanjut usia berdarah campuran Ambon dan Jawa yang tinggal di sudut tanah lapang bola kaki di Lingk IX, Kel. Bukit Kubu, Kec. Besitang, ini mencoba memastikan apakah ia mendapatkab bantuan atau tidak.
Dengan kondisi kaki yang sudah kokoh lagi, Jamaiah, Sabtu (29/12), berjalan tertatih-tatih sejauh ratusan meter dari rumah kediamanya menuju salah satu agen BRILink untuk mengecek Kartu Keluarga Sejahtera (KSS).
Ekspresi wajah perempuan tua bertubuh tambun ini tampak pilu saat mendengar penjelasan dari agen BRILink bahwa kartu yang dibawanya bukan ATM (anjungan tunai mandiri) KKS, jadi tidak bisa digesek.
“Aku sudah lama tidak mendapat bantuan apa pun. Kalau dulu aku pernah mendapat bantuan raskin, termasuk uang, tapi sekerang bantuan sudah lama tidak pernah aku dapatkan,” imbuh Jamaiah saat berbincang dengan Waspada.
Janda miskin yang sudah ditinggal mati oleh sang suami sejak tahun 2001 lalu ini mengaku merasa iri ketika melihat para warga dengan bersukacita menerima bantuan dari pemerintah, sementara ia hanya menjadi penonton.
Ia merasa iri dan sedih melihat kenyataan yang dirasakannya kurang adil ini. Bagaimana tidak, orang yang status sosial kehidupan lebih baik dari dirinya mendapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dan BPNT, sedang ia yang hidup jauh lebih miskin, tak mendapat.
Jamaiah memiliki tujuh orang anak, satu di antaranya perempuan dan enam laki-laki. Kini, semua anaknya sudah berumah tangga. Meski begitu, ia tetap berusaha hidup mandiri, tanpa mau ketergantungan dengan anak.
Ibu dari tujuh anak yang populer disapa Kak Butet ini sudah lama melakoni hidup sebagai tukang kusuk (pijat). Penghasilan yang ia peroleh dari profesi ini tidak menentu, karena tak setiap hari orang membutuhkan jasanya.
“Terkadang dapat Rp40 ribu sampai Rp100 ribu. Bahkan, bisa juga tidak ada sama sekali. Kalau penghasilan tidak dapat dipastikan, kadang ada dan kadang tidak,” ujar nenek dari beberapa cucu itu dengan nada lirih.
Perempuan berusia lanjut kelahiran Sunggal, Deliserdang, ini hanya bisa berharap kepada pemerintah agar dapat memperhatikan nasib rakyat kecil yang sudah renta dan tidak memiliki penghasilan tetap seperti dirinya.
Potret ketidakadilan seperti yang dialami oleh Jamaiah ini, perlu mendapat perhatian serius. Pemerintah harus lebih proaktif melakukan pendataan agar tak ada lagi warga miskin yang tidak terjaring dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).*Asrirrais
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.