Catatan Perjalanan Dedi Sahputra
ALEXANDRIA siang itu hangat berangin. Matahari bersinar garang ketika minivan HiAce yang kami tumpangi memasuki mulut kota, di sebelah Utara Mesir. Meski hari cerah, namun udara sejuk cukup bersahabat. Semilir angin laut yang bergaram seperti akan membuai siapa saja menanjaki lamunan ke masa lalu di negeri Nabi Musa as ini. “Sekarang sudah mulai masuk awal musim dingin,” kata Hafez, orang Indonesia yang sudah 20 tahun tinggal di Mesir.
Memasuki jantung kota, kami disajikan pemandangan laut yang khas kota tua ini. Biru laut yang jernih berpadu dengan birunya langit yang cemerlang di atasnya. Alexandria memang kota sepanjang garis pantai laut Mediterania yang indah. Penat empat jam perjalanan darat dari Kairo rasanya terbalas tunai sudah.

Warna biru laut itu berpadu dengan warna coklat tanah di hampir semua bangunan sepanjang pantai yang dipisahkan oleh badan jalan. “Di sini sering ada badai pasir, sehingga menyelimuti bangunan,” kata Hafez lagi. Itu mungkin sebabnya, pemilik bangunan tidak punya banyak pilihan warna untuk mengecat rumah mereka.
Kendaraan kami masih terus melaju. Di sela lalu lalang kendaraan yang padat, suara klakson tak henti-hentinya menjerit. Ya.., lalu lintas di Mesir umumnya lebih kurang sama bisingnya dengan di Medan. Mobil Lada, taksi Mesir buatan Russia sesekali melintas. Kendaraan mungil berwarna kombinasi hitam kuning ini menarik perhatian. Sepertinya pemerintah setempat sengaja melestarikannya sebagai ciri untuk tujuan wisata—sebagaimana black cab di London.

Alexandria memang kota yang ingin saya kunjungi sejak lama. Bukan saja karena almarhum Didi Petet memopulerkannya kembali pada salah satu scene-nya dalam film Ayat-ayat Cinta, tapi juga karena sejarahnya yang klasik dan tersambung ke masa angkara murka Firaun pada lebih 1200 tahun sebelum masehi. Ada kisahnya yang dramatis ketika Allah SWT mengutus Nabi Musa as untuk menghadapi raja lalim ini.
Kisah Alexander yang Agung (The Great Alexander) juga tidak kalah menarik dalam sejarah kota ini. Alexandria dibangun oleh Alexander Agung pada tahun 332 SM sebagai ibu kota Mesir. Kota ini kemudian menjadi pusat peradaban Helenistik dan perdagangan di Laut Tengah. Dalam perkembangannya Alexandria tumbuh menjadi pusat intelektual, ilmu pengetahuan, dan filsafat.
Hal ini ditandai dengan Perpustakaan Alexandria yang menjadi pusat ilmu pengetahuan kuno karena menyimpan ratusan ribu gulungan papirus atau lembaran kertas kuno dari zaman Firaun berupa potongan-potongan buluh. National Geographic mencatat Alexandria sebagai kota kosmopolitan pertama di persimpangan dunia yang pernah tidak tertandingi di peradaban kuno. Kota ini jadi pusat budaya dan ekonomi Mediterania kuno.

Tapi sejarah Alexandria bukan tanpa jejak berdarah. Negeri ini direbut Alexander dari raja Persia. Yunani menyerbu Mesir pada 332 SM saat dikuasai Persia yang menyembah api—yang menguasai daerah di lembah sungai Nil.
Alexander putra Filipus dari Makodonia memang seorang yang berambisi menguasai dunia. Dia sosok pemimpin raja pagan penyembah dewa-dewa yang keras kepala, bertindak instan dengan berani mengambil risiko besar. Tidak seperti ayahnya yang berhati-hati, sabar terkadang berbelit-belit, yang tidak pernah bertindak tanpa perencanaan.
Nyatanya Alexander di masa hidupnya yang singkat berhasil membangun Alexandria hingga menjadi kota peradaban dunia. Tapi Alexandria di zaman modern kini tak lagi “semewah” seperti dulu. Kota ini di masa modern tidak seperti kota-kota maju di dunia. Meski lautnya indah, sejarahnya cemerlang, tapi Alexandria kini punya sisi kumuh di beberapa sudut kota. Kemacatan dan pengemis juga menjadi pemandangan yang lazim.
Tidak mengherankan karena Mesir modern dengan Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita di tahun 2023 hanya sebesar 4177.61 dolar Amerika Serikat. Angka ini tidak terlalu besar jika dibandingkan PDB Indonesia di tahun yang sama sebesar 4.248 dolar Amerika Serikat. Tapi bukan berarti Alexandria lantas tidak eksotik lagi. Bahkan ketika hendak mengesplorasi kota ini lebih jauh, Anda bisa masuk ke muesum yang disebut The Archaeological Museum in the Bibliotheca Alexandria. Dia tetap menawan.
Sepanjang garis pantai, bangunan khas berpadu dengan deburan ombak yang jernih. Di ujung sana berkas kerajaan Raja Farouk yang menandai kejayaan Mesir di abad 20. Raja Farouk yang merupakan raja terakhir Kerajaan Monarki Mesir memiliki istana di Alexandria, yaitu Istana Montazah seluas 155 hektar. Istana ini dibangun tahun 1932 sebagai tempat peristirahatan keluarga Raja Farouk dan sebagai tempat menyambut tamu kehormatan yang berkunjung ke Alexandria.
Belum puas mengeksplorasi kota klasik ini, perut meminta jatahnya untuk diisi. Kami singgah di salah satu restoran di pinggir pantai. Ada beragam makanan Arab Mesir, termasuk nasi briyani dan ayam bakar dengan saus khas dan acar Arab. Panganan lezat mengisi energi untuk bekal perjalanan selanjutnya.
Sepertinya saya memang harus menghemat energi. Karena Alexandria, kota di mana sejarah kuno pernah singgah cuma salah satu jejak peradaban di Mesir. Karena masih ada jejak Salahuddin al-Ayyubi yang mendirikan benteng di Mesir bahkan jejak “pertarungan” Nabi Musa as dengan Firaun dengan pasak-pasak pasukannya yang kuat dipimpin panglima gagah perkasa, Haman.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.