JAKARTA (Waspada): Pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih mendominasi produk domestik bruto (PDB) mencapai 50,2 persen dari Rp20 000 triliun total PDB Indonesia, sehingga turut mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,3 persen.
“Kedepan, pertumbuhan kredit konsumsi ini harus digeser ke arah kredit investasi,” tutur Ryan Kiryanto, ekonom senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) dalam Inabanks – Focus Group Discussion (FGD) 2023: “Penerapan Prinsip Prudential Banking dalam Penyaluaran Kredit Bank BUMN”, secara daring, Senin, (27/2/2023), di Jakarta.
Dengan begitu, lanjutnya, cakupan pertumbuhannya akan semakin luas lagi karena ada proyek yang di bangun dan tercipta tenaga kerja baru,sehingga akan menghasilkan nilai tambah yang lebih luas ditengah masyarakat.
Hal ini juga sejalan dengan keinginan pemerintah di tahun 2024 yang menargetkan investasi sebesar Rp1.650 triliun, melonjak dari tahun ini yang ditargetkan Rp1.400 triliun. Tujuannya agar semakin banyak tercipta lapangan kerja dengan hadirnya proyek-proyek hasil investasi tersebut.
Sementara menyinggung pertumbuhan kredit tahun ini, Ryan memprediksi akan tumbuh di kisaran 9 – 12 persen, mengingat fluktuasi ekonomi dunia yang masih bergejolak akibat harga pangan dan gas yang masih tinggi dampak dari perang Rusia dengan Ukraina.
Survei Perbankan dari Bank Indonesia (BI) mengindikasikan penyaluran kredit baru pada triwulan IV 2022 tumbuh positif. Hal ini terindikasi dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kredit baru sebesar 86,3 persen, tetap kuat meski lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 88,1 persen.
Pertumbuhan kredit baru terindikasi terjadi pada seluruh jenis kredit, tercermin dari nilai SBT yang seluruhnya tercatat positif. Pada triwulan I 2023, penyaluran kredit baru diprakirakan tumbuh lebih tinggi, terindikasi dari SBT prakiraan penyaluran kredit baru sebesar 88,3%.
Kinerja Kredit Ketat
Ryan menegaskan, hingga saat ini kinerja kredit empat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) sudah dilakukan dengan prosedur ketat, sesuai prinsip kehati-hatian (prudential banking) yang tinggi.
“Penyaluran kredit bank Himbara tidak semudah yang dibayangkan oleh sebagian masyarakat. Selain wajib menerapkan prinsip prudential banking, mereka juga punya hirarki pengambilan keputusan kredit yang cukup panjang,” ungkap Ryan.
Dia mengungkapkan, seperti halnya bank swata dan lembaga multifinace lain, bank plat merah juga menerapkan prinsip 5C (character, capacity, capital, condition, dan collateral) dalam melakukan analisa kelayakan kredit. Hasil analisa dengan prinsip 5C ini kemudian digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan kelayakan pemberian kredit.
“Semua kredit yang disalurkan bank Himbara sudah sesuai dengan prosedur yang pruden untuk kegiatan korporasi bisnis maupun konsumen. Karenanya, tidak heran, kreedit bank Himbara selama ini telah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar Ryan.
Menurutnya, melalui analis kredit yang profesional, bank atau lembaga pembiayaan akan dapat menentukan besaran kredit yang diberikan sesuai dengan kebutuhan obyektif dari calon debitur. Hal ini akan menjamin fasilitas kredit yang diberikan akan tetap lancar sampai dengan jatuh tempo kreditnya.
Dia merinci, bahwa dalam Credit Approval Authority (CAA) berdasarkan Prinsip Analytical Hierarchy Process (AHP) ada beberapa layer (lapisan) pengambilan keputusan pemberian kredit, yaitu Komite Kredit, yang terdiri dari beberapa Anggota Direksi dan Kepala Divisi Kredit, Direktur Kredit, Kepada Divisi, Kepala Wilayah, dan Kepala Cabang (Sentra Kredit).
Dalam hirarki pengambilan keputusan kredit, lanjutnya, harus memenuhi empat prinsip mata (4-Eyes Principles). Karenanya di setiap hirarki keputusan kredit dilibatkan Direksi atau Pimpinan Satker yang membidangi manajemen risiko.
“Hal ini wujud pelaksanaan prinsip kehati-hatian, keindependensian dan obyektivitas pengambil keputusan kredit, yang dimaksudkan juga sebagai strategi mengamankan atau menyelamatkan kredit supaya tetap berada dalam kondisi lancer,” jelasnya.
Dengan catatan terdapat kebijakan internal bank dimana keputusan kredit sampai ke Dewan Komisaris, meskipun sifatnya melaporkan, karena nilai kreditnya yang besar. Di sini Dewan Komisaris bisa memberikan catatan atas keputusan kredit yang diambil oleh Direksi, sambungnya.
Analisa Karakter Calon Debitur
Dalam menjaga prinsip kehati-hatian, lanjut Ryan, pertama, pihak bank harus melakukan analisa karakter calon debitur. Dalam hal ini bank wajib memastikan pemenuhan kewajiban oleh debitur lancar sampai jatuh tempo jangka waktu kredit atau pembiayaan.
“Untuk itu, analisa karater (watak) dan rekam jejak (track record) calon debitur menjadi penting untuk dilakukan dengan seksama,” tegasnya.
Kedua, lanjut Ryan, pihak bank wajib melakukan analisa kapasitas atau kapabilitas atas kemampuan calon debitur dalam mengelola usahanya sehingga mampu memenuhi kewajibannya kepada lembaga kreditur (First Way Out) menjadi salah satu pertimbangan utama sebelum kredit atau pembiyaan diberikan.
Ketiga, pihak Bank harus melakukan analisa kondisi. Ryan menyebut, dinamika lingkungan bisnis yang secara langsung atau tidak langsung berpotensi mempengaruhi prospek usaha dan kinerja usaha calon debitur sehingga berdampak pada kemampuan calon debitur dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur harus dianalisa secara komprehensif dan seksama.
Keempat, pihak bank harus melakukan analisa kapital yakni Kecukupan kapital atau permodalan calon debitur sebagai modal dasar perusahaan calon debitur untuk dikelola dengan baik, tumbuh berkembang dan menguntungkan secara berkelanjutan.
Kelima, analisa kecukupan nilai jaminan. Dalam anaslisa ini, pihak bank melakukan analisa terhadap, kegiatan usaha perbankan atau lembaga pembiayaan senantiasa dilingkupi dengan berbagai risiko, termasuk dalam pemberian kredit.
“Lazimnya bank atau lembaga pembiayaan menetapkan Cash Equivalent Value (CEV) senilai 70% dari nilai agunan atau jaminan, untuk memastikan second way out-nya mampu meng-cover nilai kredit yang diberikan jika kreditnya bermasalah atau macet,” pungkasnya.
Kontribusi Penyaluran Kredit
Salah satu indikator kontribusi penyaluran kredit bank Himbara dalam pertumbuhan ekonomi nasional bisa dilihat dari beberapa faktor. Antara lain rendahnya tingkat rasio NPL bank Himbara.
Menurut Ryan gross NPL mereka tidak sampai 3%, sementara net to NPL, dibawah 1% (0,8%). Ini lebih disebabkan adanya gangguan ekonomi seperti pandemi dan ganguan ekspor akibat perang Rusia-Ukraina.
“Itulah yang membuat sebagian kecil debitur di bank BUMN itu mengalami kegagalan usaha. Tetapi kalau kita lihat presentasi NPL-nya yang begitu kecil, itu mengkonfirmasi bahwa prosedural di Bank BUMN itu, dalam konteks penyaluran kredit, sudah on the track,” terangnya.
Sementara itu, kontribusi bank BUMN terhadap kepentingan bangsa menurut Ryan dapat dilihat dari besarnya pajak dan deviden yang diberikan ke Pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN dan kredit produktif yang diberikan seperti kredit investasi, modal kerja, serta kredit skala kecil (UMKM) termasuk didalamnya Kredit Usaha Rakyat (KUR).
“Dengan keuntungan BRI Rp51 triliun, Mandiri Rp40 triliun, BNI Rp18 triliun. Jadi berapa pajak yang diberikan ketiga bank ini?. Jadi pajak yang diberikan Bank BUMN itu sangat signifikan menurut saya, dia akan masuk di pos penerimaan APBN,” jelasnya.
Ryan menambahkan, Bank-bank BUMN merupakan pioneer dalam penyaluran KUR, karena memiliki lebih banyak kantor cabang dan outlet untuk menyalurkan kredit kepada debitur UMKM yang belum bankable.
“Inilah peran nyata bank BUMN dalam konteks perkreditan. Bukan hanya itu, Bank BUMN juga membuka dan menyerap lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan, menurunkan angka kemiskinan dan seterusnya. Artinya kredit yang disalurkan bank BUMN itu menciptakan multi player effect,” pungkasnya. (J03)