SINGKIL (Waspada): Muara sungai, Kuala Gabi menjadi urat nadi perekonomian masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil. Ironisnya muara sungai ini bertahun-tahun dibiarkan dengan kondisi pendangkalan berkepanjangan.
Selama bertahun-tahun kondisi muara sungai ini terus mengalami pendangkalan. Akibatnya boat nelayan maupun penumpang kesulitan menurunkan muatannya, dan menyebabkan ekonomi masyarakat terhambat.
Bahkan sudah beberapakali boat nelayan sempat karam akibat dihempas ombak saat melintasi muara tersebut hendak masuk dermaga tradisional nelayan.
Beberapa kali anggaran yang dukucurkan untuk menangani pendangkalan juga belum memberikan penanganan yang tepat.
Tahun ini, anggaran yang dikucurkan senilai Rp150 juta juga terkesan mubajir dan dipaksakan pekerjaannya, dan hasilnya muara tak juga bisa dilalui boat nelayan.
Selain akses vital nelayan yang hendak keluar masuk menuju laut, muara ini juga menjadi pintu masuk masyarakat kepulauan, yang ada di 2 kecamatan, yakni Pulau Banyak dan Pulau Banyak Barat (PBB) yang berada diwilayah perbatasan perairan dengan Sumatera Utara (Sumut).
Sebab muara Kuala Gabi yang pernah menjadi lintas jalur perdagangan internasional, diwilayah pesisir kawasan Pantai Barat Aceh, juga merupakan salah satu mata rantai untuk meningkatkan ekonomi melalui potensi laut, dan kolam di sekitar pelabuhan Kuala Gabi di Kecamatan Singkil.

Berdasarkan analisa sederhana yang dilakukan salah satu tokoh pemekaran kabupaten Aceh Singkil, H Ismail Saleh Lubis kepada Waspada.id, Jumat (1/9) mengungkapkan, dengan alur serta kolam pelabuhan yang cukup strategis, sehingga Muara Gabi dapat melayani kapal-kapal nelayan, maupun kapal barang dan kapal penumpang dengan draft minimal 4 meter.
Dengan potensi laut Aceh Singkil yang luar biasa, hingga menghasilkan ikan segar mencapai 29.154 ton per tahun. Yang lantas diimpor ke medan Sumut, sebagai pusat insdustri dan menjadi kiblat perdagangan setidaknya kawasan bagian tengah Pulau Sumatera. Sehingga Aceh memiliki posisi strategis dalam melengkapi pelayanan berupa mata rantai transportasi di kepulauan, katanya.
Setidaknya ada 6 kabupaten kota di kepulauan yang membutuhkan keberadaan Pelabuhan Singkil selain Pulau Banyak dan Pulau Banyak Barat. Meliputi, Pulau Simeulue serta 5 kabupaten di Kepulauan Nias lainnya. Masing-masing, Kabupaten Nias (Kabupaten Induk). Kemudian Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat dan Kota Gunung Sitoli.
Jika mereka hendak menuju pusat industri dan perdagangan terbesar di Medan, wajib melalui Pelabuhan Singkil Kabupaten Aceh Singkil sebagai pilihan transit dan menjadi jarak tempuh terpendek dan ternyaman yang akan dilalui.
Dirincikannya, untuk jarak tempuh Gunung Sitoli-Kota Sibolga diperkirakan sekitar 82 mil, dengan kondisi lintasan 8 garis putar haluan.
Sedangkan melewati rute Gunung Sitoli-Singkil hanya sekitar 59 mil. Dan terdapat selisih jarak tempuh sekitar 23 mil lebih dekat jika melalui jalur Penyeberangan Singkil dan hanya 1 garis haluan, seperti antara gawang ke gawang lintasan penyeberangan yang dilalui.
Sementaran jika melewati jalur darat dari Sibolga menuju Medan Sumut memiliki jarak tempuh sekitar 343 km, dengan lintasan tikungan-tikungan yang cukup tajam. Sedangkan lintasan Singkil-Medan hanya sekitar 274 km. Dan terdapat selisih jarak tempuh lebih dekat ke Singkil sekitar 69 km, terangnya.
Ironisnya, ada apa dengan Aceh Singkil? Mengapa peluang ini tidak dimanfaatkan sejak diterbitkannya UU Nomor.14 tahun 1999. Dan sudah saatnya Aceh Singkil menjawab pertanyaan ini. Kesempatan untuk memanfaatkan pelabuhan Singkil harus bisa direbut, sebagai penyedia pelayanan yang representatif dan maksimal, beber Ismail
Semoga kita semua peduli terhadap Negeri Batuah Bumi Leluhur Ulama Besar dan Kharismatik Syekh Abdurrauf As-Singkili yang sedang terhina ini. Semoga Aceh Singkil menjadi Negeri Baldatun Thayyibattun wa Rabbun Ghafur yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang, pungkas Ismail mantan Kapten Kapal yang juga mantan Kepala Desa Pasar Kecamatan Singkil ini. (B25)