Dalam ilmu Matematika, angka sebesar apa pun ketika dikalikan dengan nol tidak menghasilkan apa-apa. Nilainya tetap nihil alias kosong.
Pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem terkait pencabutan QR barcode Pertamina, jika ditamsilkan dengan angka, ia memiliki nilai konstan. Bagi yang sangat setuju, mungkin akan memberinya nilai 9 dari deretan 0 hingga 10. Ucapan Mualem itu memiliki nilai tinggi di mata publik Aceh. Mualem dianggap berpihak kepada rakyat kecil.
Statemen yang menyeruak hingga menjadi pembicaraan nasional itu secara otomatis semakin mengangkat pamor Mualem sebagai gubernur harapan rakyat. Bukan tidak mungkin, mereka yang kemarin tidak memilih, akan berbalik bersimpati kepanya.
Tapi, benarkah itu serius? Jangan buru-buru dulu mengambil kesimpulan. Bisa kecewa! Sebab, Mualem, kini, telah menjadi seorang aktor politik. Jangan-jangan apa yang dilontarkan di hari pelantikan itu hanya sebuah trik untuk membalikkan stigma under estimate yang terlanjur dilekatkan untuk mantan Panglima GAM tersebut.
Seorang Mualem mustahil tidak tahu, bahwa QR barcode Pertamina adalah kebijakan nasional yang tidak mungkin bisa diubah seketika oleh kepala daerah. Tapi, kenapa dia melakukannya?
Jangan lupa. Politik selalu butuh energi. Memainkan isu adalah sebuah seni dalam politik. Dan, setiap isu — apakah positif atau negatif — akan menyita perhatian publik, lalu menggelinding dan pelan-pelan akan lenyap sendiri.
Apakah isu barcode itu benar-benar sebuah keberpihakan, bukan sekadar untuk mencuri simpati publik?
Sebuah ucapan akan dibuktikan dengan tindakan. Apakah sebuah sikap benar-benar konsisten akan terlihat ketika bagaimana seseorang berbuat beberapa waktu sesudahnya.
Hal itu akan dibuktikan dalam tindakan nyata kebijakan yang diambil. Seperti fakta yang terjadi pada Rabu 19 Februari 2025 ketika Gubernur Mualem menunjuk Alhudri sebagai Plt Sekda Aceh.
Keputusan Mualem ini justru menuai protes dari dalam. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Zulfadli, menyebutkan pengangkatan Alhudri sebagai Plt Sekda Aceh tidak melalui mekanisme yang seharusnya atau cacat prosedur.
“Cacat prosedur sehingga tidak sah dan batal demi hukum,” kata Zulfadli di ruang kerjanya, Rabu (19/2).
Zulfadli adalah “Ordalnya” Mualem. Dia menjadi Ketua DPRA dari “rahim” Partai Aceh, partai bekas kombatan GAM yang diketuai Mualem.
Pertanyaannya, ada apa dengan kedua petinggi Aceh ini hingga tak kompak soal keputusan Alhudri sebagai Sekda Aceh?
Barangkali, jika isu QR barcode tadi memiliki nilai konstan 9, dan Zulfadli tidak protes, untuk Alhudri justru malah sebaliknya.
Bukan rahasia lagi bagi publik Aceh bahwa sosok Alhudri dikenal sebagai pejabat pelaku pelanggaran netralitas ASN. Rekomendasi Panwaslih Aceh telah membuktikan bahwa mantan Pj bupati Gayo Lues itu melanggar etik.
Pelanggaran etik adalah pengabaian terhadap aturan dan norma. Jika seorang pejabat publik tidak menghargai norma, dia telah mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Artinya, oknum pejabat seperti ini tidak memiliki nilai alias nol.
Dengan demikian, penunjukan Alhudri sebagai Plt Sekda adalah kebijakan yang kontraproduktif. Mualem telah menerapkan perkalian angka nol. Jadi, hasilnya tetap nol.
Jika demikian, masyarakat tidak perlu berharap banyak akan ada perubahan ke depan. Kemungkinan, akan banyak lagi drama politik ala barcode BBM dan Alhudri meski Zulfadli sempat terang benderang unjuk protes soal Alhudri di ruang publik.
Sebaliknya, bagi kita, kebijakan tentang barcode BBM serta Alhudri (nol) justru mengingatkan kita kepada pesan petugas SPBU yang setiap kali isi BBM dia bilang: Dari “Nol”, ya, Pak! []
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.
