Eksploitasi Tenaga Terdidik Melalui Lembaga Pendidikan

  • Bagikan

Program magang atau PKL baik pada Pendidikan menengah (SMK) atau Pendidikan tinggi adalah program untuk menambah ketrampilan dengan cara magang pada Perusahaan. Adanya program ini konsekuensi dari adanya sekolah vokasi (Tingkat menengah ataupun pada Pendidikan tinggi yang merupakan realisasi link & match dunia Pendidikan dengan dunia industri/DUDI. Dalam sistem kapitalisme, program ini rawan menjadi sarana eksploitasi pelajar/mahasiswa oleh perusahaan karena mengejar keuntungan.

Maka, potensi eksploitasi praktik magang atau PKL pelajar SMK sangat mungkin terjadi. Ini karena pemagang berstatus pelajar sehingga memiliki posisi tawar yang lemah dan tidak seimbang antara pihak sekolah dengan perusahaan tempat magang. Beragam kasus eksploitasi peserta didik di tempat magang (PKL) berkelindan dengan penerapan sistem kapitalisme, di antaranya:

Pertama, sistem pendidikan sekuler kapitalisme hanya bertujuan untuk mencetak lulusan pekerja untuk memenuhi pasar industri dan korporasi. Sistem pendidikan ini hanya berorientasi pada pemenuhan materi. Kurikulum sekuler kapitalisme tidak memiliki visi misi mencetak generasi berkepribadian mulia. Generasi hanya dibentuk menjadi buruh/ pekerja, bukan generasi perintis yang akan membangun peradaban dan industri strategis. Terbukti, makin banyak jurusan vokasi di perguruan tinggi dan sekolah kejuruan di tingkat satuan pendidikan menengah.

Dalam beberapa tahun terakhir, SMK makin diminati para pelajar sebab sekolah ini dianggap memberikan peluang kerja yang baik, menyediakan aneka jurusan, dan biaya yang relatif murah daripada harus melanjutkan ke perguruan tinggi. Bagi pelajar yang memiliki keterbatasan biaya untuk melanjutkan ke jenjang perkuliahan dan memilih bekerja, SMK dinilai sebagai solusi tepat.

Kedua, sistem sekuler kapitalisme meniscayakan minimnya peran negara melindungi generasi. Negara hanya bertindak sebagai regulator dengan kebijakan yang tidak memperhatikan generasi. Pelajar PKL atau pemagang kerap tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai. Jika mengalami eksploitasi atau diskriminasi, mereka tidak memahami kepada siapa harus melapor atau merasa takut untuk berbicara.

Permenaker 6/2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri hanya menyasar para pencari kerja dan pekerja. Regulasi tersebut hanya mengatur hak-hak pemagang yang sudah lulus dari jenjang pendidikan, bukan pekerja yang masih berstatus sekolah. Imbasnya, Kemenaker hanya berupaya meminta perusahaan-perusahaan yang menerima pemagang yang berstatus pelajar untuk menerapkan permenaker tersebut. Akan tetapi, jika permintaan itu diabaikan, Kemenaker tidak dapat melakukan apa-apa, apalagi memberi sanksi.

Ketiga, sistem sekuler kapitalisme membuka lebar ruang eksploitasi tenaga dan waktu pekerja. Dalam kapitalisme, pekerja dipandang sebagai salah satu komponen penting dalam proses produksi. Dengan memanfaatkan kelemahan posisi di lingkungan kerja, perusahaan sering kali memanfaatkan para pelajar magang untuk bekerja dengan durasi yang sama dengan pekerja pada umumnya.

Bahkan dalam beberapa kasus, mereka dipekerjakan melebihi kapasitas kompetensi dan jam kerja, semisal bekerja pada hari libur nasional. Sedangkan pelajar PKL sejatinya tetaplah siswa yang sedang melakukan pelatihan kerja, bukan pekerja. Ada pula yang diminta membantu bekerja untuk menutupi kekurangan tenaga kerja tanpa kompensasi yang layak. Bagi industri dan korporasi, pelajar PKL adalah pekerja sukarela yang dibutuhkan tenaganya saja.

Keempat, kemiskinan struktural akibat penerapan kapitalisme telah memberikan dampak yang luar biasa, bahkan berkontribusi besar dalam fenomena eksploitasi pekerja anak saat ini. Kemiskinan kerap menjadi dalih mengeksploitasi anak berstatus pelajar. Kebutuhan biaya hidup yang tinggi kadang kala menjadi jalan pintas untuk mencari nafkah. Kondisi ini dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk mempekerjakan anak dengan tawaran bekerja dengan upah tinggi. Contohnya, tawaran bekerja di luar negeri oleh WNA yang memperdagangkan anak-anak sebagai pekerja seks komersial di tempat hiburan.

Keterbatasan akses pendidikan, semisal biaya mahal lalu putus sekolah tersebab kemiskinan membuat pelajar tidak memiliki edukasi yang cukup untuk menghindari penipuan atau jebakan eksploitasi kerja. Bahkan dalam banyak kasus, dengan dalih pemenuhan ekonomi, orang tua mengeksploitasi anaknya menjadi pengamen dan pengemis.

Namun, kondisi ini juga dipengaruhi oleh minimnya peran negara dalam memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat. Jika negara menjamin pemenuhan kebutuhan asasi semisal harga sandang, pangan, dan papan yang terjangkau serta pendidikan dan kesehatan gratis, tidak akan muncul problem eksploitasi anak dengan dalih kesulitan ekonomi.

Maka dalam perspektif Islam, negara menyelenggarakan pendidikan untuk mencetak SDM yang berkepribadian Islam, unggul, agen perubah, trampil dan berjiwa pemimpin yang akan membangun peradaban yang mulia. Negara akan memfasilitasi sarana dan prasara yang dibutuhkan untuk mencetak SDM yang berkualitas dan trampil. Hal ini akan mudah diwujudkan karena negara dalam Islam memiliki sumber daya untuk membiayai semuanya, tanpa harus tergantung kepada pihak lain. Sistem ekonomi Islam akan menjadi pedoman dalam mengatur anggan negara. Kalaupun ada kebutuhan bekerja sama dengan pihak lain, maka tidak akan terjadi penyalahgunaan program magang/PKL yang merugikan peserta didik. karena dalam sistem Islam akan diberikan jaminan kesejahteraan dan perlindungan menyeluruh kepada generasi sehingga dapat mewujudkan generasi yang terbebas dari eksploitasi dalam bentuk apa pun.

Putri Irfani S, S.Pd.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *