Pendidikan Aceh Ibarat Katak Dan Keledai?

  • Bagikan
Pendidikan Aceh Ibarat Katak Dan Keledai?

Oleh Tabrani Yunis

Ada rasa jengah ketika berbincang soal pendidikan Aceh. Yang membuat kita jengah adalah adanya klaim miring terhadap dunia pendidikan sejak dulu bagai tak mampu merangkak naik, mengubah rasa sedih menjadi wajah nan ceria.

Ya, sudah terlalu lama kualitas pendidikan Aceh disebut-sebut masih terpuruk. Padahal secara anggaran, uang atau anggaran yang digelontorkan untuk sektor ini sangat besar dan bahkan terus bertambah setiap tahunnya. ,Tgk H Irawan Abdullah SAg, anggota DPRA Dapil Sabang, Aceh Besar dan Banda Aceh di laman Serambinews.com, edisi 17 Juni 2021 menerbitkan bahwa tahun 2021 saja anggaran untuk pendidikan dari perencanaan awal di KUA PPAS Rp2,7 triliun dan sekarang mencapai Rp3,5 triliun. Angka yang sangat spektakuler, bukan?

Bisa jadi angka itu semakin besar karena sumber pembiayaan pendidikan Aceh ada dari beberapa sumber seperti tambahan dana bagi hasil (TDBH) Migas dengan porsi 60%- 30 %, dana otonomi khusus (Otsus) dan lain-lain, bahkan juga mengelola dana titipan para dewan yang terhomat dari dana Pokir. Pertanyaannya, ke mana dana ini dihabiskan? Untuk membiayai pendidikan Aceh? Apakah dana sebesar ini tidak cukup untuk membangkitkan kualitas pendidikan Aceh? Agaknya, Pemerintah Aceh harus bertanggung jawab dan melakukan mengevaluasi tentang penggunaan anggaran di dinas -dinas yang mengelola dana pendidikan ini. Hal ini penting, karena tidak selamanya anggaran yang begitu besar bisa didapatkan lagi. Oleh sebab itu, saatnya dilakukan audit terhadap saja tersebut.

Selain memiliki anggaran dan sumber dana yang beragam, sektor pendidikan Aceh sebenarnya telah dilengkapi dengan berbagai regulasi dalam mengelola dana-dana pendidikan serta menjaga kiblat pendidikan Aceh, namun sekali lagi banyaknya regulasi yang menjadi soko guru Pembangunan pendidikan Aceh hanya menjadi regulasi yang loyo dan tak berdaya. Sehingga regulasi tersebut hanya sebagai bukti sia-sia bahwa tata kelola pendidikan Aceh yang ideal itu hanya dalam visi dan misi untuk dijual saat Pilkada atau musim Pemilihan pejabat.

Dengan demikian wajar kita pertanyakan bahwa regulasi yang lengkap tentang pendanaan pendidikan dan penyelenggaraanya, tidak dapat menjamin kualitas pendidikan Aceh bisa bangkit.

Dr. Nazamuddin di laman Majelis Pendidikan Aceh 6 Februari 2021 menjelaskan bahwa Aceh sebagai daerah yang mengalami pergolakan sosial dan politik yang berlangsung secara berulang dalam lintasan sejarah kerap kali mendapat perlakuan khusus dari pemerintahan nasional, paling tidak dengan kewenangan khusus dalam pemerintahan dan keuangan. Otonomi khusus yang luas pertama kali diberikan pada tahun 2001 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu, Aceh juga memiliki lembaga khusus Majelis Pendidikan Aceh, yang berfungsi sebagai lembaga pemikir yang memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Pemerintah Aceh dalam bidang pendidikan.

Ya, apalagi yang kurang? Aceh sudah lama memiliki lembaga atau badan yang berfungsi sebagai think tank sekaliber Majelis Pendidikan Aceh yang dahulunya disebut dengan Majelis Pendidikan Daerah atau MPD. Sayangnya, Pendidikan di Aceh selalu berselimut masalah. Apa masalahnya? Di sinilah perlunya peran Pemerintah Aceh untuk bertanggungjawab melakukan evaluasi terhadap Badan atau lembaga seperti MPA yang dirasakan mubazir dan disfungsional ini. Bila perlu bubarkan saja MPD, karena tidak ada manfaatnya bagi kemajuan pendidikan Aceh.

Jadi sangat aneh dan membodohkan kita bila sudah begitu banyak dana, regulasi dan badan Pemerintah yang mengurus pendidikan rakyat Aceh yang jumlah penduduknya, tidak lebih dari 5 juta jiwa, namun mengapa dengan dana yang besar dan regulasi yang lengkap, kualitas pendidikan Aceh masih tak mampu bangkit?

Selayaknya Pemerintahan Aceh juga bangkit dari tidur lelapnya. Jangan biarkan para pemangku kebijakan pendidikan di Aceh ini terus terperosok ke lubang keledai. Selayaknya Pemerintah Aceh melakukan investigasi, mengisentifikasi segala persoalan yang melilit dan dilakukan oleh mereka yang diberikan tugas dan mandat mengelola pendidikan, anggaran, program dan lain-lainnya.

Nah, harusnya Pemerintah Aceh sebagai Eksekutif yang diberikan kepercayan, punya rasa malu pada rakyat dan pada diri sendiri. Dikatakan demikian, karena saat ini semakin banyak orang yang berkata, besarnya anggaran pendidikan yang dikelola Aceh tidak berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh. Ya, tentu saja dengan dana yang sangat besar ini menimbulkan banyak tanya kita. Sekaligus menjadi benar bahwa besarnya dana pendidikan yang dikelola, tidak sebanding dengan hasil yang didapat.Masalah kualitas pendididikan Aceh, khususnya di level pendidikan menengah ke bawah, masih berada dalam balutan benang kusut yang sulit diuraikan.

Pertanyaan kita adalah apa sebenarnya yang terjadi? Ini pasti banyak yang tidak benar atau tidak beres. Oleh sebab itu, bergeraklah mencari jawabannya. Jangan sampai masyarakat dan Pemerintah Aceh menjadi contoh masyarakat dan Pemerintah yang tidak berdaya, dan terus berada di papan bawah dengan logo miskin dan terbelakang. Harus diingat bahwa rakyat Aceh atau masyarakat Aceh punya impian dan ekspektasi yang begitu besar terhadap kemajuan pendidikan, tetapi Pemerintah Aceh tampaknya belum serius membangun pendidikan Aceh. Satu di antara sekian banyak sebab adalah ketika salah memilih pejabat untuk mengurus pendidikan, juga tidak melakukan evaluasi yang jujur dan benar terhadap kinerja mereka. Oleh sebab itu, Haruskah malu sedikit.

Nah, bila masih ada rasa malu pada diri sendiri, para masyarakat yang dipimpin atau terhadap kehebatan daerah lain yang dana. Semoga

Penulis adalah pemerhati, mantan pegiat Pendidikan, Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *