Budaya Horizonal Vs Budaya Vertikal

  • Bagikan

Oleh Syahron Lubis

Dalam beberapa hal, kelihatannya karakteristik budaya horizontal lebih sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Dalam budaya horizontal karakteristik feodalisme dijauhkan dan karakteristik demokratis yang adil berdasar kesetaraan (equality) diadopsi

Manusia sebagai mahluk sosial yang berakal, berperasaan dan hidup berkelompok dituntun oleh norma-norma yang mereka ciptakan sendiri. Norma-norma tersebut berfungsi sebagai penuntun kehidupan mereka bermasyarakat demi menjaga kehidupan bersama yang harmonis,aman,nyaman, teratur, selamat dan juga berkemajuan. Di pihak lain hewan secara fisik dalam banyak aspek serupa dengan manusia namun tidak diberi akal dan perasaan. Hewan dituntun oleh nalurinya saja. Semua norma yang dibuat berdasarkan kesepakatan umat manusia dan hal- hal lain yang terkait dikemas dalam sebuah terminologi generik yang disebut “budaya”.

Ada dua tipe budaya yang dianut oleh mayoritas penduduk dunia yaitu budaya individualisme dan budaya kolektivisme. Paradigma budaya individualism bersifat horizontal, dan setara (equal) sedangkan budaya kolektivisme bersifat vertikal (top-down).

Dalam masyarakat yang menganut hubungan horizontal anggota masyarakat cenderung memandang orang lain setara dengan dirinya, mandiri (independent), transparan dan objektif. .Orientasi kehidupannya adalah dirinya sendiri (individualistic) dan sebaliknya dalam masyarakat vertikal anggota masyarakat cenderung memandang dirinya berbeda dari orang lain, bergantung pada orang lain (dependent),tidak terlalu menghargai kesetaraan dan lebih mengutamakan kelompok daripada dirinya sendiri (Gudykunst & Kim, 2003).

Sejumlah negara yang menganut budaya horizontal/individualistik adalah antara lain Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, Denmark, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat , dan Israel.Sementara masyarakat yang menganut budaya vertikal/kolektivistik antara lain adalah Brazil, Kolombia, Meksiko, Yunani, Arab Saudi, India, Cina, Jepang, Korea, Thailand ( Gudykunst & Kim, 2003) dan tentu juga termasuk Indonesia yang berada di Asia Tenggara.

Dalam masyarakat apa saja pun status para anggota masyarakat tidak sama dipandang dari berbagai variable seperti jender, usia, tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, asal keturunan dan lain-lain. Jika kita golongkan anggota masyarakat yang terdidik, pemilik ekonomi kuat (orang-orang kaya), penguasa (individu-individu yang berada dalam pemerintahan) sebagai kelompok kuat (powerful) dan anggota masyarakat yang tidak tergolong ke dalam kelompok powerful kita sebut saja kelompok kebanyakan (ordinary people) atau kelompok lemah (powerless). Jadi ada dua kelompok, si Kuat dan si Lemah.

Jarak The Poweful & The Poweless

Dalam masyarakat individualisme/horizontal yang berorientasi kepada kesetaraan (equality) jarak antara kelompok powerful dan kelompok powerless tidak terlalu jauh. Kelompok yang kuat memandang dirinya setara/ tidak jauh berbeda dari kelompok lain.Kelompok si Kuat tidak memandang rendah kepada kelompok si Lemah. Dia menyadari bahwa kelompok si Lemah memiliki akses dan kesempatan menjadi kelompok si Kuat dan kelompok si Kuat pun bisa berubah dalam suatu waktu menjadi kelompok si Lemah. Jadi status si Kuat dan si Lemah tidaklah abadi. Mereka menyadari bahwa kehidupan ini adalah sebuah sistem.

Setiap komponen memiliki fungsi dan tugas masing-masing. Seorang penguasa misalnya memiliki kekuasaan pada saat ini tetapi kekuasaan yang dimiliki tidak terlepas dari peran orang lain. Seorang gubernur misalnya tidak akan memegang kekuasaan sebagai pemerintah daerah jika dia tidak dipilih oleh rakyat menjadi gubernur. Salah satu negara yang sering dirujuk oleh ilmuwan sosial sebagai penganut budaya individualism adalah Amerika Serikat. Dalam UUD negara itu disebut All men are created equal (Semua manusia diciptakan sama). Oleh filosofinya itulah negara tersebut terbangun menjadi negara yang sangat demokratis di dunia.

Dalam masyarakat kolektivisme/vertikal, sebaliknya jarak antara si Kuat dengan si Lemah sangat jauh. Dalam masyarakat kolektivisme/vertikal kelompok si Kuat tidak memandang dirinya setara dengan kelompok si Lemah. Si Kuat memandang rendah (despise) kepada si Lemah. Dan Si Lemah pun menyadari bahwa dirinya sebagai orang kebanyakan tidak terlalu berharap dan tidak merasa mungkin akan memiliki akses dan kesempatan menjadi kelompok si Kuat.”Alah, kita ini orang kecil begini-begini saja lah. Siapa pun di atas nasib kita tidak akan berubah. Cukup makan bisa anak sekolah sampai SD ya udah lah”,begitu keluhan orang kecil yang sering kita dengar. Jadi hubungan antara si Kuat dengan si Lamah adalah hubungan antara superiors dengan subordinates (Samovar, et al., (2007) jelasnya adalah hubugan antara atasan dengan bawahan.

Hofstede seorang psikolog sosial Belanda pada suatu waktu melakukan kajian tentang hubungan atasan dengan bawahan di Indonesia dan menemukan beberapa hal: (1) ketidak setaraan antara pemegang kekuasaan dengan rakyat biasa (2) pemimpin bersifat direktif, berkuasa penuh dan mengontrol segalanya, haus akan rasa hormat;(3) guru di kelas tahu segalanya dan murid tinggal diam menerima pengetahuan dari guru dan (4) atasan tidak terbuka (tidak transparan).

Sekaitan dengan temuan Hofdtede tersebut dengan jelas kita melihat banyak sekali contoh kesenjangan antara superiors dengan subordinates dalam masyarakat kita.Mari kita posisikan pemerintah di satu sisi sebagai superiors dan di sisi lain rakyat sebagai subordinates.Ketika pemerintah menetapkan suatu peraturan yang, setelah dikaji oleh para pakar, ternyata peraturan itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi rakyat, dalam hal ini rakyat harus menerima dan mematuhinya. Pemerintah misalnya menaikkan harga BBM ke tingkat yang sulit dijangkau rakyat, rakyat harus sabar dan rela menerimanya karena memang rakyat membutuhkan BBM.

Pemerintah menaikkan tarif listrik rakyat pun harus patuh dan setuju, Pemerintah menaikkan pajak, rakyat harus patuh membayar.Guru/dosen adalah orang yang super dalam pengetahuan. Siswa/mahasiswa diangap masih hijau oleh karena itu harus duduk manis mendengarkan dosen/guru. Sanggahan kepada guru kurang disukai apalagi sanggahan itu membantah teori guru. Menurut Liliweri (2002) kebiasaan orang Indonesia yang berada pada posisi bawahan selalu berdiam diri di depan atasan, mereka hanya berdiam diri mendengarkan pengarahan dan perintah.

Pemimpin sebagai atasan merasa paling benar, paling pintar oleh karena itu dia tidak mau menerima pendapat dan saran dari bawahannya. Baginya bawahan hanya boleh mendengarkan dan mematuhi semua yang disampaikanya (dikutip dari Zulkarnain Lubis: Kesalahan Pimpinan Penyebab Kegagalan, Waspada 19 September 2023). Selanjutnya ketika kaum buruh memohon perbaikan nafkah, pemilik perusahaan tidak menanggapinya. Protes demi protes yang disampaikan subordinates sering tidak ditanggapi dan dihiraukan bahkan dibiarkan saja sampai pemrotes jenuh, lalu diam dan perkara pun akhirnya sirna ditelan masa. “Biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”.

Pola Interaksi Masyarakat

Dalam budaya horizontal yang equal dan yang berdasarkan kesetaraan antara seorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya, karakteristik pola komunikasi di antara anggota masyarakat adalah langsung (direct), jelas dan terbuka (explicit), terukur (precise) dan konsisten. Meskipun seorang bawahan mengajukan pertanyaan kepada seorang atasan misalnya, pertanyaan langsung disampaikan ke alamat pertanyaan, Pertanyaan tersurat bukan tersirat, terukur bukan dilebih-lebihkan yang dapat menyebabkan ambiguitas, dan selalu konsisten dengan misalnya pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Meskipun pertanyaan yang bersifat personal tidak sopan diajukan dalam masyarakat individualistik.

Sebaliknya pola komunikasi dalam masyarakat kolektif yang vertikal memiliki karakteristik seperti indirect (tidak langsung), ambigu (suka bermakna ganda), tidak tegas dan suka merendah diri. Mengakui ketidaktahuan atau ketidakpahaman akan sesuatu secara terus terang merasa malu. Ketika ditanya oleh guru/ dosen setelah selesai memberi penjelasan misalnya, “Ada pertanyaan ? Atau “ Anda sudah paham ?” Jawaban tidak ada apakah “paham atau tidak”. Hanya diam saja. Dosen/guru hanya dapat menerka dan memutuskan sendiri makna “kesenyapan ” itu.

Atasan atau pemimipin cenderung tidak menyukai kritik apalagi protes dari bawahan. Ini sejalan dengan polarisasi the Powerful & the Powerless (Si Kuat dan Si Lmah) yang kental berlaku dalam masyarakat vertikal.

Ketika seorang yang bukan golongan the Powerful menyampaikan kritik atau protes kepada si Powerful tentang suatu kebijakan yang merugikan masyarakat, kritik tidak ditanggapi dan dibiarkan saja. Dan ketika kritik berulang dan semakin keras, kritikan akan dieliminasi.

Penutup

Dalam beberapa hal, kelihatannya karakteristik budaya horizontal lebih sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Dalam budaya horizontal karakteristik feodalisme dijauhkan dan karakteristik demokratis yang adil berdasar kesetaraan (equality) diadopsi.Manusia pada hakikatnya merindukan penghargaan, keadilan dan kesetaraan. Masyarakat sebenarnya adalah sebuah sistem. Dalam sebuah sistem setiap komponen memiliki tupoksi masing-masing. Seorang penguras septic tank misalnya, mungkin dipandang oleh banyak orang sebagai pekerjaan “murahan dan hina ” tapi bagi yang memandang pekerjaan itu “rendahan “ sanggupkah mereka melakukan pekerjaan itu?

Nampaknya tidak. Bukankah kalau bak kotoran rumah tangga miliknya penuh dan tersumbat akan mengganggu dirinya juga? Lalu dia membutuhkan bantuan orang lain karena dia tidak sanggup melakukannya. Karena itu dalam sebuah sistem janganlah si Kuat memandang rendah kepada si Lemah dan sebaliknya jangan pula si Lemah memuji dan menyanjung”setinggi langit” yang kuat. Dalam kehidupan ini semua berubah tidak satu pun yang abadi. Hanya Yang Maha Kuasa yang kuat dan tidak pernah berubah dan patut dipuji setinggi-tingginya.

Penulis adalah Guru Besar FIB Universitas Sumatera Utara.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *