Utang

  • Bagikan



 
UTANG itu enak. Saking enaknya, penghutang sering tak menyadari kalau utangnya sudahmembukit. Sudah menjerat leher. Begitu sadar biasanya penghutang panik. Untuk bisa membayarnya, segala cara pun dilakukan. Aset-aset dijual. Jatah belanja anak bini dikurangi.

Itu jugalah yang terjadi di negeri ini. Tak hanya rakyat yang acap terlilit utang, pemerintahnya pun terus menerus dibelit utang. Rakyatlah yang kemudian menanggung akibatnya. Segalanya dipajakin. Harga-harga melambung tinggi. Aset-aset potensial dijuali.

Kementrian Keuangan Indonesia merilis, posisi utang pemerintah per 31 Maret 2022 mencapai Rp 7.052,50 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 40,39%.

Secara nominal, posisi utang pemerintah meningkat seiring dengan penerbitan surat berharga negara (SBN) dan penarikan pinjaman pada bulan Maret 2022 untuk menutup pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Jika dibandingkan dengan Februari 2022, posisi utang pemerintah Maret naik 0,54% atau Rp 37,92 triliun dari posisi Rp 7.014,58 triliun menjadi Rp 7.052,50 triliun. Ngeri!
Terkait soal utang luar negeri ini, tahun 2018 Presiden Jokowi pernah “menantang” para ekonom untuk berdebat dengan menteri keuangannya. Tantangan itu sempat disambar langsung Dr. Rizal Ramli.

Tak tanggung-tanggung, ekonom yang juga mantan Menko Perekonomian RI itu bahkan meminta debat dilakukan secara terbuka dan disiarkan oleh seluruh stasiun televisi swasta. “Biar rakyat tau siapa yang selama ini berbohong dan memanipulasi angka-angka,” katanya.

Sayang sekali, debat itu tak terlaksana. Pagi-pagi sekali Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto sudah meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk tidak melayani tantangan debat itu. Sri Mulyani sendiri, pagi-pagi pula, sudah berkata dia pun tidak bersedia. Hilanglah kesempatan rakyat negeri ini untuk – mengutip ujaran Rizal Ramli – bisa tercerahkan. Untuk tau siapa yang benar dan siapa yang salah soal utang luar negeri RI yang jumlahnya terus membengkak itu.

Soal utang mengutang, rakyat Indonesia sudah ahli. Terutama rakyat yang berada di level menengah bawah. Dengan gaji standar UMR, nyaris tak ada satu pun rakyat Indonesia di level menengah bawah ini yang tidak berutang, bahkan hanya demi bisa bertahan hidup. Setidaknya utang sembako di warung tetangga sebelah.

Tapi bukan itu soalnya mengapa banyak pihak meradang terkait utang luar negeri RI yang tujuh triliun lebih itu. Tidak adanya transparansi membuat banyak pihak menduga-duga. Sepertinya ada sesuatu yang sengaja disembunyikan. Sepertinya ada pihak yang sengaja tidak mau bersikap terbuka tentang penggunaannya.

Presiden Jokowi, yang gerah dengan berbagai kritik terkait utang luar negeri tersebut, pun melontarkan tantangan kepada para ekonom untuk berdebat dengan menteri keuangannya. “Kalau Menteri Keuangan Sri Mulyani dan ekonom-ekonom yang mengerti masalah makro saling beradu argumen, itu bagus,” ujar Presiden Jokowi kala itu dalam acara Mata Najwa, Rabu (25/4/2018).

Seperti umpan yang dilempar ke dalam kolam ikan, tantangan debat presiden itu langsung disambar sejumlah ekonom. Rizal Ramli hanyalah salah satunya. Berbagai pihak, baik pribadi maupun organisasi, bahkan membuka ruang untuk memfasilitasi terlaksananya debat itu. Sayangnya, seperti sudah kita tau, jangankan meminta Menkeunya untuk mempersiapkan semua jawaban, Presiden Jokowi justru diam seribu bahasa ketika tantangan untuk berdebat itu disambut lantang Rizal Ramli.

Padahal, kalau saja debat waktu itu terlaksana, pemberitaan soal penggunaan dana dari utang luar negeri yang simpang siur bisa menjadi jelas. Rakyat Indonesia pun menjadi tau untuk apa saja utang itu dipergunakan. Lebih dari itu, rakyat juga jadi tau siapa yang selama ini berbohong dan suka memanipulasi angka dan data.

Secara politik tentu tak ada dampak apapun atas tidak terlaksananya tantangan debat yang dilontarkan Presiden Jokowi empat tahun lalu itu. Tidak ada sanksi apapun yang bisa dikenakan kepada Menku Sri Mulyani karena tidak bersedia mendebatkan soal utang luar negeri itu dengan para ahli ekonomi. Bahkan secara moral Sri Mulyani tak memikul beban apa-apa. Presiden Jokowi-lah yang menanggungkan semuanya.  

Rakyat menilai Presiden Jokowilah yang tidak konsisten. Presiden Jokowi adalah seorang reaksioner belaka yang tidak siap menerima kritik. Tapi penilaian seperti itu pun tidak berdampak buruk pada elektabilitasnya sebagai calon presiden petahana pada Pilpres 2019.

Faktanya Jokowi tetap terpilih untuk kedua kalinya menjadi presiden Indonesia.
Tapi, apapun urusan politik di balik utang luar negeri yang mencapai 7 triliun lebih itu, sebagai pembantu presiden, menteri keuangan Sri Mulyani sudah seharusnya siap mewakili pemerintah untuk meluruskan carut-marut opini yang berkembang soal utang luar negeri itu.

Sayang, seperti yang sudah terjadi, peluang debat yang sudah dibuka oleh Presiden Jokowi untuk menjelaskan semua kebijakan pemerintah terkait utang luar negeri itu tak digunakan sama sekali. Akibatnya bola utang itu tetap menjadi liar. Ditentang kesana-kemari dan memantul kemana-mana. Rakyat pun terus menerus disuguhi kecurigaan; kemana dan untuk apa sesungguhnya dana utang itu digunakan. Ah…..! (*)
 

  • Bagikan