Puisi

  • Bagikan

MENULIS puisi, membaca puisi, mengenalkan puisi, mengapresiasi puisi adalah empat pekerjaan berbeda meskipun sama-sama berbasis puisi.

Seorang penulis puisi akan menyandang gelar pemuisi atau penyair meski dia tidak otomatis menjadi pembaca puisi yang baik. Pembaca puisi pun akan menyandang gelar deklamator kalau kebetulan punya bakat olah vokal yang prima dan penghayatan yang baik terhadap puisi yang dia baca.

Tapi mengenalkan dan mengapresiasi puisi? Tak ada gelar untuk kerja ini. Meskipun, jujur saja, inilah pekerjaan berbasis puisi yang paling berat pelaksanaannya.

Penulis puisi boleh menuliskan apa saja dalam bait dan larik puisi yang ditulisnya. Bisa berupa untaian kata yang indah, bisa pula rangkuman diksi yang menghardik menghantam. Pembaca puisi pun bisa mendeklamasikan puisi siapa saja yang dia suka. Kritikus sastra bahkan bisa menguraikan panjang lebar makna jejeran kata bernama puisi itu.

Namun semua itu tak berguna jika masyarakat tak mengenalnya. Tak mampu mengapresiasinya.

Apa gunanya semua untaian kata bernama puisi itu jika masyarakat tak menyukainya? Apa faedahnya kata-kata indah bernama puisi itu jika masyarakat tak sudi mengapresiasinya? Jika masyarakat tak menganggap puisi adalah bagian penting dari hidupnya? Lalu, untuk siapa puisi ditulis jika masyarakat tak sudi membacanya?

Disinilah kerja mengenalkan puisi menjadi penting. Sebab puisi tak cukup hanya menjadi pemuas dahaga jiwa penulisnya. Puisi harus didorong masuk ke rumah-rumah. Menjadi bagian penting dari kehidupan di ruang tamu, kamar tidur dan dapur setiap rumahtangga.

Menjadi bahan perbincangan emak, bapak dan anak-anak di sela-sela santap malam mereka. Bahkan puisi itu harusnya menjadi bagian penting dalam upaya memperhalus kata dalam percakapan di tiap keluarga.

Mengenalkan puisi pada masyarakat tidak sekedar dengan mengajak mereka mau membacanya, tapi juga bisa mengapresiasi dan mengenal penulisnya.

Masyarakat harus diajak untuk memahami bahwa puisi bukan kalimat-kalimat aneh tak bermakna. Orang-orang harus disadarkan bahwa penulis puisi bukan pekerjaan iseng belaka. Bukan sekedar pekerjaan merangkai kata tanpa tujuan dan cita-cita mulia.

Ada banyak sekali contoh di dunia ini bagaimana puisi bisa membangkitkan gairah dan semangat satu bangsa. Di Italia, Gabriele D’Annunzio bahkan menginspirasi Mussolini hinggat tergerak untuk merebut kekuasaan.

Stalin dan Mao bahkan menjadikan puisi sebagai selubung untuk anarkisme kekuasaan yang ada di tangannya. Presiden John F Kennedy bahkan berujar; “Jika politik bengkok, maka puisi yang meluruskannya.”

Sayang, di negeri ini pekerjaan mengenalkan puisi bukanlah pekerjaan semudah membalik telapak tangan. Teman-teman pemuisi di Fosad dan di sejumlah komunitas lainnya, sudah bertahun-tahun melakukan kerja pengenalan itu tanpa satu pun institusi pemerintah berkompeten yang meliriknya. Dimana dan kemana para pekerja sastra yang mengenalkan puisi itu kemudian berada, pun tak ada pena yang sudi menuliskan jejaknya.

Kritikus Sastra, Mihar Harahap (alm) pernah menulis; puisi seyogianya adalah hal yang tidak hanya mencerahkan, tapi juga mencerdaskan. Sebabm secara teori bangunan puisi sebagai karya sastra memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik, yakni suatu yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakatnya.

“Dengan demikian, baik secara intrinsik (unsur dalam) maupun ekstrinsik (unsur luar) berupa situasi politik, pengetahuan alam, kebijakan pemerintah dan kondisi satu masyarakat, adalah bagian penting dari puisi yang harusnya memberi pencerahan dan mencerdaskan pembacanya,” kata Mihar.

Karena itulah, ujar Mihar, sebagai bagian dari pekerja yang rajin mengenalkan karya sastra kepada masyarakat, dia merasa penting melahirkan teori sastra sendiri yang berlandaskan pada situasi dan kondisi masyarakat dimana karya sastra itu lahir.

Mihar pun melahirkan teori sastra yang disebutnya “Tebekule”. Yakni sebuah terori aptresiasi yang berdasarkan pada tema, bentuk, kuat dan lemahnya karya tersebut. “Saya perlu menciptakan teori sastra yang berlandaskan kondisi masyarakat Indonesia. Sebab selama ini kita, terutama di perguruan tinggi, masih menggunakan teori sastra barat untuk meneliti karya sastra Indonesia,” katanya.

Bagi Mihar, penggunaan terori barat tak dapat dibiarkan karena bertentangan dengan nilai-nilai budaya Indonesia yang pasti berbeda dengan nilai-nilai budaya Barat tersebut. Ia mencontohkan puisi-puisi yang lahir atas dasar peristiwa politik seperti misalnya kejatuhan orde baru, masa reformasi dan pasca reformasi, yang merupakan momen sejarah perjuangan bangsa Indonesia, tak akan bisa dipahami melalui teori sastra barat.

Dan Mihar, ketika masih hidup, sampai pada kesimpulan, penggunaan terus menerus teori sastra barat itulah yang membuat upaya mengenalkan dan mengapresiasi puisi di negeri ini tak sepenuhnya berhasil, kalau tak mau disebut gagal! Dan dia, bersama rekan-rekan Fosad, pernah merasakan kegagalan apresiatif itu. Ah…… (*)

  • Bagikan