Puisi Pekan Ini

  • Bagikan


 
 

Di Hutan Insomniaku
 
Di hutan insomniaku
Aku berharap tidak menjadi sesuatu yang singkat
Memeluk impianku yang basah
Menjauhkan kematianku
 
Ada yang bergerak dalam bayangan
Dimana udara dipenuhi sirene ambulan
Orang-orang berlari meninggalkan detak jantungnya
Mengumumkan kematianmu
 
Di hutan insomniaku
Aku berlayar di kapal yang terluka
Seperti hutan tanpa burung, tanpa pohon-pohon
Keheningan memeluk teriakan lukaku
 
Aku bangkit. Kematian memberiku kehidupan
Menyeberangi hari-hariku dengan sebuah ciuman
Menyalakan mataku
Menyalakan pohon dan bunga-bunga.
 
Medan 2020
 
Hopong
 
Di bawah hijau hutan dan gelapnya cahaya
Aku menatapmu o patung batu Hopong
Tegak beratus tahun dan abad yang panjang
Kesunyian memeluk bayangmu
 
Pohon-pohon bercerita, orang-orang tak mencatat
sejarahmu. Riwayatmu digantung oleh bayangan
Mengubur detak jantungmu
Burung-burung terbang, lari tanpa nyanyian dan mantra
 
Aku ingin mencium tubuhmu yang terbungkus batu
Memanjat tangga bayangan untuk mengetuk
pintumu. Menghirup aroma tubuhmu
Yang mengepung jiwaku
 
O patung batu Hopong yang meninggalkan jejak
di tubuhku. Buku-buku meremas jiwaku
Mencari yang terlupakan dan yang dilupakan
Kata-kata setelah kata-kata dari riwayat
yang tak jelas
Sajak-sajakku terbakar dalam mimpiku
 
Aku ingin memelukmu. Menghidupkan kembali
ritual yang sudah lama mati
Legenda dan mitos yang membuka detak jantungku
Antara jarak, ruang dan suaramu yang terus
Memanggilku
 
 
Medan, 2021
 
 
 
Tanpa Engkau
 
(Kepada almarhum anakku: Wan Muhammad Haikal Iqbal Sya Surya
bin Suryadi Firdaus, 13 Desember 1993 – 16 Juli 2021)
 
Tanpa gelombang, tanpa ikan dengan sisiknya
yang bersinar. Lautku merindukan banyak hal
denganmu. Meratapi kepergianmu dengan
tetesan seribu doa
Mengalir menuju tempat yang menjadi
Taman-taman surgamu
 
Tak cukup puisi, ketika kerinduan
membelenggu hari-hari
Membanjiri jiwa yang tidak hujan
Di bawah langit yang terbuat dari air mata
 
Tak ada nafasmu di sini
Lautku sunyi, pohon-pohon menjadi gelap
Daun-daun diwarnai beribu bayangan
Masuk ke dalam mataku yang menjadi gua
 
Maafkan aku nak, tanpa engkau
Aku akan mengubur semua luka
Kerinduan dan kesepian yang terbuat dari kematianmu
Aku berharap, kita bertemu di surgamu
 
 
Medan, 2021
 
 
 
 
Doa Pendek Untuk Bangsa dan Tanah Airku
 
Ya Allah ya Rab, aku disini berdiri di kotaku
Ribuan mata menatapku, entah untuk apa
Lampu-lampu kota mati digantung di leherku
Aku merangkak mencium bayangmu
 
Aroma bunga layu lagi
Menantikanmu dengan pohon yang sama, rumput dan bunga
yang sama. Dan bau aspal yang sama
 
Tak ada yang bisa menghentikan hujan, yang membuat
banjir di kotaku. Pohon-pohon terluka, tanah terluka
penuh dengan genangan jejak kaki anak cucuku
 
Ya Allah ya Rab, aku masih merobek diriku
Dalam doaku yang singkat kepadamu
: Ya Rab, aku tak ingin penghianatan dan kebohongan
Aku tak ingin bangsaku, tanah airku dijarah oleh penghianat
Ya Allah ya Rab, kabulkan doaku
 
Aamiin..
 
Medan, 2021
 
 
Tatapan Ribuan Pohon
 
Di halaman alam semestaku, ribuan pohon menatapku
Berputar-putar seperti planet dalam tanah tubuhku
Melewati batas keberadaanku
 
Waktu mengejarku. Aroma ribuan pohon beterbangan
dengan ciuman angin. Menyeret detak jantungku
Di antara puisi-puisiku yang tak pernah selesai
 
Semua hal muncul dari jiwaku
Tatapan ribuan pohon membentuk kupu-kupu kuning
hijau, biru. Mengapung dalam jiwaku yang kesepian dan liar
 
 
Medan, 2021
 
 
Wirja Taufan, lahir di Medan 15 September 1961. Ia salah satu penyair Sumut yang tercatat dalam buku “Leksikon Susastra Indonesia” karya Korrie Layun Rampan (Balai Pustaka, 2000), “Apa dan Siapa Penyair Indonesia” (Hari Puisi Indonesia 2017 dan 2018), serta dalam buku “Jejak Kreatif 100 Seniman Sastrawan Sumatera Utara” (Fosad-Disbudpar Sumut, Mei 2018). 
Bernama asli Suryadi Firdaus, Wirja mulai menulis puisi sejak 1980 di berbagai surat kabar lokal, nasional dan internasional. Tahun 1984 menerima Hadiah Kreatifitas Sastra Bidang Puisi dari Dewan Kesenian Medan (DKM). Buku puisi terbarunya “Bunga, Kupu-kupu, Mimpi dan Kerinduan” (Imaji Indonesia, Juni 2020).
 
 

  • Bagikan