Puisi Pekan Ini

  • Bagikan

Kalau Takut
 
Kalau kau takut padaku
jangan beri aku bunga
walau hanya sekelopak
beri aku anggur
biar mabuk
menceracau namamu
 
Kalau kau takut merindu
jangan kau kenang sejarah
peraduan simpan lukisan
kisah cinta tak bermuara
 
Kalau kau takut mencinta
jangan lintaskan wajahku
dalam jantungmu
dalam hatimu
dalam rasamu
sebab jiwaku tak kembali kepadamu
 
Kalau kau takut
bukan padaku
 
Tj.Morawa,  9522
 
 
Waktu
 
Aku terus berjalan
meninggalkan sesuatu
perputaran angka hanya sebutan
 
Kau tidak mampu mengejarku
walau dengan kecepatan cahaya
saatmu
masamu
zamanmu
juga tidak mampu merubah sebutanku
 
Kehidupanmu hanya sebuah salinan di secarik kertas
yang kawan tak berarti yang kawan jadi berarti
walau hanya dalam selintas kenang
 
Kau hanya diam walau dalam jantungmu terukur detik
bagai tersentak ketika menyadari
bahwa aku dalam ketetapan
dan kau pergi tanpa aku
sebab kau beralih dalam masa
 
 
Tanjung Morawa, 252022
 
 
 
Hampa
 
Dan tiada
walau fatamorgana membayangi alam yang telah kau lalui
hanya sekelebat sukma yang meratap
dalam nafas, kau sentak ruh terlilit dalam ragamu
 
Api masih memercik di kepala tak bersyaraf
kau rindui ketiadaanmu dalam tiada
nyatanya kau masih menukil syariat sukma
tanpa sebab dan kesaksian
 
Vonis jatuh pada sebongkah runduk
mencari alur dalam neraca buncahan rasa pelik
air tak lagi mengalir ketika kau menjadi sungai jingga
apa yang hendak kau didihkan
tempayan sudah lama robek dan tiada sedikit air tersisa
 
Tanah pun mulai lebur menghitam
tenggelam di telaga hasrat jiwa pemaksa
apa yang kau tanam di sebidang tanah tak ber-zat
kau unjuk kuasamu dalam sekat
keping ilmu bukan milikmu
 
Masih saja berhembus
padahal angin telah beracun, jika kau hirup
maka musnah alam nur-mu.
 
Begitupun kau ingin jadi Tuhan
sementara alam di antara matahari akan tenggelam
Dhaif sekalian tak berarti
musnahkan alammu
dan binasa
 
 
Tanjung Morawa 542022.
 
 
 
Kalau Aku Tiada (2)
 
Kalau aku tiada
tak kuhitamkan dan tak kuputihkan
sebab telah kusampaikan padamu
malam dan siang yang terjaga padamu
akulah hitam putih itu
kubiarkan kau mewujudkan dalam kerangka
hidupmu sesuai jiwamu dalam tenang
 
(Itulah penghargaanku atas keberadaan
sebagai manusia).
 
Kalau aku tiada
bukilkan keindahan di atas sajadahmu
lusuh dan berdebu
tebarkan wewangian firdaus dalam tasbih
biar kita bertemu ketika kau mengukir
kasih sayang di atas langit
 
Jangan bersangka aku tiada mencintaimu
sebab akulah sangka itu
sudah kuberi semuanya padamu
kalau itu tak terukir dalam kenangmu
aku tak marah padamu
sebab aku tau kejadianmu
yang didahului permohonan hasrat
bertemu padaku
 
Kalau aku tiada
susun lembaran hidupmu
yang kau telah terlupa dengan keindahan
setiap saat kuhibahkan di dasar hatimu
Sebab akulah hatimu
kubiarkan hak itu mutlak milikmu
sebab kuasaku kau pakai dalam
pemenuhan hasrat hidup
hitam maupun putih
 
Kalau aku tiada
tebarkan wewangian di tujuh petala langit
tujuh petala bumi
dalam rebah sujudmu
aku menanti
 
 
Bangun Sari Baru, Sumut, 12322
 
 
Ono Sabdo ing Selangkangan
 
Ono sabdo dikakangi
olo elek gawene
ngumbar jiwo nefsu angkoro
alam dunia kepaten bejek
 
Ngadek ajek manungso
plawangane iblis
ora nganti sabdo ing ati
 
Ambyar jiwo mulio
lerep ing tapak iblis
ketingal wayangane
manungso sampurno
 
 
Tanjung Morawa, 14122
 
 
Jon Triono lahir Lahir di Tinjowan pada 1 April 1963. Jon Triono adalah salah seorang penyair Sumatera Utara yang puisi-puisinya sempat mencuri perhatian sejumlah Sastrawan dan kritikus Sastra Sumatera Utara seperti Ahmad Samin Siregar (alm), Herman KS dan Damiri Mahmud (alm). Meski otodidak, menulis puisi, bagi Jon Triono adalah aktivitas seni yang ia geluti seiring dengan keterlibatannya di dunia teater.
Mulai belajar teater di “Teater Artistik” Tapian Daya Medan, Jon kemudian mendirikan “Teater Blok” bersama sejumlah rekannya. Tak lama kemudian ia bergabung dengan “Teater Kita” pimpinan Dahri Uhum Nasution (alm). Di “Teater Kita” pula kiprahnya makin dikenal. Di sini diapun mulai belajar menulis naskah drama. Sejumlah naskah drama kemudian dihasilkannya. Di antaranya “Orang-Orang Cantik” yang disutradarainya sendiri. Lalu “Yang Agung” juga disutradarainya sendiri. Kemudian “Makan Malam Tanpa Rembulan” dan “Balada Julimin dan Juminah”. Sejumlah puisinya juga disertakan dalam buku antologi. Di antaranya antologi “Duri” yang diterbitkan oleh Majalah Dunia Wanita, Medan. (*)

  • Bagikan