Puisi Pekan Ini

  • Bagikan


Dari yang Melarut
(Kepada Angin yang Rindu)

Asin laut ibu yang memecah ombak
dalam geliat malam di ujung karang
bulan tersangkut di jaring nelayan
sampan kehilangan arah tujuan
gulita menenggelamkan segala bayangan

Asam gunung bapak yang membelah bambu
menghanyutkan rakit dari hulu tak bertepi
malam merenung seperti hendak
keluar dari bubu

Dari mereka itu aku lahir
menawan ragu yang membuncah
menahan pilu yang hendak memecah
kadang memulangkan angin ke darat
pun mendatangkan badai ke laut
sesaat langit kecut

Dinihari Jumat,1515 00.23

 
 
 
Kepada Laut-Mu

Entah laut-Mu yang membuatku terpaut
kusebut pada angin
gelombang mencari pantai hendak menghela
siapa yang memukau?

Pasir putih tempat berkaca
matahari telanjang di hadapan siang
nyiur melambai-lambai sepanjang pantai
samudera-Mu membuka rasa
rasa cemburu camar pada jermal

Yang membuatku seperti sampan
tak mampu mengubah rindu
anak-anak laut
pada cangkang kerang, kepah, dan cucut
entah lautMu yang membuatku jadi begitu larut

8 Mei 2016

Pasang Mati

Kulabuhkan sampan mendekat dermaga
tiang-tiang merapuh, tali kutambat
ujung senja memerah di kaki langit sana

Laut itu sempat jadi tempat kita bicara
tentang ombak, pasang yang berkali-kali datang
angin yang kencang memaksa haluan berpaling

Sepenggal waktu telah mengoyak rindu
pulang ke tanah asal yang terlupa
ibu yang melahirkan kata sewaktu menyusu aku

Nyanyian ratapan mengumandang
anak-anak sudah tak mengenal kampung neneknya
menjadi asing di tanah ayah ibunya

Pasang laut terus berulang, musim berganti
kemana hendak mengayuh sampan?
angin selalu tak pasti membawa gelombang bimbang

Deli, 25 April 2018

Padahal Pasang ‘kan Naik

Kemana angin
sembunyikan ombak petang
padahal pasang ‘kan naik?

Menatap ke laut lepas
namun tak terlihat riuhmu menari

Mengayun-ayun sampan nelayan
dan jejaring jermal selepas pantai
kemana sapa sendaguraumu?

Yang kunanti ketika kau menghempas diri
di batang-batang dan akar bakau

Hari ini sepertinya pasang ‘kan naik
pupus rasa tiba menghela
tapi tiada mengada

Mengapa kau tak jua berada?

Bukan pula janji semesta
ketika samudera mengulum senyum
riak gelocak ombak yang mengabar

Sampaikan pada daun angin tak selalu merayu
walau ombak tak beranjak pulang
pasang mengendap-endap datang

Mengapa?

Kulihat bakau telah merindu
sapa lembut angin yang membawa
kekasihnya ombak mendendang jerambai

Angin tak jua tiba, ombak hampir tiada
pasang datang, paluh-paluh meninggi
melarung sampan ke ujung hutan nipah

Ombak, izinkan aku pulang!
bolehlah aku menanam barang sebatang
agar jadi kenangan

April 042010. 20.57

Selaut Harap Pulang ke Ujung Selat

sebab gunung-gunung aku tersanjung
takkan di laut lamunanku silang sengkarut

kepada langit mendung senja terkurung
ingin kupetik senar agar bunyi gitar bergetar

mengiring lagu deruan ombak
dan sayup-sayup tawa anak-anak

menanti senja tiba
perempuan memanggang ikan di atas bara

asap membawanya penuh selera
di tapian nauli terpaut rindu hatipun surut

sebab gunung-gunung aku merenung
takkan dari bunian terawang jiwa ditenung

bukan karena laut yang membawaku larut
wangi sombam sekalangan selera terpaut

kepada kelam langit rindu birahiku bangkit
bertandan-tandan memerah buah sawit

andai pun kausangkakan kayuh sampan
mungkinkah sampai ke depan angin senja?

adalah haru yang membuatku cemburu,
sebab rambutmu itu yang sebahu

tetapi kuhalau rasa ragu yang datang memburu
kepadaMu aku memulangkan segala puja-puji

Engkaulah  mahapencipta segala rindu
ketika tiba aku bersujud padamu sang waktu

Kalangan, Sibolga 7.5.2016

 
—–
 
Zulkarnaen Siregar adalah salah seorang penyair Sumatera Utara kelahiran Medan 1 Januari 1961. Sudah menulis sejak masih mahasiswa, karya-karyanya selain dimuat di majalah kampus seperti “Katarsis” dan “Wacana”, juga dipublikasikan di berbagai media cetak nasional. Alumni Fak. Sastra USU, IKIP Negeri Medan dan Fak. Psikologi UMA ini, selain menulis puisi juga menulis esai dan aktif dalam berbagai komunitas.
Puisi-puisinya sudah diterbitkan di antaranya dalam antologi tunggal “Selendang berenda Jingga”, “Pulang ke Hulu”, “Sajak Tiga Larik Tanwin” serta “Gerai Tanpa Tikai”. Selain itu, puisinya juga disertakan dalam buku antologi bersama seperti “Menguak Tabir”, “Situriak Nauli”, “Requim Buat Gaza”, “Jalan Pulang”, “Seribu Sajak Tao Toba”, “Memo Untuk Presiden”, “Memo Untuk Wakil Rakyat,” dll.

  • Bagikan