Puisi Pekan Ini

  • Bagikan

Stasiun


Selalu saja kudengarkan
jerit peluit keberangkatan
selalu saja kelihatan
kota dan desa ditnggalkan
 
Ini kali
tak ada yang ditunggu
selain lintas waktu
saling berganti
untuk bertemu.
 
Tg. Balai, Nov.2015
 
Ketika Kusandang Perang Badarku

 
Ketika runtuh rumah dan derai api
di Palestina dan Rohingya
seakan rubuh rumah salatku
tempat hidup dan matiku
 
Ketika sebutir peluru meledakkan sepanci ransum
para pengungsi
seakan meledak amarah dan tangisku
menatap anak-anak rohingya dan palestina
meregang nyawa, mencicipi duka dan airmata
 
Cuaca pun menaburkan politik angkara murka
tak ada HAM, tak ada amnesti
bisu dibungkam peluru dendam
biksu-biksu palsu yang berhati iblis
menyiapkan lembah menuangkan darah
pada tubuh muslimin muslimat
pada jasad Mukminin dan mukminat
 
Alahai…..
kupalu lagi genderang perang badarku
mengangkat sumpah demi Allah
demi daulah Islam dan marwah
menebas, meradang si dajal durjana
melenyapkan nafsu angkara murka
dari setiap inci bait-bait makrifat
dari setiap doa dan airmata darah
bagai serangkai semut marah
melukai mata singa berdarah-darah
 
 
(Medan, 28/12/2016)
 
 
Kaueja Kurun Usia
 
Tak habis ayat, tak habis makna
tak usai kaji, tak khatam jua
Maka,
pulangkanlah akhirat itu kepadaku!
pergilah dunia di sisiku!
 
Kepada-Mu jua,Tuhanku
aku gagap dalam bisu-Mu
 
Pisau yang kuasah bertahun usia, tak bisa tumpul untuk
menjadi tua. Sekali lagi, wahai jiwa! Tajamkan rinduku dan
rindu-Mu. Bagai Musa di gunung Tursina, bagai Rabi’ah
dimabuk cinta.
 
 
(13.11.2015)
 
 
Pada Tigapuluh Ujung Rambutmu
 
Pada tigapuluh ujung rambutmu, terbaring indah, kucari jejak-
jejak langkah riuh pengantin kita. selembar songket di tepi
jendela melambai merapat melihat senja. Malam jatuh
seperti rambutmu, seperti hatimu padaku, jika esok hari bunga
mekar di pusat taman, ”itu pertanda baik”, katamu
 
Pada tigapuluh usia pengantin kita, juriat pun bermekaran
kerabat keluarga berdampingan, tapi kita tetap sendiri dalam
keramaian, hati pun ingin bersendiri dalam keriuhan
akupun tahu:
“jangan beri hatimu kepada seorang kekasih dari ribuan
pecinta, dan jika engkau memberikannya berarti siap membagi
hatimu”
 
Demikianlah sabda dititahkan, demikianlah kita ditakdirkan
 
(14.11.2015)
 
 
 
 
Di tepi Sungai Bedagai
Kepada tz
 

Seperti kenangan yang mengalir di sungai
dibawanya seberkas sajak yang bakal usai
menyinggahi kuala-kuala cinta
tapi sepotong badai bertiup di senja airmata
menjelma api sedupa mantra
 
”Semuanya selesai,” isakmu di ujung tanjung
Maka, pada sungai di bawah lantai
kita siapkan perpisahan ini
Biarlah
mengalir ke jauh samudra.
(2013-2015)
 
 
Shafwan Hadi Umry lahir di Perbaungan pada 27 Januari 1951. Mendedikasikan seluruh hidupnya sebagai guru, Shafwan adalah salah seorang Sastrawan terkemuka Sumatera Utara yang masih terus berkarya hingga hari ini. Pengabdian sastrawan bergelar Doktor ini terhadap kemajuan sastra di Sumatera Utara tak perlu diragukan lagi. Selain menulis karya sastra, dia pun rajin menjadi pemakalah dalam berbagai seminar tentang sastra dan bahasa serta menghadiri sejumlah pertemuan sastrawan baik di dalam maupun di luar negeri. Karya-karyanya, selain dipublikasikan di berbagai media cetak nasional, juga telah dibukukan. “Di antaranya; “Menyimak Ayak Ombak” (Kumpulan Puisi), “Apresiasi Sastra: Panduan Penulisan Puisi”, “Mitos Sastra Melayu”, “Tradisi Lisan dalam Cerita Sumatera Utara”, “Biografi Sultan Serdang”, “Telaah Puisi”, “Gelombang Sastra”, dll
 
 

  • Bagikan