Puasa Tapi Bohong

  • Bagikan

SEMAKIN tahun, berpuasa di negeri ini ternyata makin besar tantangannya. Tak hanya oleh iklim dan cuaca yang sering tak bersahabat, tapi juga oleh simpang siur informasi dan statemen pejabat publik yang membuat panas hati dan sakit kepala.

Hari ini memasuki minggu kedua puasa Ramadhan tahun 1443 H. Tapi melaksanakan ibadah puasa di tengah udara republik yang hiruk pikuk oleh macam-macam isu, rumors, klaim dan statemen pejabat negara yang “tak berpihak ke rakyat”, ternyata sangat tidak mudah. Di media sosial rumors, isu dan gosip bertebaran. Di media mainstream statemen dan klaim sarat kebohongan terus dijejalkan.

Situasi ini membuat ibadah puasa benar-benar kehilangan makna sublimnya. Sepertinya puasa kebanyakan dari kita, entah rakyat jelata, politikus atau pejabat negara, akan sekedar menjadi rutinitas belaka.

Faktanya, ada sangat banyak orang, terutama pejabat, politikus dan para elit negeri yang berpuasa tapi tak bisa lepas dari kebiasaannya berdusta. Mereka berpuasa tapi juga berbohong. Suka bikin pernyataan hoax.

Lihat saja, ketika seorang menko dengan gagah menyatakan kenaikan harga-harga, seorang anggota DPR justru meminta rakyat memakluminya tanpa peduli apakah rakyat kebanyakan punya kesanggupan untuk membeli.

Lalu ketika rakyat menjerit dimana-mana dan mahasiswa tak henti berunjukrasa, orang-orang yang mengatasnamakan diri Kepala Desa dan bahkan Ulama, minta jabatan presiden diperpanjang dan pemilu ditunda. Bahkan kini, dalam suasana jelang Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang tak lama lagi digelar, para calon Kades saling berlomba menjelek-jelekkan lawannya. Hebatnya, semua itu terjadi pada bulan puasa.  

Maka, kalau saja sampai akhir puasa nanti statemen hoax dan kebohongan para elit itu terus berlanjut, bisa dipastikan sia-sialah puasa mereka. Sebab kebohongan yang mereka nyatakan bukan saja membuat mereka akan kehilangan pahala ibadah puasanya, tapi lebih parah lagi, menyebabkan rakyat negeri ini kehilangan kekhusyukan dalam ibadahnya.

Karena itu, sebelum bulan puasa ini berakhir, sebagai rakyat ijinkan saya bertanya; “Bapak Presiden yang terhormat, di negeri ini siapakah sesungguhnya yang berhak menentukan apa yang boleh dan apa yang tak boleh dilakukan? Siapa yang berhak menentukan naik turunnya harga-harga? Apa pula ukuran kebenaran yang harus dipakaikan pada setiap warga negara?”

Sudah bertahun-tahun, sejak reformasi bergulir, rakyat republik ini disuguhi oleh banyak sekali kebohongan dan pernyataan hoax dari para elit negara. Pemerintah berdiri tegar tak tergoyahkan dengan klaim kebenarannya. Di tengah situasi itu, para politisi, Ormas, LSM, pengamat, akademisi, juga berdiri angkuh dengan kebenarannya sendiri-sendiri. Ironisnya, di tengah kebenaran “sendiri-sendiri” itu, peraturan pemerintah, undang-undang, kitab-kitab hukum, penjelasan agama, norma dan etika sosial, tercecer entah dimana.

Sebagai konsekuensinya, kebohongan pun berkobar dimana-mana. Di media massa, kebohongan itu bahkan berseliweran tak terkendali dan menuding liar kesana-kemari. Mendegradasi, mendelegitimasi dan meruntuhkan martabat dan harga diri. Tragisnya, di tengah situasi yang hiruk pikuk atas berkobarnya kebohongan itu, aturan perundang-undangan, pasal-pasal hukum, penjelasan agama, tak mampu berbuat apa-apa.

Tak mengherankan kalau sebagian orang mengatakan, di republik ini keadilan hanya milik orang-orang yang mengerti hukum. Kebenaran digiring sesuai kehendak orang-orang yang memiliki kekuasaan. Peraturan perundang-undangan dan pasal-pasal hukum didominasi oleh tafsir “penguasa” dengan segala macam argumen dan alasan. Sedangkan dogma agama, norma dan etika sosial hanyalah sekedar “pelipur lara” bagi orang-orang kecil tak berdaya.

Sebagai rakyat, saya sangat berharap Presiden, sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, berkenan memberi jawaban atas pertanyaan saya di atas. Sayangnya, di republik ini harapan seperti itu terlalu musykil untuk mendapat jawaban.

Keadaan saat ini benar-benar membuat hopless. Kerinduan terhadap adanya tafsir tunggal atas kebenaran, tampaknya tak akan pernah bisa terpenuhi. Terutama karena hampir semua pemimpin di negeri ini berdiri di atas tafsir kebenarannya sendiri, untuk kepentingan diri dan golongannya sendiri.

Maka, sebelum puasa tahun ini berakhir, saya ingin mengajak semua pemimpin dan elit bangsa negeri ini untuk menghentikan kebohongan itu. Bukan saja agar ibadah puasa kita tak jadi sia-sia, tapi juga agar azab dan bencana tidak terus menimpa. Bagaimana?  (*)

  • Bagikan