Preman Simpang Amaliun

  • Bagikan

Cerpen Minggu Ini

SOBARY yang masih berusia 13 tahun sudah bereputasi preman di sekitar Simpang Amaliun. Sementar para preman yang lebih senior mengurusi kawasan di pusat kota Medan. Sekitar Sentral Pasar dan Kesawan. Dua lokasi di Kota Medan yang ramai oleh toko dan bioskop.

Sobary diberi kebebasan mengutip uang tips sebagai calo penumpang bemo yang melintas di Jalan Amaliun dari Pusat Pasar menuju Pasar Merah; becak broomfiets yang mangkal di depan Mesjid Raya dan Kolam Raya. Bahkan juga sesekali kereta lembu pun dimintai tips. Alasannya karena muatan berlebihan dan bisa merusak jalan.

Jalan Amaliun diapit oleh Jalan Puri dan Jalan Halat. Ke arah barat, ketiganya bermuara di Jalan Raya SM Radja. Keluarga Sobary tinggal berumah panggung di Jalan Puri.  Dinamai Jalan Puri, karena Sultan Deli Mahmud Perkasa Alam, membangun sebuah puri, istana kecil di jalan ini. Di jalan sepanjang tak lebih satu kilometer ini, Syekh Tuan Guru Haji Hasan Maksum berumah pula dan mulai membangun musholla untuk ibadah dan pengajian yang diselenggarakannya.

Ayahanda Sobary, Ahmad Jauhari, sengaja pindah ke Jalan Puri dari kampungnya, Sungai Bhadera, sekitar 32 km dari arah barat Kota Medan karena ingin berguru pada Syekh Hasan Maksum, sebagaimana para pencari kebenaran berdatangan dari berbagai daerah yang tersebar di Sumatera Timur. Ahmad Jauhari membawa pindah empat anak dari istri keduanya.

Sobary, si sulung mempunyai dua adik laki-laki. Keduanya kerap menjadi hatoban, suruhan-suruhannya. Apa daya dua bocah, Idrus yang sudah 11 tahun dan Lukman yang masih 8 tahun. Keduanya selalu kecut oleh sikap Sobary. Tak pagi tak sore, keduanya selalu mendapat tugas yang tidak masuk akal untuk anak seusia mereka.

Disuruh mengutang rokok di kedai sana-sini, utang nasi bungkus juga di warung nasi sana sini. Bukan untuk keperluan Sobary semata, tapi untuk konco-konconya juga. Sampai tugas mengasah keris dan pisau senjata Sobary berkelahi atau menggertak musuh-musuhnya dikerjakan Idrus dan Lukman.

Idrus dan Lukman masih duduk di sekolah dasar. Sobary sudah sekolah lanjutan. Lebih sering tak masuk sekolah karena urusan keperemanannya. 

Siang itu, bersamaan dengan berkumandangnya suara pembacaan Al-Quran jelang sholat Jumat dari Masjid Raya, Sobary tersungkur di jalan beraspal keras di Simpang Amaliun yang berbatasan dengan Jalan Raya SM Radja. Tak sesiapa menolongnya untuk bangkit. Ia menegakkan tubuhnya sendiri. Meminggir dan menyerabut rumput pagar tepi jalan, mengelap darah bercampur pasir di kedua tempurung lututnya. Dia raba pelipisnya basah juga oleh hemaglobin yang berpecahan, perih. 

Tertatih-tatih Sobary menuju rumahnya. Sesekali ia berpapasan dengan anak sebaya atau yang lebih tua darinya. Matanya nyalang memandang mereka. Ia masih sempat mengepalkan tinju memperlihatkan kecentengannya dalam keadaan hampir sekarat itu.

 Umumnya anak-anak tahu watak Sobary, tak sekadar gertak, tak pernah tak melakukan. Beberapa anak terpaksa berondok dibalik pagar rumah warga menghindari pandangan Sobary. Ada pula yang menyelipkan badan di antara orang dewasa yang ramai menuju masjid.

“Tolong aku, Drus…kau juga, Man. Cepat kita jalan! Nanti kita bertemu ayah.” Desak Sobary pada Idrus dan Lukman yang bertemu ketika sudah membelok ke Jalan Puri melewati Jalan Laksana yang melintang. Keduanya merasa tersiksa dengan berat tubuh Sobary yang bergayut di bahu mereka yang krempeng.

“Ayah sudah berangkat dari tadi, Bang. Tak mungkin kita bertemu.” Lukman menjelaskan.

“Jangan mengadu pada ayah kelien, ya. Besok akan kuhajar Manaf. Enak aja dia mengambil bagianku. Dasar bedebah, dia itu!” Maki Sobary.

Masih di halaman rumah, Idrus dan Lukman melepas Sobary. Sobary merogoh kantongnya ingin memberikan recehan kepada kedua adiknya. Maksudnya sebagai uang sogok tutup mulut agar tak mengadukan ihwalnya pada ayah mereka. Tapi keduanya secepat kilat sudah membalik badan. Lari. Bukan karena takut terlambat mengikuti sholat, tapi takut kehabisan waktu untuk main perosotan di tangga Mesjid Raya.

“Kau ni, Bary. Sampai kapan kau berhenti bekelai. Ni, apa lagi sebabnya? Pelipismu juga berdarah!”

 “Enak aja Manaf, Mak! Tiba-tiba ia datang menarik komisi penumpang bemo yang mau masuk Amaliun. Mau kubagi mukanya, dipukulnya aku duluan. Tepat kenak pelipisku. Kukejar ia yang berlari menyeberang. Kencang kali aku lari, tersungkur aku. Pecah lututku. Untung tak ada oplet yang melintas. Ni, makanya Mak, lututku perih.” Sobary mengulaikan badannya di lantai.

Emak mengambil kain lap dan semangkuk air hangat membersihkan lutut Sobary dengan lembut. Meneteskan obat merah dan sesudahnya mendekatkan hidangan makan siang ke depan Sobary. “Makanlah dulu. Tak payah kau makan sama ayah dan adikmu. Banyak tanya nanti ayah, kau!”

Dalam keadaan begini, pun, Sobary tetap disayang emak. Paling-paling emak mengatakan dengan lemah lembut, begini, “Lebih-lebih kau dari Lukman. Cukup dia perajuk dan penyakitan menyusahkanku. Padahal kau yang sulung.” Mak tak bersoal kenakalan anaknya di luar sana.         Sobary sudah diperhitungkan sebagai preman yang punya masa depan. Tak punya rasa takut sedikitpun.

Setelah hampir setahun peristiwa pelipis dan lutut Sobary pecah, tanpa jeda Sobary terus berkelahi dengan siapa saja untuk mengukuhkan kepremanannya. Hingga pada satu tengah malam buta, Keplor (Kepala Lorong) mengetuk rumah keluarga Ahmad Jauhari. Ahmad Jauhari membuka pintu, tak perlu ia terkejut.      “Pasti Sobary membuat ulah diluar sana!”

 “Telah terjadi perkelahian antara preman Simpang Amaliun dan preman Sukaramai, Pak. Datang preman Pasar Merah membantu preman Sukaramai. Berikutnya datang preman Simpang Limun membantu preman Simpang Amaliun. Sobary tidak kena apa-apa. Tapi dialah tertuduh menikam salah seorang anak Sukaramai,” jelas Keplor.

Ahmad Jauhari dan mak mendengar takzim keterangan Keplor. Keduanya membayangkan kapak dan keris dalam genggaman para preman berseliweran. Selalu pula pelemparan batu dilakukan, dan ancaman pembakaran bertubi-tubi kalau saja petugas keamanan tak segera datang melerai perkelahian yang sering menumpahkan darah itu.

 “Sekarang ia ditahan polisi di Pos Teladan. Diamankan, Pak!” tambah Keplor.

 “Moh kita kesana, Bang!” langsung Emak memotong.

 “Malam bute begini!?” jawab Ahmad Jauhari yang hanya mengenakan singlet dan sarung yang disempatkan mengenakannya.

 “Sebaiknya besok saja Pak Jauhari dan ibu datang melihat. Malam ni cukup beri saja uang makan dan rokoknya. Selimut juga.”

Emak langsung bergegas ke kamar untuk mengambil keperluan yang disebutkan keplor.

Pagi-pagi Idrus dan Lukman senang mendengar abangnya tertangkap. Tak ada tugas sebagai hamba sahaya dari Sobary. Keduanya berharap Sobary lama di tahanan. Bagi Idrus, ia akan bisa lebih dekat dengan anak bangsawan Melayu Tengku Setiadara yang selama ini ditaksirnya. Tanpa halangan kegantengan Sobary.

Setiadara selalu datang bertandang bersama sepupunya Tengku Kameliah ke rumah keluarga Sobary. Keduanya menawan bak peri yang turun dari langit. Berhidung bangir bermata jelita. Emak sering mengimpikan kalau-kalau bisa bermenantukan anak-anak ningrat Melayu ini.

Lukman, walau masih berusia cekur melihat dan mendengar kedua abangnya digilai oleh dua anak bangsawan ini. Ia simpan semua gairah yang ada di dirinya, ingin juga ia memiliki salah seorang perempuan cantik puteri Melayu.

 Sudah 10 hari Sobary ditahan. Sebelum waktu persidangan, Ahmad Jauhari datang ke seorang ahli hukum terkenal Mr. Tengku Zulkarnaen. Ia mohon bantuan hukum untuk meringankan hukuman Sobary. Ia datang dengan membonceng sekarung rambutan dan sekarung duku pilihan dari kampung. Bersepeda ke rumah Tuan Ahli Hukum.

 “Senang melihat Tuan Tengku Zulkarnaen tu. Nampak berilmu. Kalaulah salah satu anak kita jadi seperti dia. Beruntunglah kita.” Cerita Ahmad Jauhari pada emak setelah pulang dari rumah Tuan Ahli Hukum.

Mufakat Ahmad Jauhari dan istrinya memutuskan ketiga anaknya tahun depan akan dikirim ke Jakarta. Sebelumnya sebagai usaha memajukan pengetahuan umum ketiganya, Ahmad Jauhari telah membeli segudang buku. Baik buku-buku baru yang dibeli di toko maupun buku bekas dibeli di Titi Gantung, sebelah Stasiun Kereta Api. Beberapa petak tanah di kampung dijual untuk keperluan ini.

Tobat karena sudah beberapa kali terserang sakit kepala berat, Sobary menghabiskan waktunya di rumah. Giat membaca buku-buku. Rupanya membaca buku-buku merasa menjadi ksatria pulaknya dia. Berteriak-teriak dan mengayun-ayunkan pedang di jalanan. Menirukan tokoh-tokoh ksatria dalam buku yang dibacanya. Si bijak Lukman membuatkan pedang dari pelepah daun pisang guna menghindari korban.

Si perajuk Lukman yang sudah tumbuh remaja, melahap buku lebih dari kedua abangnya, selalu punya strategi meloloskan dirinya dari rasa takut kepada Sobary yang sudah senget (gila). Suatu kali, ia mengatakan pada Sobary, bahwa para ksatria dan orang-orang hebat yang ada di buku-buku yang mereka baca, harus memeriksakan dirinya ke ahli jiwa paling sedikit dua kali setahun. 

“Kau betul, Lukman. Bawa aku kesana!” Sang Ksatria Sobary menyambut spontan.

Tubuh Sobary terkulai dengan kejutan listrik generasi pertama yang ada di Rumah Sakit Jiwa Jalan Timor Medan. Sementara Lukman menunggu satu atau dua jam memulihkan kondisi normal abangnya untuk dibawa pulang. (*)

Nevatuhella, lahir di Medan pada 31 Desember 1961. Alumnus Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara (USU) ini termasuk salah seorang penulis perempuan yang cukup produktif di Sumut. Karya-karyanya dipublikasikan di banyak media nasional. Sejumlah buku telah pula dihasilkannya. Di antaranya buku “Perjuangan Menuju Langit” (2016), buku kumpulan puisi “Bila Khamsin Berhembus” (2019), dll.

  • Bagikan