Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Penulis Kolom Budaya di Zaman Transisi

  • Bagikan

MENYIMAK kolom budaya Harian Waspada masih ada beberapa nama penulis senior  yang tersisa.

Di antaranya Shafwan Hadi Umry, Sugeng Satya Darma, Hidayat Banjar, Nevatuhela, S Ratman Suras dan lain-lain. Sementara nama-nama yang baru tidak kita bicarakan, karena biarlah berproses bersama waktu.

Selebihnya ada  yang telah purna karena wafat. Ada pula yang usianya masih produktif, tapi tenggelam dalam profesi masing-masing atau tidak ada kabar sama sekali.

Sebahagian dari mereka adalah seniman atau seniman merangkap profesi lain. Sebenarnya ini sebuah proses alamiah saja. Tidak pula keharusan tetap menjadi penulis. Karena menulis adalah pilihan. Dan  alam menakdirkan ‘patah tumbuh hilang berganti’.

Generasi lama hilang, bertunas generasi baru.. Demikian pula di kolom Budaya Harian Waspada. Muncul bibit-bibit baru dari dunia kepenulisan. Setelah muncul, kemudian akan  sama dengan pendahulunya. Mereka akan tenggelam lagi. Seleksi alam akan membuktikan, hanya beberapa saja yang masih bertahan.

Jeda Panjang
Pada dinding Facebook, sekali waktu ada curhatan Sajak Tanwin alias  Zaulkarnaen Siregar alias Opung Lela Jingga. Dia menulis, betapa dulu dirinya  sangat produktip menulis di Harian Waspada, khususnya halaman Budaya yang terbit setiap hari Rabu dan kolom puisi  Abrakadabra setiap hari Minggu. Sebagaimana diketahui sekarang kolom budaya tinggal hari Minggu saja tanpa kolom puisi.

Sajak Tanwin menulis, mengapa sekarang ini beliau jarang menulis lagi? Pertanyaan itu lebih kepada curhatan pada diri sendiri.

Padahal, semasa rajin menulis di koran, awal tahun 90-an, akhir 90-an hingga awal 2000-an, tulisnya,  awak masih bersemangat kali membaca koran dan berlangganan koran sambil melihat tulisan-tulisan sendiri terbit.

Rasa haru, gembira terlebih-lebih rasa bangga hadir begitu melihat ada tulisan sendiri.
Setiap hari Rabu dan Minggu sudah menjadi kebiasaan setelah subuh keluar mencari loper koran atau agen, Yang pertama kali dibaca di rubrik itu adalah tulisan sendiri.

Tapi kini ada yang awak rasakan perubahan itu terutama membaca koran, apalagi menulis (apakah itu esai, opini dan sesekali puisi) tak lagi tertarik.

Padahal, awak tahu itulah cara-cara (menurut pandangan tertentu) mempublikasikan pikiran-pikiran dan karya-karya. Mengapa demikian?

Demikian Sajak Tanwin menulis status panjangnya bertajuk “Menulis Juga Butuh Jeda: Tentang Koran”. Tulisan ini pun mendapat beberapa tanggapan diantaranya dari Bersihar Lubis, pemimpin redaksi yang juga seniman itu. “Tak semua orang seperti Goenawan dan Rosihan hingga usia 80-an masih menulis. Saya hampir 72 belum apa-apa. Menulis itu kebutuhan. Ada yang kurang jika tak dilakukan. Jeda bisa saja. Untuk kontemplasi dan refleksi” tulisnya.
 
Apa yang dialami  Sajak Tanwin mungkin ada benarnya. Sama dengan apa yang dialami sebagian penulis lainnya. Termasuk saya sendiri. Sekali pun saya pernah bekerja di bidang jurnalistik, namun sempat absen di bidang tulis-menulis.

Apalagi faktor alasan sakit belakangan ini. Menikmati hasil kerja jurnalistik dengan menulis tentu beda rasanya. Meski sama-sama produk jurnalistik, setiap menulis di Rubrik Budaya akan beda rasanya dengan menulis berita biasa. Dulu, rasanya bangga sekali jika melihat tulisan sendiri di halaman koran. Apalagi waktu itu saya masih menggunakan tulis tangan karena belum mampu beli mesin ketik. Bisa tampil tulisan di koran sungguh luar biasa.

Masa Transisi
Saya sungguh hormat pada orang-orang yang saat ini masih loyal pada dunia kepenulisan. Apalagi menulis sebagai kebutuhan. Sungguh luar bisa bagi mereka yang masih setia dan bertahan di dunia kepenulisan sampai sekarang.

Dewasa ini dunia tulis-menulis sudah berubah. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa format media mengalami transformasi dari konvensional menjadi format digital.

Pergeseran ini suka tidak suka memengaruhi penulis-penulis media konvensional.
Penulis media konvensional pada awalnya tetap mengakui dan merasakan nikmatnya membaca tulisan di koran. Ketika membaca bisa menyentuh kertasnya sampai lusuh.

Mencium bau tintanya. Sekarang ketika banyak koran mulai gulung tikar dan berimbas pada hilangnya rubrik budaya, mereka terasa kehilangan. Mereka menganggap media tempat eksprasi berkarya otomatis bubar.

Di Medan, sudah berapa koran tutup dan rubrik budaya dihilangkan demi efisiensi? Untunglah Harian Waspada hingga saat ini masih mempertahankan rubrik budayanya. Sehingga penulis masih menemukan tempat berekspresi dan menuangkan gagasan mereka.

Berkurangnya koran dan rubrik budayanya, sebenarnya tidak benar-benar kiamat. Matinya koran segera digantikan dengan tumbuhnya media digital. Belakangan, makin menjamur media online termasuk media sastra dan budaya. Namun  media-media online tersebut ternyata masih harus diuji eksistensi dan kredibilitasnya. Beberapa media online yang telah muncul,  kembali redup dan di antaranya sudah lenyap dari peredaran.

Fakta ini turut berpengaruh pada semangat sebagian penulis. Spirit mereka hilang, apalagi mereka yang belum terbiasa dengan media digital. Mereka berharap media konvensional—koran—masih eksis dan terjaga kredibilitasnya.

Mereka masih nyaman menulis di koran. Namun berkurangnya media koran dan hilangnya rubrik budaya menyebabkan niatan menulis mereka mundur teratur. Inilah dinamika penulis di zaman  transisi ini.

Status Panjang
Akhir-akhir ini kita temukan beberapa penulis membuat tulisan panjang pada status di dinding Facebook. Beberapa di antaranya tulisan budaya. Esai, cerpen dan puisi.

Sebutlah misalnya S Ratman Suras, Zulkarnaen Siregar dan yang lainnya. Tulisan mereka sering mendapat apresiasi oleh sesama teman mereka. Di zaman transisi ini sebagian orang memang memanfaatkan saluran digital yang mereka punya seperti media sosial.

Cara mereka menulis di media sosial ini dapat dibaca sebagai alternatif menyalurkan karya.
Di media sosial mereka dengan cepat menyampaikan tulisannya pada pembaca. Begitu selesai ditulis langsung dipublis.

Dibaca oleh pembacanya dan ada jejak pembacanya yang bisa dimonitor berupa like, dislike atau komentar. Belum lagi pembaca yang mengintip saja. Artinya pembaca yang tidak meninggalkan jejak digitalnya. Inilah cara alternatif di zaman sekarang untuk menyalurkan gagasan mereka.

Namun tidak semua demikian pada awalnya. Kenapa pada awalnya, karena suka tidak suka, pada akhirnya mereka para penulis akan menuju era digital. Setidaknya mereka menganggap, menulis di media sosial kurang seru karena tanpa seleksi oleh lembaga redaktur. Sehingga semua tulisan layak naik.

Menulis di media sosial adalah peran tunggal seseorang menjadi penulis sekaligus redaktur yang mengoreksi tulisan mereka sekaligus penerbit yang mempublisnya. Meski demikian, menulis di media sosial pilihan saja. Karena toh mereka bisa menulis juga di media konvensial. Mereka bisa menerbitkan tulisan di media sosial dalam bentuk buku.  Dan ini sudah banyak yang melakukan. Kalau tulisan kita ramai dibaca di media sosial kita bisa menerbitkannya versi cetak.

Menulis di media digital adalah sebuah keniscayaan. Menulis di media konvensional sekarang adalah sebuah fakta, ada yang hilang karena tergerus zaman. Semuanya akan berakhir menjadi cerita.

Dulu kita menulis berminggu-minggu menunggu tulisan baru diterbitkan. Ada seleksi redaktur yang demikian cermat dan teliti. Ada tim kerja yang kompak di belakangnya sampai menghadirkan naskah kita di tangan pembaca. Kalau naskah  diterbitkan kita masih harus berjuang lagi membeli koran. Setelah  diterbitkan kita merasa bahagia.

Merasa menang karena melewati seleksi. Sementara menulis di media digital semua perasaan itu kemungkinan akan menjadi  hilang karena kapan mau menulis di sana bisa kita terbitkan. Menulis di masa transisi memang sebuah kegamangan. Duh! (Nasib TS)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *