Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Merobek Mimpi

  • Bagikan


 
IBARAT sekuntum mawar, Andini, anak perempuan semata wayang pasangan suami istri Suratmin dan Lestini tumbuh jadi remaja mekar. Dipupuk dan disirami nutrisi dan kasih sayang sejak dalam kandungan. Cantik, pintar, berbudi, jadi kebanggaan. Rajin belajar serta berprestasi ??murid idaman. Kedua orang tuanya selalu dapat pujian.

Andini remaja berwajah tirus, tidak gemuk dan tidak kurus, kulit kuning langsat dan mulus, hidung mancung di atas bibir tipis merekah merah. Tampil cantik anggun dibalut hijab tergerai, postur tubuh ramping semampai.

Lulus SMP, Andini meraih gelar juara, ia lanjut ke SMU masih di kota itu juga, sebuah ibukota kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Andini memilih jurusan IPS, tapi Suratmin ingin Andini jurusan IPA. Andini tidak bisa menolak, meski dalam hati ia berontak.

Untuk mengungkapkan ia tak hendak. Andini tak berminat jurusan IPA. Mata pelajaran Bahasa Indonesia ia suka. Sejarah, ilmu sosial disenanginya. Demikian pula budaya dan sastra.

Keterpaksaan rupanya menimbulkan benih-benih kebencian. Di bawah sadar Andini tertekan. Sikap ambivalen antara sayang dan benci pada Ayah yang ia rasakan, tumbuh jadi konflik kejiwaan.

Suratmin rupanya punya rencana, masa depan Andini sudah disiapkannya. Tanpa berembuk dengan anak tunggalnya, ia ingin Andini kelak menjadi dokter seperti dirinya. Suratmin bekerja di Dinas Kesehatan Kota.

Suratmin mendaftarkan Andini ke Fakultas Kedokteran. Obsesi Suratmin, Andini harus jadi Dokter! Berbagai upaya dilakukan, akhirnya Andini diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Swasta di Medan. Suratmin lega.

Andini kecewa. Hatinya remuk. Ia tak dapat tidur semalam suntuk. Ia mengunci diri di kamarnya, menangis menyesali sikap Ayah yang disayang dan dikaguminya.

Konflik batin terjadi, Andini tidak berdaya melawan Ayah yang ambisi. Pendidikan kedokteran terpaksa ia ikuti. Andini hanya mampu berontak dalam hati.

Prestasi akademiknya tidak memuaskan, walau akhirnya dalam waktu 5 tahun Andini mendapatkan ijazah Sarjana Kedokteran.
Periode selanjutnya pendidikan kedokteran ke Prodi Profesi Dokter.

Periode ini wajib dijalankan di rumah sakit selama 4 semester. Kesedihan Andini memuncak. Ia sering mengadu kepada Ibunya sambil menangis, pilu.

“Dini nggak sanggup lagi untuk meneruskan sekolah, Bu. Ayah terlalu memaksakan kehendaknya. Yang menjalaninya ‘kan Aku. Bukan Ayah, bukan Ibu!” katanya sambil terisak di pelukan Ibu. Tetapi, Ibunya selalu memihak sang Ayah.

“Sabar Nak … tinggal sedikit waktu lagi yang harus dijalani. Apa Dini nggak bangga jadi Dokter? Ibu sangat bangga kalau Dini jadi dokter, apalagi Ayah,” begitu Lestini membujuk. Lestini pun selalu membangga-banggakan anaknya kepada ibu-ibu PKK tentang kegiatan anaknya yang kini menjadi Coass … calon dokter!

Mendengar jawaban Ibunya, hati Andini semakin gundah gulana. Kini ia lebih sering di dalam kamar, mengunci diri. Bertemu dengan Ayah ia hindari. Kepada Ibu pun ia mulai benci!
 


 
Malam itu, gerimis tipis jatuh membasahi bumi, Andini berada di kamar kosnya sendiri, sudah empat pekan ia tidak pernah kembali. Ia lebih menyenangi bersunyi-sunyi.

Biasanya, setiap akhir pekan ia pulang, kini rasa rindu rumah dan Ibu hilang. Entah kenapa, dari petang ke petang, ia lebih senang berbaring melamun di ranjang. Ia berusaha menikmati kesendirian.

Kenangan masa kecil kembali dalam ingatan. Bagai menyaksikan napak tilas kehidupan, jelas terbayang bagian per bagian. Sejak TK, ia adalah gadis kecil menyukai seni, ia senang melukis dan baca puisi.

Selalu mendapat juara I dalam kompetisi, mengikuti kegiatan dan menikmati. Setiap ada perlombaan selalu ia ikuti. Guru acap meminta ia ikut menari.

Tiba-tiba ia tersentak. Rasa rindu berkesenian bagai gelombang laut, menerpa jiwanya menjadi kalut. Kegiatan berbilang tahun tidak pernah lagi ia ikut. Sejak tamat SMP semangat seninya jadi surut. Ia bangkit dari berbaring, berjalan menuju cermin di sudut dinding. Menatap wajah sendiri ia bergeming.

Jilbabnya lepas rambutnya terurai menutupi kening. Ia merasa menatap wajah orang lain di cermin itu. Ia tersenyum, tapi wajah dicermin itu menatapnya kaku, tajam seperti marah menderu. Apakah aku bermimpi? Ia membatin ragu. Wajah di cermin itu tiba-tiba menyeringai, seperti hendak menerkamnya. Ia berteriak keras. “Ibu….!!!” Andini lunglai. Roboh tak sadarkan diri!
 


 
Sore itu cuaca cerah setelah hujan lebat selama hampir satu jam. Suratmin dan Lestini duduk di ruang tamu sambil menikmati secangkir teh manis dan pisang goreng.

“Andini belakangan ini jarang pulang, Bang. Apa memang begitu kegiatan di rumah sakit?” Tanya Lestini kepada Suratmin memecah keheningan mereka. Selama menjalani pendidikan Coass di rumah sakit di Medan, biasanya setiap akhir pekan Andini pulang.

Akan tetapi, sudah empat pekan ia tidak pulang dan tidak pernah menelepon. Ada rasa khawatir dalam hati Lestini.
“Iya, apalagi kalau dia coschap di bagian-bagian tertentu, seperti Penyakit Dalam, Kebidanan, Bedah dan Anak. Mereka harus tugas jaga malam secara bergilir,” jawab Suratmin.

“Dini sudah cerita ke aku. Dia tidak suka kuliah di kedokteran. Ayah ‘kan sudah tahu, sejak tamat SMU memang dia ingin masuk ke Fakultas Sastra,” Lestini mulai menyalahkan suaminya.

“Semua orang bisa jadi dokter, kalau mau belajar sungguh-sungguh,” jawab Suratmin.
“Kalau dia tidak suka, tidak bisa juga dipaksakan. Minat orang ‘kan beda-beda.”
“Ibu kurang memberi motivasi! Itu saja masalahnya.”

“Ayah yang tidak mampu memotivasinya. Seharusnya, Ayah sebagai seorang dokter jadi panutan anak,” Lestini tidak mau disalahkan. Suratmin terdiam. Dalam hati ia membenarkan ucapan istrinya.
 


 
Di ruang UGD rumahsakit, Dini terbaring. Masih belum sadar. Tubuhnya kaku, jari-jari tangannya terkembang meregang, kejang. Perawat segera memasang infus cairan.

Sebelum selang infus dipasang, perawat mengambil contoh darah sebanyak lima cc untuk pemeriksaan laboratorium. Dokter jaga dengan sigap memeriksa tanda-tanda vital, tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu tubuh Dini. Kemudian memeriksa jantung dan paru dengan stetoskop. Selang oksigen juga dikenakan ke hidung Dini. Setelah selesai pemeriksaan fisik lengkap, dokter berjalan ke mejanya. Perawat meletakkan map status Dini di atas meja di depan dokter.

“Panggilkan orang tuanya,” ujar dokter kepada perawat.
Suratmin dan Lestini duduk di depan dokter. Suratmin menyalami dokter. “Saya dokter Suratmin,” katanya mengenalkan diri. “Oh, ya Bang, saya dokter Dian, dokter jaga UGD,” ujar dokter Dian.

Dokter Dian mewawancarai Suratmin dan Lestini dengan panjang lebar. Lestini menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter Dian. Suratmin lebih banyak diam mendengarkan Allo-anamnesis yang dilakukan dokter Dian.

“Kita rawat saja, ya Bang. Saya konsulkan ke Penyakit Dalam,” ujar dokter.
“Baik. Terima kasih, dokter Dian,” jawab Suratmin.

Malam itu, Andini dirawat di Ruang VIP 2. Suratmin dan Lestini menemaninya. Andini masih belum sadar. Perawat telah menyuntikkan satu ampul obat setelah dokter Dian konsultasi via telepon dengan dokter Uje, dokter spesialis penyakit dalam.
 


 
Pukul 09.30 Wib, ruang sidang Komite Etik Fakultas Kedokteran sudah berisi. 15 orang anggota dan ketua komite etik, hadir semua. Sebelum sidang dibuka, mereka diskusi mengenai kasus Andini.

“Kasus ini, ini aneh dan berat,” ujar seorang Profesor sembari membuka kertas laporan ketua tentang kronologis kasus yang akan disidangkan.

“Benar, Prof! Sangat unik, dan mungkin baru pertama kali terjadi di fakultas kita,” seorang dosen senior menimpali.

Di luar ruangan, Andini duduk sendirian di sebuah kursi, menunggu dipanggil masuk ruang sidang. Ia diantar kedua orangtuanya. Ayah dan Ibunya ingin mendampinginya, tetapi Andini mencegahnya. “Biar Dini saja, Ayah,” katanya.

“Kami ingin tahu bagaimana hasil sidangnya, Dini,” ujar Ibu lembut memandang wajah Dini dengan perasaan cemas. Dini tidak mau menceritakan masalah apa yang membuat ia akan disidangkan hari ini. “Nanti juga Ayah dan Ibu akan tahu,” jawabnya tenang sambil tersenyum. Ekspresi wajahnya tak menampakkan kegundahan.

“Ini semua masalah akademik yang harus Dini pertanggungjawabkan. Dini sudah siap! Dini harap, Ayah dan Ibu juga siap menerima semua keputusan Dini,” ujarnya dengan mantap.

Mendengar jawaban Dini, ibunya semakin gundah. Benaknya dipenuhi berbagai dugaan. Suratmin berdiri tak jauh dari mereka. Rasa penyesalan menghantuinya. Andini kini seperti musuhnya, tak pernah lagi mau berbicara dengan dia. Ia kini menyadari, sikapnya sesungguhnya salah terhadap Dini. Sebagai Ayah, sesungguhnya ia harus memahami bakat dan cita-cita anak.

Ia memandang jauh ke depan dengan pandangan hampa. Tiba-tiba kelopak matanya terasa panas, airmatanya mengalir deras, menetes dari kedua sudut matanya terasa pedas. Sudah puluhan tahun ia tak pernah menangis, mengapa kini ia sangat sedih dan teriris?

Setelah tim berdiskusi tentang kasus mahasiswa yang akan diputuskan dalam sidang itu, tepat pukul sepuluh pagi sidang Komite Etik Fakultas Kedokteran dibuka oleh Dekan. Setelah sidang dibuka, seorang pegawai fakultas memanggil Andini masuk ruang sidang.

“Apakah saudara Andini Lestari mengetahui kenapa dipanggil hari ini oleh Komite Etik Fakultas?” Tanya pimpinan sidang. Andini mengangguk.

“Apakah saudara mengakui semua perbuatan melanggar aturan akademik yang saudara lakukan?” Andini kembali mengangguk pasti.
“Apakah saudara ingin membela diri?” Andini menatap ke depan dan menggeleng. Lalu ia berkata: “Tidak Pak! Saya hanya ingin menyampaikan permohonan maaf saya kepada Bapak Ibu semua atas kesalahan saya,” jawabnya tenang tanpa ekspresi.

“Baik. Selanjutnya saya persilahkan kepada bapak ibu anggota komite yang ingin bertanya  kepada saudara Andini,” pimpinan sidang melanjutkan. Seorang dosen perempuan mengacungkan tangan.

“Saudara Andini, apa sebab saudara tidak mengikuti kegiatan Coschap di Rumah Sakit dan berani memalsukan hampir semua tanda tangan Kepala Bagian di Rumah Sakit?”
Hening sesaat.

“Sekali lagi saya mohon maaf, Bu. Saya sebenarnya ingin menghentikan pendidikan saya hanya sampai pada Sarjana Kedokteran saja,” jawab Andini.

“Lantas, kenapa kamu tetap melanjut dan bayar uang kuliah lagi, lalu melakukan pemalsuan pula?”

“Karena orangtua saya tetap bersikeras memaksa saya untuk lanjut menjadi dokter,” jawab Andini mencoba tetap bersikap tenang. Semua yang hadir menatap wajahnya, menunggu jawaban selanjutnya.

Tiba-tiba; “Aaaaah….!” Andini memekik kuat sambil menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Tampaknya ia berusaha agar jeritannya tidak terdengar. Dini meraung keras, tubuhnya berguncang kuat. Tangisnya pecah memenuhi ruangan sidang yang hening itu. Ia berdiri, wajahnya tegang, matanya terbuka lebar, tubuhnya bergetar hebat.

Dokter Uje berlari menghampiri Dini. Ia menangkap tubuh Dini sebelum tubuh yang mengejang itu roboh! Dokter Uje merebahkan tubuh Dini ke lantai ruangan itu. Lalu memandang semua yang hadir berdiri menyaksikan kejadian itu.
“Dia pasien saya,” ujar dokter Uje. “Dia mengalami “Gangguan Konversi!!”*)
 
 
*) Catatan: Gangguan konversi adalah kondisi kejiwaan di mana seseorang merasakan gejala fisik berupa kehilangan kendali terhadap fungsi sistem saraf. Gejala tersebut tidak terkait dengan penyakit lainnya. Kelainan ini lebih sering terjadi pada perempuan.
 
 
Prof. Dr. dr. Umar Zein, DTM&H, Sp.PD, KPTI lahir di Medan pada 14 Oktober 1956. Selain berperofesi sebagai dokter, ia adalah juga dosen di Fak. Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara. Di luar profesinya itu, Umar Zein adalah seorang penulis, sastrawan dan penggiat pantun yang sangat produktif di Sumatera Utara. Karya-karyanya, selain diterbitkan di berbagai jurnal kedokteran, juga dipublikasikan di berbagai media cetak nasional.  Sudah menulis sejak tahun 1970, hingga hari ini dia setidaknya sudah menghasilkan 30 buku baik tentang kedokteran/kesehatan maupun buku sastra. Di antaranya adalah novel “Tegar”, antologi puisi “Resam Gurindam”, “Memetik Corona”, dll (*)
 

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *