Menjaring Pemimpin

  • Bagikan


 
BUKAN karena tak ada putra terbaik di negeri ini hingga negara sebesar Indonesia kesulitan memilih figur pemimpin yang berkharisma dan disegani.

Juga bukan karena Indonesia negara lemah hingga warga negaranya, bahkan orang sekaliber Ustadz Abdul Somad, dengan mudah “dilecehkan” di negara lain.

Fakta bahwa pemimpin Indonesia tak disegani di dunia Internasional bisa dibaca di berbagai laman situs berita. Pun ketika warga negaranya dilecehkan bahkan oleh negara sekecil Singapura.

Keadaan itu terjadi lebih disebabkan rekrutmen calon pemimpin di negara kita tidak benar-benar didasarkan pada upaya membangun harkat dan martabat bangsa. Tapi lebih pada faktor pertimbangan kepentingan politik  kekuasaan semata.

Sejak reformasi, partai-partai politik yang sangat dominan dalam penentuan kepemimpinan nasional, tidak memberi peluang untuk munculnya pemimpin negara yang berwibawa guna mengatasi semua problem bangsa. Pilihan atas calon pemimpin lebih didasarkan pada hitung-hitungan untung rugi politik transaksional. Pada apa, siapa dan dapat apa.

Sejak reformasi 1998 politik transaksional ini tumbuh subur dan bahkan telah menjadi budaya dalam pemilihan dan penetapan calon pemimpin di semua tingkatannya.

Dari pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota bahkan hingga kepala desa. Siapa yang punya duit banyak, populer, punya dukungan politik yang kuat, dialah yang digadang-gadang untuk dipilih jadi pemimpin meskipun minus kemampuan leadership.

Lima kali pergantian presiden selama 25 tahun reformasi, kita hanya berganti-ganti rezim belaka, tapi tidak kunjung melahirkan prestasi apapun yang membuat bangsa lain segan dan hormat pada bangsa kita. Kasus Ustadz Abdul Somad yang dideportasi dari Singapura tanpa alasan jelas, adalah salah satu wujud dari tidak adanya rasa hormat itu negara lain pada bangsa kita.

Dalam situasi itu, ironisnya semakin hari bangsa ini semakin terpecah oleh maraknya politik kubu-kubuan, politik sektarian, dukung mendukung figur yang menyebabkan hilangnya rasa saling menghormati dan saling percaya antar sesama anak bangsa.

Hari ini kita bisa menyaksikan bagaimana politik kubu-kubuan, dukung mendukung dan pecah belah itu terus terjadi dalam macam-macam bentuk dan tindakan.

Karena itulah, ketika sejumlah orang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencabut Presidential Threshold 20 persen itu, saya mendukungnya. Begitu juga ketika sejumlah aktivis membuat gerakan untuk menjaring calon presiden di luar partai politik.

Inisiatif penjaringan putra terbaik bangsa di seluruh Indonesia untuk diusulkan kepada rakyat sebagai kandidat presiden, wakil presiden dan menteri-menteri kabinet Indonesia di masa datang, adalah salah satu cara untuk melahirkan pemimpin nasional yang berwibawa dan bermartabat.

Dengan melibatkan rakyat secara langsung dalam memilih dan menentukan calon pemimpinnya, akan menghindarkan rakyat dari membeli kucing dalam karung sebagaimana yang terjadi selama ini.

Dengan mekanisme penjaringan, nama-nama putra terbaik bangsa dari seluruh Indonesia akan dihimpun dan dikumpulkan. Kemudian nama-nama tersebut disampaikan ke masyarakat dalam bentuk polling pengambilan suara terbanyak dengan menggunakan berbagai fasilitas media yang ada.

Suara siapa yang nanti paling banyak dipilih rakyat, dialah yang duusulkan agar dipilih partai politik sebagai calon presiden dan wakil presiden Indonesia mendatang. Sedang tokoh yang lainnya, yang lolos dalam proses penjaringan, diharapkan bersedia menjadi pembantu presiden.

Saya melihat, upaya penjaringan calon Presiden ini memang harus dilakukan untuk membangkitkan partisipasi aktif rakyat dalam menentukan calon pemimpinnya di masa datang.

Pengalaman 25 tahun di era reformasi menunjukkan bahwa kita tidak boleh terus menerus menyerahkan mekanisme pemilihan dan penentuan calon presiden serta menteri-menteri di kabinet pemerintahan pada praktik politik transaksional sebagaimana yang terjadi selama ini.

Jika kita ingin negeri ini berubah menjadi lebih baik, sebagai rakyat kita harus melakukan sesuatu yang berarti untuk bangsa dan negara ini. Bukan malah terus larut dalam hiruk pikuk dukung mendukung, lalu marah-marah karena calon yang kita dukung tidak memenuhi ekspektasi kita. Camkanlah! (*)
 

  • Bagikan