Mengenang Wagiono Sunarto, Begawan Seni Kontemporer Yang Membumi

  • Bagikan

JAKARTA (Waspada): Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) periode 2009-2013-2016, Wagiono Sunarto, Kamis (13/1) meninggal dunia dalam usia 72 tahun. Kepergiannya menyisakan duka bagi segenap sivitas akademika, seperti yang diungkap dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) IKJ, Anindyo Widito.

“Di mata saya hanya ada 3 kata yang cocok buat Mas Gion, yaitu, humble, funny and smart. Beliau patut dijuluki begawan seni kontempoter, tapi sosoknya sangat dekat dengan mahasiswa dan sesama dosen. Bahkan mahasiswanyapun tak segan menyapanya dengan ‘mas Gion’. Sangat baik, senang berbagi dan tidak pelit ilmu,” ujar Anindyo Widito yang akrab disapa Dito, memulai bincang-bincang seputar sosok Wagiono, Senin (17/1).

Tidak banyak orang tahu kalau Wagiono adalah salah seorang yang terlibat dalam Gerakan Seni Rupa Baru di tahun 1975. GSRB adalah salah satu tonggak sejarah berkembangnya seni rupa kontemporer di Indonesia.

“Meski ada dalam catatan sejarah, tapi Mas Gion tetap sosok sederhana yang tetap menghargai koleganya, siapapun dia,” kenang Dito.

Wagiono Sunarto, demikian nama lengkapnya, adalah seorang pendidik dan praktisi seni yang mempunyai peran besar dalam mengembangkan Program Studi Desain Komunikasi Visual di FSRD IKJ.

Bersama S. Prinka, kakak kelasnya di FSRD ITB, yang lebih dulu mengajar di LPKJ, mas Gion membentuk bidang studi Desain Grafis di tahun 1977. Setahun kemudian, tahun 1978, turut bergabung Priyanto Sunarto, kakak aslinya mas Gion. Trio inilah yang mengembangkan dan mematangkan program pendidikan yang sekarang menjadi Program Studio Desain Komunikasi Visual FSRD IKJ.

Jenjang karir akademik Wagiono di IKJ dilewati bertahap dan panjang. Menjadi dosen, kemudian kemudian menjadi Ketua Studio Desain Grafis, Pembantu Dekan I, Dekan FSR IKJ selama dua periode, Wakil Rektor Bidang II (Akademik), sampai akhirnya menjadi Rektor IKJ selama dua periode (2009-2013; 2013-2016). Selain itu, Wagiono turut membidani pendirian Pasca Sarjana IKJ berbasis urban di tahun 2005 dan sempat menjabat sebagai Direktur Pasca Sarjana selama dua tahun.

Selain gelar sarjana FSRD ITB pada tahun 1975, DR. Wagiono Sunarto, M.Sc menyelesaikan studi Communication Design di Pratt Institute New York, Amerika tahun 1983, kemudian menyelesaikan disertasi (Program Doktoral) Bidang Sejarah di Universitas Indonesia (UI).

Lahir di Bandung 20 Mei 1949, besar di Jakarta. Sejak kecil Wagiono sudah senang dengan dunia gambar menggambar.

“Saat SMP, mas Gion belajar menggambar di Sanggar Pak Ooq yang sering mengisi program acara menggambar di TVRI,” ujar Dito.

Masuk ke Departemen Seni Rupa ITB di tahun 1969. Bersama Jim Supangkat, Djojo Gozali, Bambang Prasetyo, membidani lahirnya kegiatan Pasar Seni Rupa ITB yang dilakukan secara rutin sampai saat ini.

Dalam mengajar, selain materi yang menjadi standar pembelajaran, Wagiono banyak memasukkan hal-hal yang terkait dengan pekerjaannya sebagai seorang professional untuk menjadi bahan studi. Dengan demikian, banyak hal yang menarik untuk dibahas dan dikembangkan sebagai studi kasus dalam ilmu komunikasi visual.

Wagiono menyadari bahwa ilmu komunikasi visual selalu berkembang terus terkait dengan situasi dan kondisi di masyarakat. Dengan demikian, mahasiswa dapat terus mendapatkan data up to date. Bahkan seringkali mahasiswa dilibatkan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh mas Gion.

“Ini sekaligus menjadi sarana praktik langsung dalam materi pembelajaran. Ini juga yang menjadikan mas Gion sangat dekat dekat mahasiswanya, ruang komunikasi yang dibangun tidak hanya di pendidikan formal, tapi bisa juga terjadi dalam pekerjaan dan ruang informal,”imbuh Dito.

Sebagai seorang profesional, Wagiono sudah banyak menghasilkan pekerjaan yang berhubungan dengan keahliannya, antara lain penanganan rancang desain informasi di Museum Olah Raga TMII (1989), Museum Lemigas (1989), Anjungan DKI Jakarta, Pameran Produksi Indonesia (tahun 1995 dan 2003), Paviliun Indonesia di EXPO Aichi, Jepang (2005), Paviliun Indonesia untuk EXPO Saragoza, Spanyol (2008), display pameran di Museum Asia Afrika di Bandung, dan Museum Provinsi Sumatera Utara.

Selain itu, Wagiono juga mengembangkan keahlian menggambarnya ke animasi. Sejak 1975, Wagiono berprofesi sebagai animator di beberapa perusahaan, seperti Anima Indah Jakarta, Pasutama Indah Jakarta, Nusa Anima Film.

“Sampai akhir hayatnya, mas Gion berkeinginan untuk terus mengembangkan animasi yang menurutnya berpotensi sebagai industri. Ditambah perkembangan teknologi komunikasi digital, yang memungkinkan proses kerja animasi dapat lebih berkembang,”pungkas Dito.

Dito pribadi mengaku sangat mengagumi sosok Wagiono. Sempat menimba ilmu dari sosok Wagiono, Dito yakin bakal lahir kembali tokoh sekaliber Wagiono di dunia desain dan seni kontemporer Tanah Air.

Editor: Dian Warastuti
  • Bagikan