Menag

  • Bagikan

KALAU saja syahwat ingin mengaturnya tak kelewat besar, tentu saja Menag yang satu ini tak harus menanggung hujatan orang se-republik. Pun kalau dia bisa lebih cerdas memilih diksi, tak akan dia menjadi bahan cemoohan dan dibully habis-habisan oleh oleh nitizen.

Tapi apa boleh buat, yang ke luar dari mulutnya sudah menjadi cermin kualitas dirinya. Tapi blunder Yaqut hanyalah eskalasi belaka. Sejak 2019 bangsa ini memang terus menerus disuguhi narasi demokrasi yang membuat kehidupan berbangsa panas dingin. Sebelum gongongan anjing itu, ada narasi yang terkesan lebih heroik namun membuat gaduh. Salah satunya terkait jargon “Saya Indonesia, Saya Pancasila.”

Sampai hari ini jargon itu hilir mudik di ruang publik hingga mengundang perdebatan dan merenggangkan hubungan sesama anak bangsa. Kesannya, seolah dengan menyatakan saya Indonesia saya Pancasila, hanya “sayalah” disini yang Indonesia dan yang Pancasila, sedang “engkau” disana tidak Indonesia dan tidak Pancasila.

Semangatnya mungkin saja baik. Tapi jargon “saya Indonesia, saya Pancasila” itu menjadi tidak pas karena kalimat itu justru menegaskan ada garis demarkasi antara kami di sini yang Indonesia dan Pancasila, dengan kalian di sana yang entah apa pula sebutannya.   

Apalagi dampak ikutan dari jargon itu menyinggung banyak hal. Ya toleransi, ya kepedulian, ya persatuan. Muncullah kemudian pernyataan-pernyataan yang dikhotomis dan kebablasan. Salah satunya adalah apa yang dinyatakan Menag itu. Yang, demi dan atas nama toleransi, tega-teganya menganalogikan adzan dengan gongongan anjing.

Pertanyaannya; mengapa akhir-akhir ini para elit suka sekali mendikhotomi? Pasti ada alasannya meski kita tak paham apa maksudnya. Termasuk soal penggunaan narasi “Saya Indonesia, Saya Pancasila” ketimbang “Kita Indonesia, Kita Pancasila.”

Tapi sudahlah. Semoga tak ada maksud apapun dari narasi dan jargon-jargon dikhotomis itu. Dari ujaran-ujaran pejabat negara yang suka bikin heboh itu. Kecuali mungkin sekedar dorongan agar enak diucapkan saja. Atau mungkin sekedar menunjukkan perbedaan pilihan politik belaka. Dus, bukan kesengajaan untuk membuat garis batas antara kami di sini dan kalian di sana.

Sejatinya, setelah 76 tahun merdeka, semua yang terkait Indonesia adalah kita. Semua yang berhubungan dengan Pancasila adalah kita. Dinamika apapun yang terjadi dalam kehidupan sosial politik Indonesia, tidak boleh mendelegitimasi fakta ini, baik secara historis dan lebih-lebih secara konstitusional.

Bahwa kemerdekaan Republik Indonesia sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa belum bisa memberi nikmat yang sama pada semua orang, hal itu tidak boleh menafikan fakta-fakta sejarah atas pondamen dasar lahir dan dibangunnya negara ini.

Bahwa sebagian orang sudah menikmati kemerdekaan dengan penuh sukacita, sedang sebagian yang lain masih merasa kemerdekaan adalah perjuangan hidup yang entah kapan akan berakhir, itu juga realita yang tak boleh menghapus semangat kebangsaan kita.

Memang, seringkali buah kemerdekaan yang berbeda itu telah mempengaruhi dinamika kehidupan berbangsa baik dalam skala global, regional maupun nasional. Bahkan dalam banyak kasus, semangat kebangsaan, persatuan dan persaudaraan anak bangsa mulai kehilangan kekuatannya akibat perbedaan itu. Apalagi reformasi tidak memiliki cukup wibawa untuk membawa obor penerang bagi ratusan juta penduduk Indonesia yang belum merasakan kemerdekaan tersebut.

Tapi situasi itu tidak berarti kita harus terus membuat garis demarkasi. Mendikhotomi saya di sini dan kamu di sana. Maka jargon heroik “Saya Indonesia, Saya Pancasila” itu mestinya mendapat ruang implementasinya yang pas, bukan sekedar memenuhi syahwat politik belaka.

“Saya Indonesia, Saya Pancasila” harusnya menjadi lantasan untuk bertindak adil dan bijaksana ketika kemiskinan dan pengangguran terus membengkak jumlahnya, ketika perilaku seks menyimpang merajalela, ketika praktik korupsi, kolusi dan nepotisme berlangsung tanpa kendali. Tapi sayangnya jargon “Saya Indonesia, Saya Pancasila” hanya gagah di laman media sosial belaka.

Jadi, hentikanlah narasi dengan diksi “bodoh” seperti yang dinyatakan Menag itu.  Sebab kita tidak akan bisa membuat Indonesia menjadi bangsa dan negara yang kuat jika kita   terus bertikai dan bersilang pendapat.

Ingatlah, apapun tantangannya, menjaga, membangun dan merawat Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan bermartabat adalah tanggungjawab sejarah kita semua sebagai anak bangsa. Begitulah! (*)

  • Bagikan