Memilih Pemimpin

  • Bagikan



DUA tahun lagi bangsa ini akan memilih pemimpin baru. Beda dengan tahun-tahun sebelumnya, 2024 nanti pemilihan para pemimpin itu akan dilakukan secara serentak.

Presiden, wakil presiden, DPR, DPRD dan DPD. Delain pemilihan serentak itu bisa menghemat biaya, bisa pula menghasilkan pemimpin negara yang lebih baik. Itu harapannya.

Bisakah harapanitu diwujudkan? Tunggu dulu. Meski dimaksudkan untuk penghematan, pemilu serentak tetap saja menghabiskan anggaran triliunan rupiah. Sedangkan soal didapatnya pemimpin yang lebih baik, ini juga masih sangat debatable.

Ada pelajaran penting dari proses pemilu 2019. Partai Politik, dengan segala dinamika dan kewenangan electoral theresold yang dimilikinya, telah membuktikan pada bangsa ini betapa proses memilih pemimpin itu tak akan pernah bisa memuaskan semua pihak.

Dalam soal rekrutmen pemimpin itu, apa yang terjadi pada pemilu 2019 adalah contoh bagaimana semua argumen, teori akademis dan analisa politik telah dipatahkan.

Tahun 2014, saat Pilpres berlangsung dan Jokowi terpilih menjadi Presiden, semua orang seolah bersepakat bahwa cara-cara rekrutmen  kepemimpinan nasional yang dilakukan secara konvensional, sudah saatnya ditinggalkan.

Semua orang, kala itu, seakan setuju bahwa pola rekruitmen yang terkesan “merampok” kedaulatan rakyat oleh elit partai politik, harus benar-benar disingkirkan. Sebab pola itu bukan saja sarat dengan kepentingan politik sesaat, tapi seringkali tak memunculkan figur pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat.

Budayawan Radar Panca Dahana  (alm) bahkan menyebut, pada 2014 Jokowi berada pada posisi sebagai ujicoba atau semacam testing the water untuk membaca potensi kepemimpinan di Indonesia. Hal senada diungkapkan oleh pengamat politik dari Indonesian Institute, Hanta Yudha. Menurutnya, pelajaran politik dari tampilnya Jokowi adalah munculnya alternatif pemimpin baru.

Namun pola rekruitmen yang memberi ruang bagi kehendak arus bawah ternyata tak pernah benar-benar dilakukan. Peran partai politik dalam menentukan pemimpin baik di eksekutif apalagi legislatif masih sangat dominan. Jokowi hanya menjadi sekedar “pengecualian” belaka.

Pasca Pilpres 2014, rekruitmen kepemimpinan kembali ke wujud aslinya. Yakni kepada dominasi dan kuasa tunggal elit Partai Politik. Rekrutmen calon presiden, anggota parlemen hingga kepala daerah pada Pemilu 2019 membuktikannya.

Para elit partai politik di negeri ini ternyata tidak legowo dan tidak ikhlas menyerahkan proses rekrutmen itu pada kehendak rakyat. Maraknya rumors tentang “mahar” politik yang diminta sejumlah partai terhadap calon kepala daerah, membenarkan anggapan ini.

Rakyat sebenarnya sangat menginginkan adanya perubahan dalam rekruitmen kepemimpinan di semua tingkatan. Namun keinginan itu rupanya masih membutuhkan waktu lama untuk terwujud. 

Sebab kehadiran pemimpin yang siap bekerja keras dan paham karakter masyarakat di daerah yang akan dipimpinnya, ternyata bukan syarat penting bagi elit partai politik. Kasus Pilkada Sumut pasca pemilu 2014 yang menghadirkan tiga pasangan calon, adalah contoh kasus menarik soal ini. Satu pasangan calon yang diusung elit partai, bahkan tak pernah diperkirakan para analis akan menjadi calon kepala daerah di propinsi ini.

Maka saya semakin yakin partai politik memang tidak memberi “manfaat” apapun bagi rakyat kecuali untuk dirinya sendiri. Ketika pengungsian akibat bencana alam terjadi dimana-mana, ketika kemelaratan dan pengangguran merajalela, ketika harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, ketika praktek korupsi, kolusi dan nepotisme berlangsung tanpa kendali, partai politik justru tak memberi sosok calon pemimpin yang siap menjadi solusi.

Tapi kita tak boleh pesimis. Sebab mempertahankan dan membangun keutuhan negara adalah tanggungjawab sejarah kita semua sebagai anak bangsa. Terlebih lagi pada saat negeri ini sedang menghadapi tantangan berat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan mendasar yang dihadapinya, baik permasalahan yang sudah ada sejak lama maupun yang baru tumbuh pasca reformasi 1998.

Dalam konteks itulah, apapun keadaannya, bagaimanapun wajah dan perilaku pemimpin yang nanti disodorkan pada kita, semangat kebangsaan itu, solidaritas dan persatuan itu, tetaplah harus kita jaga dan pelihara. Tinggal terpulang pada kita bagaimana memilih dan memilahnya. Begitulah! (*) 

  • Bagikan