Korupsi Lagi

  • Bagikan

WALI KOTA Bekasi ditangkap KPK. Miliaran uang disita dari rumahnya. Bersama 12 orang lainnya, wali kota itu digiring ke ruang tahanan komisi anti rasuah justru jelang akhir masa jabatannya. Duh!

Sebelumnya, sudah ratusan pejabat negara yang dicokok KPK. Dari anggota DPR, Hakim, Jaksa, Bupati, Wali Kota, Gubernur, Dirjen bahkan Menteri. Anehnya tetap saja tak ada efek jera. Luar biasa!

Padahal semua orang tau korupsi itu jahat, merusak tatanan peradaban dan sangat merugikan. Pelakunya mungkin saja bisa bersenang-senang menikmati hasil korupsi yang ia lakukan. Tapi korbannya; bisa individu, perusahaan, orang banyak bahkan negara, sangat dirugikan.

Apa yang semestinya menjadi hak orang banyak dan bisa dinikmati bersama-sama, justru hanya dinikmati oleh seseorang atau sekelompok orang karena korupsi yang dilakukannya.

Di negeri ini korupsi memang telah mendarah daging. Itulah sebabnya korupsi tak bisa lagi sekedar dianggap kejahatan yang luar biasa. Korupsi adalah juga kejahatan atas kemanusiaan. Maka tindakan hukum yang dikenakan kepada para pelakunya, harusnya super luar biasa juga.

Hukuman terhadap pelaku korupsi tak boleh lagi hanya untuk menimbulkan efek jera, tapi harus berdampak pada sanksi ekonomi dan sanksi sosial. Bisa berupa pemiskinan ekonomi hingga tujuh turunan maupun sanksi sosial berupa pengucilan yang berkelanjutan.

Prof. Miriam Budiardjo pernah menyebut, dalam hal penegakan hukum, negara manapun di dunia ini memang mengakui adanya asas persamaan di depan hukum atau Equality Before The Law. Di Indonesia hal itu bahkan dicantumkan dalam Pasal 27 Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi; “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Namun terhadap kejahatan korupsi, azas Equality Before The Law tak bisa lagi dipakaikan. Terutama karena perilaku korupsi di negeri ini sudah demikian massif. Terjadi di semua lini kehidupan. Maka, terhadap pelaku korupsi, azas persamaan di depan hukum ini harus ditinjau kembali.

Apalagi, terhadap pelaku korupsi kita sering melihat landasan filosofis “Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” belum sepenuhnya bisa diwujudkan, meski payung hukum yang mendasari pencegahan dan pemberantasan korupsi itu sudah cukup banyak.

Sebagai rakyat seringkali kita harus mengelus dada setiap kali mendengar putusan Hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Satu perkara yang menurut masyarakat seharusnya dihukum berat, justru oleh hakim divonis ringan. Demikian sebaliknya.

Sebagai contoh, lihat saja vonis hakim terhadap Robert Tantular. Koruptor ini bersama dua warga negara asing pemilik Bank Century dengan leluasa mengecoh pemerintah hingga kebobolan Rp 6,7 triliun. Tapi oleh hakim justru hanya divonis 4 tahun yang kemudian ditambah setahun oleh Mahkamah Agung (MA).

“Padahal, kalau di negara lain, Robert Tantular itu bisa jadi dihukum mati atau setidaknya ratusan tahun kurungan badan,” kata pakar ekonomi, Kwik Kian Gie.

Maka, jika pemberantasan korupsi belum juga berhasil hingga hari ini, bukan hanya Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang harus diperkuat, tapi para hakim Tipikor yang menjadi penjaga gawang terakhir dari pemberantasan korupsi juga harus diperkuat.

Karena itu, munculnya wacana pembubaran KPK misalnya, bukan solusi dalam mengatasi persoalan korupsi yang semakin massif di negeri ini. Wacana pembubaran KPK itu justru menunjukkan langkah putus asa. Pun demikian bila muncul kesan peradilan Tipikor gagal menghukum dan membuat jera para koruptor, bukan peradilannya yang harus dibubarkan, tapi para hakimnya yang harus diperkuat.

Oleh sebab itu para pemangku kepentingan di negeri ini, baik di Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif harus kembali duduk satu meja demi merembugkan lagi arah dan tujuan dari pemberantasan korupsi di negeri ini.

Pemerintah, DPR dan Penegak Hukum harus berdialog dan memusyawarahkan kembali arah dan tujuan dari pemberantasan korupsi tersebut. Meneguhkan kembali kemana mata panah pemberantasan korupsi di negeri ini hendak diarahkan, dan berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk membersihkan negeri ini dari korupsi. Begitulah! (*)

  • Bagikan