Kekuasaan

  • Bagikan

 

“APAKAH kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?” 
(Bung Karno, Pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945)
 
Bung Karno pun membuktikan ucapannya itu ketika dia menghardik Amerika; “Go to Hell Your Aid”. Sayang, kekuasaan sesudahnya tak bisa setegas si Bung.

Kekuasaan sesudah Bung Karno bahkan suka berlebihan. Kapitalisme yang dikecam si Bung, hari ini malah merajalela. Kekuasaan itu malahan tak hanya mewujud dalam bentuk sebilah pedang, acapkali bahkan mempersonifikasikan dirinya sebagai kepanjangan tangan Tuhan. Para pencari kebenaran pun seringkali dipaksa bertekuk lutut oleh kekuasaan dari jenis makhluk yang sama dengan mereka; yakni si penguasa.

Tapi kekuasaan, di muka bumi ini, memang seringkali melebih-lebihkan dirinya hingga mengambil alih hak Tuhan. Karena itu, kekuasaan seringkali pula tak merasa perlu dukungan mayoritas jika dengan dukungan minoritas saja ia bisa melakukan apapun yang diinginkan. Tak aneh kalau kekuasaan menjadi buta, tuli dan kehilangan nilai humanisnya.

Sepanjang sejarah kehidupan, sudah terlalu banyak cerita tentang kekuasaan yang buta, tuli dan kehilangan nilai itu. Kekuasaan makhluk yang justru menjadi teror bagi makhluk lainnya. 

Dalam khazanah sufisme, Al Hallaj adalah contoh terunik dari wujud kekuasaan yang buta dan tuli. Al Hallaj dirajam dan dipancung meski sebagian dari para sufi koleganya, ragu-ragu dengan keputusan mereka. Sebab, bisakah pikiran dan keyakinan dihukum dan diadili?

Asy-Syibli contohnya. Kolega Hallaj ini sesungguhnya tak begitu yakin Al Hallaj bersalah. Tapi demi memenuhi hasrat kekuasaan, Syibli ikut melemparkan sekepal tanah ke wajah koleganya itu. Lemparan Syibli itu sontak membuat Hallaj mengeluh. 

“Aku tidak mengaduh karena lemparan batu dari orang-orang yang tidak mengetahui. Aku mengeluh karena sekepal tanah itu justru dilemparkan ke wajahku oleh Syibli, orang yang mengetahui,” ujar Hallaj.

Kisah Al Hallaj membuktikan, dalam setiap kali terjadi klaim yang berbeda atas kebenaran, maka para pemegang kekuasaanlah yang  memenangkan pertarungan.

Di negeri ini, “ijtihad ulama” dan ajakan kembali ke jalan kebenaran, malah seringkali diperangi karena dianggap “menyimpang” dari jalan kebenaran yang diyakini penguasa. 

Tak jarang, ketika ada seseorang atau sekumpulan orang mencoba berijtihad, memberi tafsir baru terhadap gejala buruk yang berlangsung dan berkembang dalam kehidupan bangsa dan negaranya, kekuasaan dalam berbagai tingkatan dan posisinya seringkali mengambil over upaya itu dengan memfait accomply duduk soalnya. Dan kekuasaan yang demikian itu seringkali tak membutuhkan argumen pembenar untuk setiap tindakan yang diambilnya.

Di negeri ini, dalam tingkat dan level yang berbeda-beda, wujud kekuasaan yang demikian masih terus berlangsung. Tak hanya di pusat pemerintahan negara, tapi juga di daerah-daerah. Pun tak hanya di lingkungan penyelenggara pemerintahan, tapi juga di lingkungan kehidupan masyarakat awam. 

Yang pasti, ketika kekuasaan telah mengunci pintu ijtihad dengan rapat, ketika pemegang otoritas kebenaran telah menutup jalan musyawarah dan mufakat, apalagi yang bisa kita harapkan?

Situasi bangsa kita hari ini tak jauh beda dari apa yang terjadi di masa Al Hallaj. Pidato Bung Karno yang saya kutip di atas, pun hanya tinggal menjadi catatan kosong belaka. Kondisi ini membawa saya tiba-tiba teringat pada Khalil Gibran, sastrawan besar yang lahir di Libanon (1883) ketika dia berkata: 

“Betapa kasihan bangsa yang mengenakan pakaian tetapi tidak ditenunnya sendiri; memakan roti dari gandum yang tidak ia panen sendiri, dan meminum susu yang ia tidak memerasnya sendiri. Kasihan bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.  Ah…..! (*)
 

  • Bagikan