Jangan Tertipu Airmata

  • Bagikan

JIKA hati tak lagi kuat memikul beban duka, menangislah. Sejarah umat manusia penuh dengan kisah-kisah penuh airmata itu. Rama dan Sinta, Romeo dan Juliet, Qais dan Laila, dan banyak lagi.

Kata orang, senjata paling ampuh di dunia adalah airmata. Bahkan tangis dan airmata telah menjadi ritus sakti sepanjang abad. Tak hanya dalam drama, tapi juga dalam kisah nyata. Tangis dan airmata menjadi pernyataan paling tegas tentang duka lara jiwa. Sayangnya, tangis dan airmata sering juga jadi alat untuk memperdaya.

Masih segar dalam ingatan ketika tahun 2016 seorang tersangka penista agama diajukan ke sidang pengadilan. Di depan majelis hakim, orang itu membacakan nota pembelaannya sambil menangis. Lalu di media sosial bertebaran foto tentang seorang perempuan berjilbab yang memeluk si tersangka. Adegan itu terasa haru dan menggetarkan jiwa!

Lalu muncul beragam tanggapan dan komentar. Salah satunya dari seorang perempuan yang dulu sangat dikenal sebagai Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Atas persidangan si penista agama itu,  perempuan tersebut menulis; “Jakarta menangis, Indonesia menangis. Salah satu putra terbaiknya diadili dengan tuduhan penistaan agama. Energi yang percuma untuk menyelesaikan masalah bangsa. Doa rakyat untuk BTP.” Weleh. Putra terbaik?

Jika tak paham persoalan, kita akan hanyut dengan narasi seperti itu. Siapa pula yang menangis? Kecuali si penista agama, tak ada seorang pun di negeri ini yang menangis atas persidangan itu. Apalagi umat Islam.

Tapi ada satu hal yang menarik dari rentetan peristiwa tentang si penista itu. Betapa di negeri ini, di era kebebasan informasi ini, sebuah peristiwa bisa tiba-tiba saja menjadi viral dan memancing perdebatan hingga saling klaim. Lalu udara republik pun menjadi hiruk pikuk oleh klaim setiap orang, bisa siapa saja, tentang kebenaran dan kebohongan.

Komentar ibu yang disebarkan di media sosial itu adalah salah satunya. Komentar ibu itu tentu saja menambah parah luka yang sudah digoreskan si penista agama tersebut. Apalagi klaim atas kebenaran dan kebohongan itu bukan saja membuat rakyat semakin terperosok pada perdebatan tak perlu tentang “kalian salah dan kami benar”, tapi juga menyeret umat Islam jadi kehilangan respek pada siapapun yang membela si penista itu.

Tangis dan airmata memang bisa meluluhkan hati siapa saja. Tapi tangis dan airmata itu tak bisa mendegradasi kebenaran.

Pertanyaannya sekarang; siapakah sesungguhnya yang berhak menentukan kebenaran di negeri ini? Apa landasan kebenaran yang harus dipakaikan pada setiap warga bangsa di republik ini? Jika hukum landasannya, kenapa banyak penista agama dibiarkan bebas melenggang?

Pertanyaan di atas bisa jadi akumulasi kekecewaan setelah menyaksikan betapa di republik ini, sejak beberapa tahun terakhir, hampir setiap hari rakyat disuguhi banyak sekali klaim kebenaran melalui media mainstrem maupun media sosial.

Klaim itu bahkan telah menempatkan setiap orang merasa dialah yang paling benar. Pemerintah berdiri tegar dengan klaim kebenarannya sendiri. Anggota parlemen berdiri kokoh dengan klaim kebenarannya sendiri. Para elite politik, kelompok-kelompok Ormas, LSM, pengamat dan akademisi, juga berdiri angkuh dengan klaim kebenarannya sendiri-sendiri.

Klaim atas kebenaran itu, pada perkembangannya ditingkahi pula dengan klaim atas kebohongan. Klaim kebohongan ini bahkan berseliweran tak terkendali dan menuding kesana-kemari. Mendegradasi, mendelegitimasi dan meruntuhkan martabat dan harga diri.

Tragisnya, di tengah situasi yang hiruk pikuk atas klaim kebenaran dan kebohongan itu, entah kenapa aturan perundang-undangan, pasal-pasal hukum, penjelasan agama dan etika sosial tak mampu berbuat apa-apa.

Sebagai rakyat, saya sangat berharap seorang Presiden, sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, berkenan memberi solusi atas simpang siur klaim-klaim itu. Tentunya selama Presiden tidak justru ikut-ikutan terlibat dan larut dalam pusaran arus klaim kebenaran dan kebohongan tersebut.

Maka, sebelum tahun berganti, marilah kita hentikan semua klaim kebenaran dan kebohongan itu. Bukan saja agar perjuangan kemerdekaan bapak dan ibu kita dulu tidak sia-sia, tapi juga agar azab dan bencana tak terus menerus menimpa negeri kita.

Bapak Presiden, segeralah hunus pedang kebenaran yang hakiki sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab dulu menghunus pedang kebenarannya. Pedang kebenaran yang meluruskan setiap kebohongan yang terjadi. Tak peduli apakah pedang kebenaran itu harus menghantam diri, keluarga dan kolega sendiri.

Ayolah, Pak. Jangan lemah hanya karena ada sejumlah orang yang tiba-tiba menangis dan berurai airmata buaya…! (*)

  • Bagikan