Desember Kopi Gayo: Jangan Biarkan Fikar Sendiri

  • Bagikan

BAHWA alam Gayo itu subur makmur, semua orang sudah tau. Yang tak banyak orang tau adalah, bumi Gayo itu menyimpan begitu banyak rahasia, baik budaya, kekayaan alam maupun sejarah.

Maka, lepas dari sikap hidup yang diemban masing-masing penghuni tanah Gayo, alam eksotis dan kekayaan budaya Gayo adalah lembar kitab yang tak menjemukan untuk terus digali dan dieksplorasi. Semakin kita coba menyelaminya, otak dan jiwa kita akan dihadapkan pada sesuatu yang berbeda dan penuh rahasia.

Kesan itulah yang tertanam kuat ketika untuk kedua kalinya acara Desember Kopi Gayo 2021 digelar selama empat hari sejak 15 hingga 18 Desember 2021.

Bersama sejumlah sastrawan dan pencinta sastra yang bergabung di Forum Sastrawan Deliserdang (Fosad), kami tiba di Kampung Paya Tumpi Baru lalu menyusuri jejak sejarah masa lalu orang Gayo di Loyang (Gua) Mendale.

Perjalanan lanjut ke Loyang Putri Pukes, mendaki puncak Bur (Gunung) Telege, berbincang mesra dengan sastrawan asal Gayo, LK Ara di Pegasing dan akhirnya turun ke lembah penuh hamparan sawah menghijau di desa wisata Kuyun Lues, Cilala.

Inilah perjalanan budaya yang memberi nikmat tak terhingga selama empat hari di bumi Gayo, Takengon. Meski melelahkan, tapi semuanya terbayar dengan keramahtamahan alam Gayo dan sinergitas yang terbangun di antara para seniman yang hadir. Semua acara Desember Kopi Gayo 2021 berjalan dalam suasana penuh keakraban walau dalam beberapa kesempatan hujan yang turun akrab  menyapa.

Desember Kopi Gayo 2021 dimulai dengan Sarasehan dan Deklarasi para Reje (Kepala Kampung) Paya Tumpi Kecamatan Kebayakan. Menurut Fikar W Eda, inisiator kegiatan Desember Kopi Gayo, kegiatan ini merupakan dukungan para seniman untuk pariwisata berbasis adat, budaya dan pertanian di Tanah Gayo, Takengon.

Fikar, yang merupakan salah seorang penyair nasional asal tanah Gayo, menyebut; “Desember mengirimkan hujan dan panen kopi. Kami memainkan musik, tari dan puisi.” Maka Desember Kopi Gayo pun mengalir dalam alunan musik Didong, gemulai tari Guel dan hentak lantang para pembaca puisi yang datang dari berbagai kota seperti Banda Aceh, Bireun, Medan, Deliserdang, Jakarta dan Bali.

Tahun ini, kegiatan yang sudah berlangsung sejak tahun 2016 tersebut ditutup dengan serangkaian prosesi formal berupa pertunjukan seni dan penyerahan bantuan untuk petani di Desa Wisata Kuyun Lues, Cilala.

Potensi Budaya

Tanah Gayo adalah kepingan surga di bumi Serambi Mekah. Tak hanya karena kekayaan alamnya, tapi juga karena sejarah dan potensi budayanya. Penggalian arkeologi di Ceruk Mendale oleh Balai Arkeologi Sumut yang dipimpin Dr. Ketut Wiradnyana membuktikannya.

Disebutkan, temuan di Loyang Mendale lebih tua dari temuan yang ada di Sulawesi dan Kalimantan. Bahkan temuan itu sama tuanya dengan yang ditemukan di Taiwan. Usianya 800 tahun lebih. Menurut Fikar, temuan itu sekaligus menunjukkan tidak ada kasus Stunting (kekurangan gizi) di Takengon karena orang Gayo masa lalu sudah sangat sejahtera.

Potensi budaya itu bisa pula dilihat dari bahasa orang Gayo. Bahasa Gayo adalah  turunan dari bahasa Austronesia. Penelitian Dr. Dardanella dari USU menemukan setidaknya ada 200 kosakata Gayo yang berasal dari turunan bahasa Proto Austronesia.

Besarnya potensi tanah Gayo itu mendorong Tengku Ahmad Dadek, Kepala Bappeda Aceh, menghimbau para Reje (Kepala Kampung) membangun tanah Gayo sesuai dengan apa yang dilihat dan diinginkan rakyat. “Soal mau diarahkan kemana pembangunan itu, tentu membutuhkan masukan dari para ahli,” katanya.

Karena itulah Ahmad Dadek berharap acara Desember Kopi Gayo bisa menjadi agenda tahunan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. “Kegiatan seperti ini harus dilembagakan. Kalau jelas agendanya, pasti kita dukung,” ujarnya.

Menyahuti himbauan itu, dalam sarasehan dengan para Reje di Kampung Paya Tumpi Baru, Fachrurozi, dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh menyebut, hendaknya di Paya Tumpi ada lahan percontohan tanaman kopi organik. “Hal ini penting karena sejak beberapa waktu lalu Kopi Gayo dihantam isu kopi non organik. “Kopi yang mengandung pestisida, racun,” katanya.

Sejatinya, melalui kegiatan seperti Desember Kopi Gayo inilah pemerintah Aceh, kata Fachrurozi, mengembalikan citra kopi Gayo berbasis organik itu. “Demikian juga halnya dengan tembakau. Aktivitas perajin cerutu Gayo bisa menjadi destinasi wisata,” katanya.

Perlu Keterbukaan

Apapun itu, hasrat untuk membangun Tanah Gayo sebagai daerah wisata berbasis budaya, sejarah dan pertanian, sangat membutuhkan keterbukaan dan dukungan dari berbagai pihak. Tidak hanya dukungan moral, tapi juga material. Bila melihat potensinya, bumi Gayo memang tak hanya bisa menjadi daerah wisata budaya dan sejarah, tapi juga wisata alam dan perkebunan.

Macam-macam komoditi perkebunan dan pertanian seperti kopi, lada, tembakau serta bermacam-macam jenis sayur mayur bisa tumbuh di tanah Gayo. Tentu saja harus ada koordinasi dan kesamaan pandangan dari semua pihak. Termasuk adanya sinergi program dari desa, kabupaten, provinsi hingga pemerintah pusat.

Yang lebih penting dari semua itu adalah; jangan biarkan orang-orang kreatif seperti Fikar W Eda bekerja sendiri. Dia harus didukung penuh oleh aparatur birokrasi di semua tingkatan demi mewujudkan hasrat menjadikan Bumi Gayo sebagai daerah wisata budaya dan sejarah sebagaimana yang diinginkan.

Temuan Balai arkeologi Sumatera Utara seperti yang dipaparkan dalam dialog Gayo Pra Sejarah pada Jum’at pekan lalu, adalah bukti nyata akan potensi itu. Untuk diketahui, dialog itu sendiri merupakan rangkaian dari kegiatan Desember Kopi Gayo 2021 yang diinisiasi Fikar W Eda dan kawan-kawan.

Dalam dialog tersebut sejumlah pakar hadir untuk membahas temuan arkeologi di Loyang Mendale dari berbagai sisi. Tak hanya dari sisi arkeologi, tapi juga arsitektur, bahasa, motif-motif lukisan dan adat istiadat nenek moyang orang Gayo masa lalu.

Semua temuan itu adalah kajian menarik yang terbuka untuk terus ditelusuri. Dan Fikar bersama kawan-kawan seniman Tanah Gayo, telah membuka ruang lebih besar bagi peradaban orang Gayo masa lalu untuk lebih dikenal secara luas. Tidak hanya oleh masyarakat Indonesia, tapi juga oleh warga dunia.

Karena itu, sebagai etalase untuk lebih mengenalkan potensi Gayo ke masyarakat dunia, kegiatan Desember Kopi Gayo tak boleh berhenti. Kegiatan ini harus terus dilakukan, apapun kendala yang mungkin menghadang. Syaratnya, tentu saja, jangan biarkan Fikar W Eda bekerja sendiri. Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah harus siap membuka diri. Bupati Aceh Tengah jangan malu dan gengsi untuk berkolaborasi dengan para seniman, khususnya mereka yang lahir dan besar di tanah Gayo.

Orang-orang kreatif seperti Fikar W Eda harusnya dirangkul. Difasilitasi. Didukung sepenuh hati. Bukan malah sebaliknya, dijauhi dan dimusuhi. Ingatlah, tidak ada satu kota pun yang maju peradabannya jika program pembangunan yang dijalankan pemerintahnya meninggalkan seniman dan budayawannya. Camkanlah! (*)

  • Bagikan