Derita Pribumi

  • Bagikan



 
Indonesia itu, katanya, penghasil Sawit terbesar di dunia. Nyatanya minyak goreng langka dan harganya melambung tinggi. Rakyat di negeri subur ini, yang hidup di atas bumi zamrud khatulistiwa, kini pun merana.

Hebatnya, berjuta-juta hektar perkebunan sawit itu tetap terbentang luas dari Kalimantan hingga Sumatera, tapi entah untuk siapa.
Di pulau-pulau nusantara, sawah dan ladang memang masih membentang luas. Tapi kebutuhan pangan rakyat terus juga diimpor dari mancanegara. Beras, gula, garam, kedele, bawang, bahkan singkong pun didatangkan dari negara tetangga.

Entah dimana salah urusnya hingga negeri subur makmur dengan 17.499 pulau besar dan kecil yang membentang seluas 8.300.000 km2 dari Sabang sampai Papua ini, kok tak bisa memenuhi kebutuhan 274 juta penduduknya.
Menyaksikan ketidakberdayaan rakyat Indonesia itu, saya tiba-tiba teringat van den Brand ketika advocat Belanda ini, puluhan tahun lalu, menorehkan derita pribumi dalam risalah yang ditulisnya; “De Millioenen uit Deli” yang menghebohkan itu.

Bahkan Madelon Szekely-Lulofs dalam “Kuli” dan “BerpacuNasib di Kebun Karet” menyebutnya sebagai penderitaan pribumi yang akut. Lebih menyayat lagi, Edward Dowwes Dekker dalam “Max Havelaar” menyebutnya sebagai penindasan berkelanjutan.

Dulu, para humanis Belanda itu bahkan bukan sekali dua mengungkapkan derita pribumi Indonesia di bawah penjajahan bangsa asing. Sialnya, empati terhadap penderitaan pribumi melalui pena para penulis itu, ternyata tak berpengaruh besar terhadap eksistensi pribumi Indonesia, bahkan setelah Indonesia merdeka.

Rakyat pribumi tetap saja menjadi orang yang terpinggirkan, terkalahkan dan terabaikan. Sampai hari ini mereka hanya dibutuhkan saat para politisi membutuhkan suaranya untuk merebut jabatan. Setelah itu, pribumi tetap diabaikan.  

Apa pasal? Bisa jadi karena tak banyak politikus, pejabat publik maupun aparatur negara di republik ini yang membaca Lulofs, van den Brand atau Dowwes Dekker.
Fakta menunjukkan, walau sudah lebih 76 tahun merdeka, penderitaan pribumi itu masih saja terjadi.

Wujudnya memang tidak lagi dalam bentuk kerja paksa dan pecutan cambuk tuan mandor di onderneming-onderneming, tapi bisa berupa penggusuran paksa, upah murah, harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, ketiadaan lahan untuk rumah tinggal, bentakan Satpol PP dan macam-macam bentuk arogansi kekuasaan.

Lihatlah bagaimana penduduk pribumi di berbagai daerah harus tersingkir oleh dan atas nama ambisi pembangunan para pejabatnya. Lihat pula bagaimana para petani dalam komunitas adat dan ulayat di berbagai daerah, tergusur oleh monopoli beribu-ribu hektar lahan yang dikuasai perusahaan perkebunan, baik atas nama negara atau bahkan swasta.

Lihat pula bagaimana jutaan pribumi yang berstatus buruh, tenaganya dibayar dengan sangat murah di pabrik-pabrik milik orang asing. Lihat juga bagaimana kekayaan bumi Papua, Aceh, Sumatera, Kalimantan, dikeruk habis-habisan sementara mayoritas pribumi di wilayah itu tetap saja miskin dan papa.

Kemerdekaan ternyata belum sepenuhnya membebaskan pribumi Indonesia dari penderitaan. Tujuhpuluh enam tahun lebih sudah merdeka, namun penderitaan itu masih saja ada. Ironisnya, orang-orang yang mencoba membebaskan warga pribumi itu dari penderitaan, seringkali justru disalahtafsiri lalu disingkirkan.

Di masa lalu, hal itu jugalah yang terjadi. Tahun 1902, sebagaimana diberitakan Harian Sumatera Post edisi 28 Februari 1902, van den Brand bahkan diusir dari komunitasnya sebagai warga Belanda dan disingkirkan dari pergaulannya sebagai pengacara. Ini buntut dari brosur “De Millioenen uit Deli” yang ditulisnya.

Pola tindakan yang dikenakan pada van den Brand itu rupanya menjadi warisan abadi bagi bangsa ini, bahkan setelah bangsa ini menyatakan kemerdekaannya. Jadi tak usah heran jika ada pejuang kemanusiaan yang mencoba mengangkat penderitaan pribumi, justru bernasib sama dengan Brand. Syukur kalau hanya disingkirkan. Tak jarang malah para pejuang pribumi itu  dimatikan. Marsinah dan Munir adalah contohnya.

Medelin Lulofs dalam novel “Berpacu Nasib di Kebun Karet” dan “Kuli” dengan gamblang telah mengisahkan nasib buruk bangsa pribumi di kurun waktu 1920-1930-an. Kedua novel ini adalah bagian dari berlaksa derita bangsa pribumi Indonesia di masa lalu yang seharusnya menjadi pelajaran.

Tapi, entah mengapa, derita yang semestinya hanya untuk dikenang itu, hingga kini masih saja terjadi.

Ironis memang. Walau masa Lulofs sudah
berpuluh tahun berlalu, namun praktik penghisapan manusia atas manusia, homo homini lupus, penindasan yang dikordinasikan atas nama kemajuan peradaban, tetap saja terjadi. Berlangsung tanpa malu-malu dan rasa sungkan.

Sedih melihat bagaimana orang-orang asing di negeri ini, baik yang sudah berstatus WNI maupun yang masih WNA, atas nama investasi, hidup bermewah-mewah di atas praktik penghisapan dan penindasan itu. Tragisnya, mereka menikmati penindasan itu sambil berteriak-teriak ke seluruh dunia tentang keadilan dan demokrasi. Ah…..(*)
 

  • Bagikan