Biaya Pemilu

  • Bagikan

UNTUK sebuah pesta demokrasi bernama pemilu, angka Rp 110 Triliun itu memang tidak kecil. Mantan Menko Perekonomian RI, Dr. Rizal Ramli bahkan menyebut biaya Pemilu dan Pilkada serentak 2024 yang diperkirakan mencapai  Rp 110 triliun itu sangat besar.

Pertanyaannya; “Apakah biaya sebesar itu akan menghasilkan pemimpin-pemimpin hebat atau justru hanya pemimpin-pemimpin kelas Boneka?”

Entahlah. Yang jelas Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham) RI Februari lalu telah merilis nama-nama 75 Partai Politik (Parpol) yang telah berbadan hukum, yang diperkirakan akan berpartisipasi dalam pemilu 2024.

Jumlah parpol yang banyak itu tentu saja bukan masalah dalam satu negara yang menganut demokrasi. Apalagi UUD 1945 menjamin hak berserikat dan berkumpul bagi semua warga negara. Seperti halnya Amerika Serikat, jumlah partai politiknya juga sangat banyak meski akhirnya mengerucut pada dua partai besar, Republik dan Demokrat.

Masalahnya, bagaimana sistem pemilu ingin dilaksanakan dengan jumlah partai sebanyak itu?

Di akun instagramnya, Rizal Ramli menyampaikan saran agar Pemilu 2024 bisa berbiaya murah namun berjalan jujur, adil dan terpercaya.

Rizal Ramli mencontohkan dua pemilu Indonesia yang berhasil dan berbiaya murah meski diikuti banyak partai. Yakni Pemilu 1995 di masa orde lama dan Pemilu 1999 di awal reformasi, saat Indonesia dipimpin oleh Presiden BJ Habibie.

Salah satu kunci keberhasilan Pemilu 1955 dan 1999 sehingga murah, jujur dan adil, menurut Rizal Ramli adalah karena anggota-anggota KPU dan Bawaslu terdiri dari wakil semua partai peserta Pemilu sehingga mereka saling mengawasi agar tidak terjadi kecurangan.

“Jadi kalau mau Pemilu yang jujur, adil dan murah seperti 1955 dan 1999, anggota-anggota KPU dan Bawaslu harus dari wakil-wakil Partai, sehingga terjadi internal cross-checking. Bukan dari Ormas-ormas yang dipilih dan distir oleh rezim yang sedang berkuasa,” tulis Rizal Ramli.

Koordinator P3RI (Panitia Penjaringan Presiden RI), Lieus Sungkharisma, sependapat dan mendukung bila Presiden Jokowi melaksanakan saran yang disampaikan Rizal Ramli itu.

“Kalau pak Jokowi mau meninggalkan legacy yang baik untuk masa depan bangsa ini, masih cukup waktu untuk Presiden Jokowi memperbaiki dan membenahi sistem Pemilu kita sebagaimana yang diusulkan Rizal Ramli itu,” ujar Lieus.

Menurut Lieus, sejak 2004 sistem pemilu Indonesia memang sangat ruwet, bertele-tele dan memakan biaya sangat mahal. “Bahkan setiap kali pemilu, biaya penyelenggaraannya terus meningkat. Padahal, dengan kemajuan teknologi dan sistem pemilu yang terus diperbaiki sesuai perkembangan zaman, mestinya biaya penyelenggaraan pemilu bisa semakin murah,” katanya.

Sekedar catatan, dalam pemilihan umum (Pemilu) pertama di Indonesia pada tahun 1955, yang memperebutkan 260 jumlah kursi DPR dan 520 kursi untuk Konstituante, pelaksanaannya hanya menelan biaya Rp.479.891.729,00. Padahal Pemilu kala itu diikuti 43.104.464 jiwa pemilih serta melibatkan 36 partai politik, 34 Organisasi Massa dan 48 orang calon perorangan. 

Sedangkan pemilu 1999 yang diikuti 48 partai politik dari 141 partai politik yang terdaftar, hanya menghabiskan dana Rp 1,3 triliun.

Di masa pemilu 1999 inilah mula dibentuk Komisi Pemilihan Umum atau KPU dengan tujuan menghindari campur tangan pemerintah serta menjaga objektivitas pemilihan umum.

KPU 1999 diketuai oleh Jend (Purn) Rudini dan beranggotakan sebanyak 48 orang yang mewakili 48 partai politik yang berpartisipasi dalam Pemilu 1999, ditambah empat wakil dari pemerintah.

Namun, entah kenapa, setelah pemilu 1999 anggota KPU tidak lagi dari wakil partai peserta pemilu. Tapi dipilih oleh DPR dan disetujui oleh pemerintah.

“Inilah yang menjadi pangkal awal runtuhnya kepercayaan masyarakat atas lembaga KPU sebagai penyelenggara pemilu. Sebab tak ada lagi mekanisme saling mengawasi, saling cross chek di antara anggota KPU yang diangkat pemerintah itu,” kata Lieus.

Saya pun sepakat dengan gagasan yang dilontarkan Rizal Ramli agar sistem pemilu diperbaiki dan KPU dikembalikan martabatnya sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang benar-benar independen.

Mengingat waktu pelaksanaan pemilu 2024 masih cukup panjang, maka masih sangat cukup waktu bagi Presiden Jokowi untuk memperbaiki sistem pemilu yang ada sekarang ini. Terutama menyangkut biaya penyelenggaraan dan mekanisme pelaksanaannya.

Perbaikan sistem ini menjadi penting kalau Presiden Jokowi memang ingin meninggalkan legacy yang baik untuk masa depan bangsa dan negara ini.

Lebih dari semua itu, mungkin kinilah saatnya pak Jokowi menunjukkan pada rakyat jiwa besarnya sebagai presiden. Di antaranya, sekali lagi, adalah dengan memperbaiki sistem pemilu yang berbiaya sangat mahal itu. Bagaimana, pak?! (*)

  • Bagikan