Ahlan wa Sahlan Ya Ramadhan

  • Bagikan

Ramadhan datang lagi. Ahlan wa Sahlan. Lalu, di setiap Ramadhan, bagaimanakah manusia menyikapi eksistensi kemanusiaannya sebagai makhluk Allah di muka bumi? Bagaimana manusia harus memosisikan dirinya sebagai hamba? 

Dari tahun ke tahun, dalam rutinitas Ramadhan, pertanyaan ini terus berulang di tengah maraknya kesombongan rasionalitas manusia yang mengabaikan doktrin religiusitas sebagaimana telah diajarkan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam.

Dewasa ini kesombongan rasionalitas itu tak hanya membuat manusia meragukan “ketetapan” Allah, Al Khalik, Tuhan Yang Maha Kuasa, tapi sudah sampai pada tingkat mempertentangkan kompetensi Allah sebagai Sang Maha Pencipta.

Ramadhan sejatinya mempertemukan manusia muslim pada perenungan ini. Untuk menimbang ulang apologi rasionalitasnya dengan mempertentangkan doktrin religiusitas yang sudah berlangsung lama, sejak Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dari tanah.

Tarikh Islam mencatat, saat Malaikat yang tercipta dari Nur (Cahaya), dengan penuh ketaatan langsung bersujud kepada Adam saat diperintah Allah, Iblis yang merasa superior terhadap manusia (Adam) lantaran ia tercipta dari Nar (Api), menolak perintah itu dan tetap konsisten dengan sikapnya; menentang pengangkatan Adam sebagai khalifatullah fil Ardh.

Dalam pandangan Iblis, pengangkatan Adam akan membuat dirinya sebagai subordinat pada kepemimpinan manusia. Pengingkaran Iblis atas ketetapan Allah itu bahkan mendorongnya bersumpah untuk terus menjauhkan manusia dari Allah, Al Khalik, sampai akhir zaman tiba.

Umat manusia pasca Adam mestinya sudah mendapat pencerahan religius dari doktrin
Illahiyah tersebut. Bahwa orang-orang yang beriman mestinya mengambil hikmah dari
kasus pengingkaran Iblis itu tanpa reserve. Dimana derajat asal kejadian sesungguhnya tak bermakna apapun dalam konteks ketundukan, ketaatan dan kepatuhan terhadap Allah, Al-Khalik.

Dari doktrin Illahiat itu pula dapat diambil pelajaran bahwa presiden atau raja tak lantas istimewa karena derajat sosialnya itu. Kecuali kadar taqwanya, tak ada beda priyayi atau rakyat jelata di mata Allah, sang maha pencipta. Sayang, hikmah imaniah tersebut seringkali tergusur oleh proses rasionalisasi manusia. Status sosial justru seringkali dijadikan alasan untuk mengukur tinggi rendahnya derajat seseorang.

Itulah alasan terbesar mengapa orang kemudian berlomba-lomba menjadi kaya raya, menjadi berpangkat, menjadi penguasa. Apapun jalan yang ditempuh untuk meraih status itu tak lagi penting, meski harus menindas dan membunuh sesamanya. Semakin kaya dan semakin tinggi kedudukan seseorang, dia merasa akan semakin terhormat dan tinggi derajatnya.

Mengapa? Karena manusia lebih sering mendekati ketetapan Allah melalui paradigma Iblis. Bahwa kemuliaan hanya ada pada derajat kejadian. Status sosial. Harta kekayaan. Padahal ketetapan Allah seharusnya didekati secara imaniah.

Ketetapan Allah pada dasarnya menempatkan setiap makhluknya pada posisi (maqam) tertentu, kemudian memberi masing-masing makhluk itu peran yang harus ia jalankan. Namun tafsir manusia atas ketetapan itu ternyata tak selalu demikian.

Akibat pertarungan apologis antara rasionalitas dan doktrin religius itu, pada akhirnya muncullah salah kaprah di antara manusia sendiri dalam memahami makna “hablum minallah wa hablum minannas”. Tidak sedikit orang yang kemudian memaknai “hablum minallah wa hablum minannas” itu semata-mata dalam konteks “amaliah fisik” tanpa mau secara utuh menjalankannya sebagai suatu “sistem berpikir dan bertindak.”

Di setiap Ramadhan, salah kaprah ini jelas terlihat menyolok mata. Setiap orang menjalankan ibadah puasa dengan paradigmanya sendiri. Sebagai contoh, orang-orang kaya akan makan sahur dan berbuka dengan menu lebih dari semestinya. Golongan menengah dengan menu secukupnya, sedang yang miskin dengan menu seadanya. Makna puasa sebagai upaya untuk merasakan derita orang-orang miskin papa, nyaris tak bermakna apa-apa.

Bahwa Ramadhan tak membawa perobahan apapun pada sikap hidup, perilaku sosial dan kadar imaniah seseorang, adalah fakta tak terbantahkan yang berlangsung dari tahun ke tahun. Bahkan seringkali, dalam puasa pun ada orang yang tetap dengan kesombongannya. Tak ada efek apapun dari ibadah puasa yang mampu mendegradasi kesombangannya itu. Naudzubillahi min dzalik……! (*)

  • Bagikan