JAKARTA (Waspada): Anggota Komisi II DPR RI Deddy Yevri Hanteru Sitorus menyoroti banyaknya kekurangan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Menurutnya, Pemilu kali ini menjadi salah satu yang paling bermasalah dalam sejarah demokrasi Indonesia.
“Pelaksanaan Pemilu kemarin memang penuh dengan kekurangan, centang perenang, dan dalam bahasa lain, bisa dikatakan sebagai yang paling jelek dalam sejarah kepemiluan kita,” ujar Deddy dalam rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah pakar di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025), untuk menghimpun pandangan dan masukan terkait sistem politik dan pemilu.
Ia membandingkan kondisi pada Pemilu 1999, di mana saat itu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) berasal dari partai politik, tetapi penyelenggaraannya justru lebih baik. Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan buruknya pemilu kali ini, baik dari sisi internal maupun eksternal.
Deddy menguraikan faktor internal mencakup masalah teknis, kelemahan penyelenggara pemilu, serta kurang optimalnya peran pengawas pemilu. Sementara itu, faktor eksternal lebih luas, termasuk keterlibatan pejabat publik dalam proses pemilu yang dinilai mencederai prinsip keadilan.
“Kita juga melihat bagaimana kepala desa, pejabat kepala daerah, anggaran bantuan sosial (bansos), hingga orang yang paling berkuasa turun ke satu provinsi sampai 11 kali. Ini persoalan eksternal yang sangat berpengaruh dan bisa merusak proses maupun hasil pemilu,” tegasnya.
Deddy juga menyinggung keberadaan “partai coklat” (parcok) yang ramai diperbincangkan saat pemilu tetapi tidak mendapat perhatian lebih dalam pembahasan resmi. Selain itu, ia mengkritik peran Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam beberapa putusan dinilai melampaui kewenangannya (ultrapetita), seperti dalam kasus sengketa pemilu di Papua, yang seharusnya merupakan ranah administratif.
Perbaikan Sistem
Diskusi dalam rapat ini turut membahas kemungkinan penerapan sistem pemilu campuran (mixed system). Sejumlah pakar yang hadir, seperti Delia Wildianti (Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia) dan Hadar Nafis Gumay (Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity), berpendapat bahwa perbaikan sistem lebih penting daripada sekadar mengganti mekanisme pemilu.
Deddy pun mengingatkan agar revisi UU Pemilu tidak hanya berfokus pada perubahan sistem secara drastis, tetapi lebih pada perbaikan yang berkelanjutan.
“Tidak ada sistem pemilu yang sempurna. Sebaiknya yang ada itu terus diperbaiki, bukan terus-menerus diganti. Jangan karena sistem sekarang dianggap buruk, lalu kita menggantinya dengan yang lain, tetapi akhirnya masalah yang sama tetap terulang,” ujarnya.
Diskusi ini diharapkan menjadi dasar bagi Komisi II DPR RI dalam menyusun revisi UU Pemilu dan UU Pilkada agar pemilu mendatang lebih transparan, adil, dan demokratis. (j05)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.